Saya mengapresiasi keputusan Ridwan Kamil yang memilih tidak ikut dalam kontes Pilkada Gubernur DKI Jakarta. Keputusan ini sekaligus menjawab arah perpolitikan Ridwan Kamil yang masih keukeuh menjadi independen. Ridwan Kamil sangat tepat sekali dalam memilih untuk ikut atau tidak dalam konstelasi pertarungan menjadi DKI 1.
Masyarakat Jakarta yang heterogen ditambah dengan permasalahannya yang selalu ada dan juga berbelit-belit, ditambah suhu udaranya yang panas, membuat Jakarta rasanya wajib dipimpin oleh orang yang memilki tipe kepribadian “keras”, pemberani, dan tentunya cepat dalam mengambil keputusan.
Dan kesemua itu ada pada diri seorang Basuki Tjahaha Purnama atau yang akrab disapa Ahok. Dimasa kepemimpinan Ahok, beberapa gebrakan ditempuh Ahok guna menciptakan suasana yang nyaman di Jakarta. Seperti yang akhir-akhir ini baru dilakukan yaitu pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang wajib dimiliki setiap daerah minimal 30 persen dari luas wilayah.
Kebijakan Ahok untuk menggusur Kalijodo menjadi perhatian serius publik. Kalijodo yang dikenal menjadi lokalisasi “ulung” di Jakarta sejak era kemerdekaan hingga saat ini, akhirnya harus digusur untuk dirubah menjadi ruang terbuka hijau lengkap dengan fasilitas umum. Diluar dari permasalahan sosial yang akan dihadapi para eks pemukim Kalijodo, ini adalah kebijakan agak “idiot” dan berani yang dilakukan seorang pemimpin DKI Jakarta.
Berbeda dengan Ridwan Kamil, yang hingga detik ini masih mengabdi menjadi Walikota Bandung. Masyarakat Jawa Barat, khususnya Priangan Timur dalam hal ini Kota Bandung, yang secara aspek demografis dan geografis berbeda dengan DKI Jakarta. Tentunya akan berbeda pula dalam menangani permasalahan yang ada, pendekatan cultural dan personal dari “kepala ke kepala” sangat cocok diterapkan sebagai bagian awal dalam menangani permasalahan sosial. Dan itu sukses diterapkan Ridwan Kamil hingga saat ini, untuk menjadi care taker Kota Kembang.
Karena pada dasarnya, menjadi seorang pemimpin bukan hanya handal dalam memimpin sekelompok orang atau beragam kelompok saja. Tapi menjadi seorang pemimpin tentunya harus memiliki pemahaman yang kuat mengenai seluk beluk budaya masyarakat yang akan dipimpinnya, yang secara tidak langsung memiliki pengaruh yang signifikan dalam cara pandang budaya. Ini selaras dengan pernyataan Antropolog, Edward T. Hall, komunikasi adalah budaya, jadi tidak akan mungkin terjadinya komunikasi tanpa memahami aspek budaya (Mulyana).
[caption caption="https://media.licdn.com/"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H