Mohon tunggu...
Rinaldi Sutan Sati
Rinaldi Sutan Sati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Owner Kedai Kapitol

Pemerhati sosial, politik, dan ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menyoal Penggunaan POKIR Dalam Pilkada 2024 yang Berakibat Pembatalan Calon

14 Desember 2024   20:22 Diperbarui: 14 Desember 2024   20:22 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penggunaan dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) dalam enam bulan sebelum Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) sangat diatur oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang atau sering disebut dengan UU Pilkada, khususnya untuk mencegah potensi penyalahgunaan anggaran yang bisa digunakan untuk kepentingan politik atau keuntungan kandidat tertentu.  Hal tersebut tertera dalam pasal 71 ayat (3) jo ayat (5) yang berbunyi "Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih." kemudian ditegaskan lagi "Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota."

Jika penetapan Paslon Pilkada 2024 dilakukan pada 22 September 2024, maka 6 bulan sebelum penetapan adalah sekitar 22 Maret 2024. Artinya, seluruh paslon dilarang untuk menggunakan dana APBD yang dapat menguntungkan mereka sebagai Paslon pada helat Pilkada serentak tersebut. 

Dalam pembacaan beberapa media yang beredar, Pokok Pikiran anggota legislatif, dapat dikatakan kerap menjadi sasaran empuk penyalahgunaan oleh beberapa kandidat yang hendak maju sebagai pasangan calon yang masih menjabat sebagai anggota legislatif. Walau sejatinya dana Pokir merupakan hal yang sah sebab merupakan gagasan, usulan, atau kebutuhan yang disampaikan oleh anggota DPRD berdasarkan aspirasi masyarakat yang mereka wakili. Niat untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadapnya, patut juga diwaspadai. Seringkali, dana APBD digunakan untuk mendanai proyek-proyek pembangunan yang dianggap penting bagi masyarakat. Namun, dalam konteks Pilkada, proyek-proyek yang dilakukan menjelang Pilkada dapat dipandang sebagai upaya untuk menarik dukungan politik dengan cara yang tidak fair. Program-program bantuan sosial yang dibiayai dari APBD juga rentan untuk disalahgunakan sebagai alat untuk menarik simpati masyarakat. Pemberian bantuan menjelang Pilkada bisa dianggap sebagai bentuk politik uang atau upaya mendulang suara. Dari itulah, pasal 71 UU Pilkada memuat dengan tegas bahwa, 6 bulan sebelum penetapan Paslon peserta oleh Komisi Pemilihan Umum, pemanfaatan dana-dana negara untuk kepentingan yang bertujuan menguntungkan orang yang akan ditetapkan menjadi calon, sangat-sangat dilarang, dapat berimplikasi kepada pembatalan sebagai calon oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota. 

Salah satu sanksi yang paling serius adalah pembatalan pencalonan seorang calon kepala daerah jika terbukti melakukan pelanggaran terkait penggunaan dana APBD untuk kepentingan kampanye. Jika terdapat bukti yang kuat bahwa seorang calon telah menyalahgunakan anggaran negara dalam kampanye, maka calon tersebut bisa didiskualifikasi dari pencalonan, yang tentunya berpengaruh besar terhadap jalannya Pilkada. Selain itu, pasal 71 UU Pilkada juga mengatur mengenai tindak pidana bagi pelanggar ketentuan tersebut. Pejabat yang terlibat dalam penyalahgunaan dana APBD untuk kepentingan politik dapat dijatuhi sanksi pidana, yang berupa pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Penyalahgunaan anggaran publik untuk keuntungan pribadi atau golongan dapat dianggap sebagai tindakan korupsi, yang diancam dengan hukuman yang berat. 

Penerapan sanksi hukum dalam Pasal 71 UU Pilkada sangat penting untuk menjaga keadilan dan integritas Pilkada. Dengan adanya larangan penggunaan dana APBD untuk kepentingan politik dalam enam bulan sebelum Pilkada, diharapkan proses pemilu dapat berlangsung dengan bersih dan adil, serta tidak ada pihak yang mendapatkan keuntungan tidak sah dari anggaran negara. Sanksi hukum yang tegas, baik berupa pembatalan pencalonan, pidana penjara, pemecatan, hingga tuntutan perdata, menjadi langkah penting untuk memastikan bahwa semua pihak, baik calon kepala daerah maupun pejabat daerah, mematuhi aturan yang berlaku dan menjaga kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.

Singkatnya, kami berkeyakinan, dalam permasalahan-permasalahan seputar permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah tahun 2024 yang telah masuk ke Mahkamah Konstitusi, terdapat juga alasan permohonan, diantaranya adalah seputar penggunaan dana Pokir secara massif oleh anggota legislatif yang mencalonkan diri dalam helat demokrasi serentak tahun ini. Hal tersebut sangat dimungkinkan terjadi, karena Pilkada serentak tahun 2024 dilaksanakan dalam tahun yang sama dengan berlangsungnya penyoblosan hingga penetapan Pemilihan Umum; Legislatif dan Presiden Republik Indonesia. Jika aparatur negara konsisten dengan pelaksanaan undang-undang Pilkada terutama pasal 71, maka sejak 22 Maret 2024, seluruh pengawasan Pilkada telah dimulai. Karenanya, hanya dengan pengawasan inilah, penetapan terhadap kandidat yang akan diketuk palu sebagai calon, dapat tidak dilaksanakan. Namun, bagaimana jika pelanggar pasal 71 ini berhasil memperoleh suara tertinggi dalam kontestasi Pilkada, lalu terdapat permohonan PHP kepada Mahkamah Konstitusi yang berlandaskan pasal 71 dari paslon lain? Maka, jika Paslon yang melakukan permohonan perselisihan dapat meyakinkan hakim mahkamah serta membuktikannya di persidangan, maka bukan tidak mungkin, akan terjadi diskualifikasi terhadap paslon dimaksud. 

Dan akhirnya, sesuai dengan asas hukum nemo commodum capere potest de injuria sua propria (tak seorangpun boleh diuntungkan oleh pelanggaran yang dilakukannya sendiri ataupun orang lain), maka kita nanti keputusan sidang mahkamah kosntitusi terhadap permohonan-permohonan yang didadari dengan pasal 71 UU Pilkada.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun