Beberapa hari yang lalu di Perpustakaan, saya lupa tanggal dan hari waktu itu. Kalau tidak salah, waktu itu saya telah mengembalikan buku yang sudah saya pinjam. Lalu saya sempatkan untuk membaca koran yang tersedia di Perpustakaan, karena sudah cukup lama saya tidak lagi membaca koran di Perpustakaan.
Pada hari itu, lampu di Perpustakaan sudah dimatikan dan jam sudah menunjukkan pukul 14:30 WIB, pertanda bahwa pelayanan Perpustakaan sudah tutup. Namun karena saya masih penasaran dengan konten koran, saya teruskan saja memilah rubrik demi rubrik mencari rubrik yang menarik dan bermanfaat untuk saya baca. Hingga akhirnya, saya menemukan rubrik “OPINI” yang berada di Koran Pikiran Rakyat.
Hal yang pertama kali saya lsayakan sebelum membaca isi rubrik adalah melihat judul opini tersebut, kemudian saya memeriksa siapakah yang menulis Opini tersebut. Waktu itu, tema opini berhubungan dengan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 yang ditulis oleh salah satu Guru Besar Universitas Padjadjaran yakni Prof. Dr. Dede Mariana., M.Si.
Dan menurutku ini tema yang cukup menarik, karena undang-undang ini berkaitan dengan sistem pembangunan yang ada di Desa pasca dilaksanakannya sistem otonomi daerah atau desentralisasi pembangunan. Jujur saja, tulisan ini mengingatkanku agar ikut membantu dan mengawasi pola pembangunan yang ada di Desa, khususnya desa yang saya tinggali.
Lebih lanjut, Prof. Dede menerangkan bahwa UU No. 6 Tahun 2014 membuat pola pembangunan bukan saja terletak di daerah saja, tapi juga lebih terfokus pada tataran birokrasi yang lebih kecil, yaitu Pemerintah Desa. Dimana di Desa-lah masyarakat banyak bersosialisasi dan membangun sistem fondasi dalam bermasayarakat. Pola inilah yang menurutku menjadi alasan utama terciptanya UU No. 6 Tahun 2014.
Pola pembangunan yang pada zaman Presiden Soeharto terfokus di Jakarta, kemudian pasca reformasi berubah haluan untuk melaksanakan otonomi daerah. Kini belasan tahun setelah reformasi, pola pembangunan lebih terfokus lagi dengan diawali dari proses pembangunan yang ada di Desa. Pola pembangunan seperti ini menandakan bahwa Republik ini sudah menggunakan pola bottom up, dimana jika pembangunan di desa berhasil maka pembangunan pada tataran negara juga akan berhasil. Pola seperti ini dirasa efektif karena sesuai dengan kondisi riil yang ada di desa.
Berbanding terbalik ketika Soeharto masih menakhodai negeri ini. Dimana pola top down dengan selingan ABS (Asal Bapak Senang) sangat mudah terdeteksi. Dan jika pembangunan di pusat berhasil maka akan menjalar juga pada tingkatan yang lebih kecil, hingga pada tingkat desa. Namun pola seperti ini tidak efektif diterapkan, karena pada pelaksanaannya, pembangunan terkadang tidak sesuai dengan kondisi riil yang ada di desa.
Keuangan Desa
Salah satu poin yang paling krusial dalam UU No. 6 Tahun 2014 yaitu alokasi anggaran untuk desa, di dalam penjelasan pasal 72 Ayat 2 tentang Keuangan Desa. Jumlah anggaran dana yang langsung ke desa ditetapkan sebesar 10% dari dan di luar dana transfer daerah. Juga tidak lupa mempertimbangkan aspek geografis beserta kesulitannya, jumlah penduduk, angka kemiskinan, dan luas wilayah.
Sesuai dengan pasal 72 Ayat 2 tentang Keuangan Desa yaitu 10% dari dan trasnfer daerah menurut APBN dan juga 10% dana dari APBD. Maka Rp 59,2 triliun dana dari APBN, ditambah dengan dana Rp 45,4 triliun dana dari APBD, maka total dana untuk 72 ribu desa diseluruh Tanah Air ada sekitar Rp 104,6 triliun. Dan setelah dihitung-hitung, setiap desa di seluruh Indonesia akan menerima paling tidak sekitar Rp 1,4 Miliar.
Rp 1,4 miliar per tahun merupakan dana yang tidak sedikit, anggaran ini khusus ditujukan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat desa sesuai dengan skala prioritas pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, yang terlebih dahulu dimusyawarahkan bersama Badan Permusyawaratan Desa.