Mohon tunggu...
Miftah RinaldiHarahap
Miftah RinaldiHarahap Mohon Tunggu... Lainnya - Gerilyawan Pembaru

Sedang bergerilya bersama @Partai Hijau Indonesia, @New Native Literasi

Selanjutnya

Tutup

Financial

Pajak dalam Jeratan Apatisme-Hedonistik

13 Maret 2024   01:30 Diperbarui: 13 Maret 2024   01:30 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Institusi perpajakan kembali menjadi sorotan publik, setelah berita tentang penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy Satrio, anak dari pejabat Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) viral di sosial media. Korban dari penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy adalah David, seorang anak dari pengurus pusat GP Ansor. Motif dari kasus penganiayaan ini belum diketahui secara pasti. Namun, sebagian besar publik menduga bahwa motif dibalik kasus ini adalah "asmara."

Dugaan tersebut bermula dari munculnya nama Agnes Gracia Haryanto yang kemudian diketahui sebagai wanita yang sedang menjalin hubungan dengan Mario Dandy dan pernah menjalin hubungan dengan David. Publik berpendapat bahwa Mario Dandy melakukan tindakan tersebut karena provokasi yang dilakukan oleh wanita pujaan hatinya ini. 

Tetapi, lagi -- lagi, ini baru dugaan. Apalagi dalam perkembangan berita terkait hal ini, pihak kepolisian mengumumkan ada perempuan berinisial APA yang diduga menyampaikan sesuatu hal yang berkaitan dengan pelecehan seksual yang dilakukan oleh David kepada Agnes -- yang kemudian membuat Mario murka(https://www.tvonenews.com/berita/nasional/103638-5-fakta-terbaru-agnes-si-bocil-kematian-pacar-mario-dandy-satriyo-minta-perlindungan-kpai-hingga-terungkap-provokator-baru?page=2).

Namun, sekali lagi, ini baru dugaan. Biarlah penyelidikan mengenai motif dari kasus ini dituntaskan oleh pihak kepolisian agar kita mengetahui secara pasti motif dibalik kasus ini.

Selain menyoroti esensi dari kasus ini, publik juga menyoroti "gaya hidup mewah" yang ditonjolkan oleh Mario Dandy di laman sosial media pribadinya. Hal ini yang kemudian membuat publik melebarkan kasus ini ke arah pemeriksaan harta yang dimiliki oleh Rafael Alun Trisambodo, orang tua Mario Dandy. 

Tak butuh waktu lama, publik langsung menyerbu situs Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), dan benar saja, memang ditemukan kejanggalan terkait harta yang dimiliki oleh Rafael Alun. LHKPN mencatat bahwa ia memiliki harta 56 miliar, atas dasar kejanggalan ini desakan publik semakin menggila dan membuat Rafael Alun harus menjalani pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi.

Peristiwa tersebut mengakibatkan kepercayaan publik kepada Direktorat Jenderal Pajak mencapai titik nadir. Di sisi lain peristiwa ini juga mendorong publik untuk membeberkan kasus-kasus besar dimasa lalu yang pernah terjadi di Direktorat Jenderal Pajak. Tercatat, sebelum nama Rafael Alun Trisambodo , ada 9 nama mafia pajak yaitu Denok Taviperiana, Gayus Tambunan, Tommy Hindratno, Handang Soekarno, Dadan Ramdani, Angin Prayitno Aji, Ramli Anawar, dan Pargono Pariadi. Terlepas dari pelbagai macam latar peristiwa yang membuat para mafia ini tertangkap. Ada satu benang merah yang mengikat mereka semua yaitu korupsi. Maksudnya, mereka adalah orang-orang yang mengutamakan kepentingan individu daripada kepentingan publik.

Rekam-jejak kasus korupsi yang terjadi di Direktorat Jenderal Pajak sejatinya telah lama membuat kepercayaan rakyat terhadap institusi ini hilang. Tetapi yang menjadi menarik adalah walaupun kepercayaan itu telah lama hilang, tetap saja publik melaksanakan kewajibannya untuk menyetorkan pajak. Fenomena ini mengingatkan kita kepada sebuah istilah "apatisme-hedonistik" yang pernah diucapkan oleh Reza A.A Wattimena.

Apatisme-hedonistik adalah sebuah keadaan masyarakat yang sudah tidak peduli dengan realitas sosial-politik dan hanya fokus untuk mencari kenikmatan individu secara berlebihan. Sejatinya, ini adalah reaksi kekecewaan yang telah menumpuk terhadap penyelenggara negara. Sialnya, menumpuknya kekecewaan ini tidak dianggap penting bagi penyelenggara negara untuk melakukan perbaikan secara sistemik. 

Penyelenggara negara lebih suka untuk berlindung dan membela diri dengan menggunakan diksi "oknum" untuk menutupi kegagalan mereka. Keadaan seperti ini semakin menegaskan bahwa para penyelenggara negara di negeri ini buta terhadap etika publik. Kebutaan itu yang kemudian membuat sikap apatisme-hedonistik masyarakat terus bertumbuh dan terawat dengan baik.

Lantas, apa yang menyebabkan kebutaan para penyelenggara negara terhadap etika publik dan sikap apatisme-hedonistik masyarakat terus langgeng di bumi pertiwi Indonesia? Jawabannya adalah karena Indonesia buta terhadap sistem filsafat politiknya sendiri yaitu republik. Kebutaan Indonesia terhadap konsep republik pada taraf yang paling elementer bisa dilihat dari ketidakmampuan untuk merumuskan mana "yang publik" dan "yang privat". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun