Bisakah warga di Kota Padangsidimpuan menjadi warga yang kritis? Pertanyaan ini adalah pertanyaan penting untuk diajukan saat ini. Sebab berbagai problem sedang - akan menghinggapi kota ini. Problem - problem itu seperti bom waktu yang setiap kali bisa meledak dan mengakibatkan Kota Padangsidimpuan menjelma sebagai kota yang gagal.Dari semua problem yang sedang - akan menghinggapi kota ini, sejatinya ada dua problem penting yang seharusnya menjadi prioritas perhatian ke depannya.Â
Walaupun saya menyebut dua hal ini sebagai problem prioritas yang harus diselesaikan. Realitasnya dua hal ini tidak masuk ke dalam  program prioritas yang diusung oleh calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih Kota Padangsidimpuan. Dua problem itu adalah merajalelanya praktik korupsi , kolusi dan nepotisme serta persoalan sampah yang semakin tak terkendali.
Persoalan praktik korupsi , kolusi dan nepotisme di Kota Padangsidimpuan bukan persoalan baru. Persoalan ini merupakan persoalan laten yang sudah menjadi rahasia umum di kalangan warga. Warga mengerti betul bahwa setiap politisi bahkan birokrat pasti melakukan perbuatan ini. Hal ini bisa dibuktikan dari lontaran kalimat warga ketika membicarakan topik ini.Â
Setiap datang momen pemilu tiba di kalangan warga selalu berkembang dengan nada mencemooh berkata: "Naron pas ro alai pasang harga nai."Arti dari potongan kalimat ini adalah "Nanti kalo mereka (politisi) datang pasang harganya(ini merujuk kepada besaran harga yang diminta warga kepada politisi agar mereka mau memilihnya)."Â
Korupsi di sektor birokrasi sering ditanggapi warga dengan sebuah umpatan yaitu "Anggo giot manjadi sanga aja ho di kota Padangsidimpuan akkon adong ma epeng mu bahat."Potongan kalimat ini berarti "Kalo mau menjadi apapun kau di Kota Padangsidimpuan, kau harus punya uang banyak."Lontaran umpatan  ini adalah manifestasi dari maraknya praktik pungli di struktur birokrasi Kota Padangsidimpuan.Sehingga warga yang ingin menjadi apapun atau naik pangkat untuk menduduki posisi apapun harus membayar sejumlah uang kepada orang yang berada di posisi yang lebih tinggi.
Uraian sebelumnya adalah gambaran tentang bagaimana praktik korupsi, kolusi dan nepotisme telah menjadi pengetahuan umum dikalangan warga.Lantas, bagaimana sebenarnya cara kita untuk menilai apakah di sebuah kota marak terjadi praktik korupsi, kolusi dan nepotisme secara objektif? Cara yang bisa kita lakukan untuk menilai hal ini adalah dengan melihat indikator dan faktor yang mempengaruhinya. Adapun indikator yang mempengaruhinya adalah tingkat kemiskinan, kualitas pelayanan publik , transparansi dan akuntabilitas, serta tingkat kejahatan.Â
Dalam soal tingkat kemiskinan, data dari  Badan Pusat Statistik ( BPS ) pada bulan maret 2023 mencatat bahwa presentase penduduk miskin di Kota Padangsidimpuan menyentuh angka 5,71 persen dari 8.490 orang. Garis kemiskinan di Kota Padangsidimpuan juga relatif tinggi jika dibandingkan dengan daerah lain di seluruh Indonesia yaitu  Rp.631. 419 per kapita per bulan. Sedangkan, pendapatan per kapita di kota ini juga bisa dikatakan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain yaitu sebesar Rp. 1.433 .419. Namun, kendati pendapatan per kapita relatif tinggi dan presentase kemiskinan relatif rendah tetap saja masih ada sekitar 8. 490 jiwa yang hidup di bawah garis kemiskinan karena kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar (https://padangsidimpuankota.bps.go.id/id/pressrelease/2024/02/06/266/profil-kemiskinan-di-kota--padangsidimpuan-maret--2023.html).Â
Jika kita merujuk kepada data yang lain seperti yang disajikan oleh Databoks Katadata jumlah penduduk miskin di Kota Padangsidimpuan pada tahun 2023 menyentuh angka 23, 6 persen. Presentase ini menunjukkan bahwa masih ada penduduk di Kota Padangsidimpuan yang hidup di bawah garis kemiskinan (https://databoks.katadata.co.id/demografi/statistik/b044662681b5cda/6-23-penduduk-di-kota-padang-sidimpuan-masuk-kategori-miskin).Â
Perbandingan diantara kedua data ini jelas terlihat bahwa presentase penduduk miskin yang disajikan oleh BPS berbeda dengan Databoks Katadata. Sejatinya, perbedaan ini hanya soal metodologi pengumpulan data. Namun, kendati demikian, benang merah yang bisa ditarik dari kedua sajian data ini adalah kemiskinan masih menjadi persoalan utama di Kota Padangsidimpuan.Â
Disisi lain kedua data ini juga menyoroti tentang beberapa faktor menyebabkan kemiskinan diantaranya adalah kurangnya lapangan kerja, rendahnya pendapatan , kurangnya akses ke lembaga pendidikan dan kesehatan serta kurangnya transparansi dan akuntabilitas pemerintah mengelola keuangan dan sumber daya.Â
Dalam soal kualitas pelayanan publik, Padangsidimpuan pada tahun 2024 berhasil mendapatkan penghargaan dari Ombudsman. Kota Padangsidimpuan berhasil mendapatkan nilai 88,74 yang berarti kota ini masuk ke dalam kategori zona hijau(https://www.rri.co.id/sibolga/daerah/1144713/pemko-padangsidimpuan-raih-predikat-zona-hijau-pelayanan-publik).