A. Perkembangan Pluralitas Agama dan Budaya di Jawa
Pluralitas merupakan realitas yang sangat jelas kelihatan. Di Indonesia pun terdapat banyak agama. Setiap agama mengajarkan jalan hidup yang berbeda-beda dan merupakan ekspresi dari pemeluknya untuk memahami ajaran Tuhan. Karena bangsa Indonesia hidup dalam suasana masyarakat serba jamak (plural society), maka dibutuhkan jalan untuk mencapai kerukunan dalam kehidupan keagamaan. Kemajemukan dalam cara pandang terkait praktik keagamaan juga dirasakan pada masyarakat Jawa yang memiliki histori panjang. Pluralitas agama dan budaya di Jawa merupakan cerminan dari sejarah panjang interaksi antarberbagai kelompok etnis dan kepercayaan. Sejak zaman kuno, pulau Jawa telah menjadi pusat pertemuan berbagai budaya, mulai dari pengaruh Hindu-Buddha yang dibawa oleh para pedagang dan pemuka agama, hingga kedatangan Islam yang mengubah lanskap spiritual masyarakat. Kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit dan Demak menjadi contoh bagaimana tradisi lokal dapat berinteraksi dan beradaptasi dengan berbagai pengaruh luar, menciptakan suatu harmoni yang unik di tengah keragaman. Dengan kedatangan Islam pada abad ke-15, pluralitas agama di Jawa semakin berkembang. Penyebaran Islam dilakukan melalui pendekatan yang lembut, di mana para wali dan ulama berusaha untuk mengintegrasikan ajaran Islam dengan tradisi lokal yang sudah ada. Proses akulturasi ini menghasilkan bentuk-bentuk praktik keagamaan yang khas, di mana elemen-elemen Islam berpadu dengan ritual dan tradisi lokal. Contohnya, perayaan Hari Raya Idul Fitri di Jawa sering kali diwarnai dengan tradisi slametan, yang merupakan ritual syukuran yang sudah ada sebelumnya. Hal ini menunjukkan bagaimana
masyarakat Jawa mampu mengadaptasi dan mengasimilasi ajaran baru tanpa kehilangan
identitas budaya mereka. Proses pluralitas agama dan budaya di Jawa hasil dari interaksi yang kompleks antara berbagai kelompok etnis, tradisi, dan kepercayaan yang telah berlangsung selama
berabad-abad. Sejak zaman kuno, pulau Jawa telah menjadi titik pertemuan yang strategis
bagi para pedagang, pemuka agama, dan budaya dari berbagai penjuru. Pengaruh Hindu-Buddha yang masuk ke Jawa melalui jalur perdagangan dan penyebaran agama membawa perubahan signifikan dalam struktur sosial dan spiritual masyarakat. Kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit dan Sriwijaya menjadi pusat penyebaran budaya dan agama, yang kemudian membentuk identitas budaya Jawa yang kaya dan beragam. Selain agama, budaya Jawa juga dipengaruhi oleh pluralitas yang ada di
masyarakatnya. Berbagai bentuk seni, seperti wayang kulit, gamelan, dan tari tradisional,
mencerminkan kekayaan budaya yang terjalin dari berbagai latar belakang. Masyarakat
Jawa tidak hanya menghargai warisan budaya mereka, tetapi juga terbuka terhadap pengaruh budaya luar, termasuk budaya Barat dan budaya dari daerah lain di Indonesia. Proses akulturasi ini menciptakan dinamika sosial yang menarik, di mana elemen-elemen baru dapat diserap dan diadaptasi ke dalam tradisi yang sudah ada, menghasilkan bentuk seni dan budaya yang unik. Pluralitas realitas sangat lekat dalam kehidupan bermasyarakat. Pluralitas hadir tanpa rekayasa sebagai kehendak dari Tuhan yang tidak bisa ditolak. Dalam keragaman tersebut, terkandung kekayaan yang membuat hidup semakin berarti. Jika pluralisme adalah sebuah realitas, maka membangun kesadaran terhadap pluralitas merupakan dimensi yang sangat penting. Sebab, kesadaran terhadap pluralitas inilah yang seharusnya menjadi landasan dalam bersikap, berinteraksi, dan membangun relasi sosial secara luas.
B. Sejarah Masuknya Islam Ke Jawa dan Proses Akulturasi dengan Budaya Lokal
Proses penyebaran agama Islam di pulau Jawa sangat erat kaitannya dengan kegiatan dakwah Islamiyyah yang dilakukan oleh ulama dan pedagang dari Timur Tengah. Kedatangan mereka membawa sejarah baru yang hampir mengubah wajah Jawa secara keseluruhan. Ada tiga teori masuknya Islam ke nusantara, pertama Teori Gujarat yang berisi bahwa Islam di Indonesia berasal dari anak benua. Hal tersebut di kaitkan dengan asal mulanya Islam di nusantara dengan wilayah Gujarat. Abad ke-7 para pedang Arab
menjadi pemimpin pemungkinan muslin di pesisir pantai Sumatra. Sebagian orang Arab di
laporkan telah melakukan perkawinan dengan wanita lokal di pesisir Sumatra, sehingga
membentuk komunitas Muslim. Teori ini didasari dari pandangan yang menyatakan asal negara dalam membawa agama Islam masuk ke nusantara dari Gujarat. Islam membawa perubahan yang dominan dikalangkan masyarakat, dalam bidang sosial maupun teologi
dan budaya. Jepara salah satu kerajaan yang mempunyai pelabuhan dengan teluk sehingga
kota ini menjadi alternatif untuk Penyiaran agama Islam menyebar ke pulau jawa termasuk
kota Jepara. Kedua, Teori Arab yang di kemukakan oleh Crawford yang berisi bahwa adanya interaksi pendudukan nusantara. Dengan pendudukan Muslim di pantai timur India. Pedagang Arab yang melakukan aktivitas perda ke Indonesia. Para pedagang Arab datang ke Indonesia pada abad ke-7M. Tregonning berpendapat pedanagan Arab telah lama menguasai berdanagan ke pelabuhan India dan dari pelabuahna Indial perdagangan Arab menguasai pedanagan rempah rempah dan membawa Islam ke dalam Asia Tenggara. Teori Arab menyatakan bahwa daerah pertama kali pedagang Arab datang ke Indonesia
ialah barus, hal ini di buktikan dengan penemuan batu nisan arkeologi sebagai sumber epigrafi. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebaran Islam di nusantara. Teori Sufi diajukan Johns yang menunjuk kesuksesan yang sama pada kaum sufi dalam mengIslamkan pendudukan dengan jumlah besar di benua India. Walisongo berperanan
dalam mengIslamkan penduduk lokal di pulau jawa. Maulana malik Ibrahim sebagai penyebar pertama Islam di pulau jawa ia dikabarkan mengIslamkan kebanyakan wilayah pesisir utara Jawa. Ketiga, Teori India Islam datang dari pedagan India yang mempunyai peranan dalam menyebarkan kebudayaan agama Islam, karena selain bedagang merek juga aktif mengajarkan agama dan kebudayaan Islam kepada masyarakat setempat. menurut snuck yang pertama kali datang ke indonesia pada abad ke-13 masehi. Yang di tandai dengan adanya keberadaan batu nisan di Gujarat karena adanya jalur dagang pada Zaman
batu, pedagang arab yang giat dan gigih berlalu- lalang di perairan arab oleh karenanya Islam sampai ke India. Di pulau jawa proses Islamisasi telah berlangsung sejak abd ke-11 M. proses islamisasi terus berlangsung di pulau jawa terutama seetalah majapahit mencapai kebesaran di sanalah kerajaan Islam pertama di pulau jawa yakati demak, yang berdiri diikuti oleh kerajaan Cirebon dan Banten. Ulama ulama yang paling berperan mengembangkan Islam di pulau jawa ialah wali songgo. Makam Fatimah binti Maimun
ditemukan di Leran, Gresik Jawa Timur dengan angka di batu nisan yang menunjuk tahun 475 H, Fatimah binti Maimun diperkirakan seorang keturunan raja Hibatullah atau salah satu dinasti yang berkuasa di, Persia. Bukti ini merujuk bahwa fresik sudah ada pada kelompok Muslim di tahun 1082 M Islam merupakan konsep ajaran agama yang humanis, yaitu mementingkan manusia sebagai tujuan sentral dengan mendasarkan pada konsep "humanisme teosentris", yaitu poros Islam adalah tauhidullah yang diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan kehidupan dan peradaban umat manusia. Prinsip humanisme teosentris inilah yang akan di transformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan dalam konteks masyarakat budaya. Dari sistem humanism teosentris inilah muncul simbol-simbol yang terbentuk karena proses dialektika antara nilai agama dengan tata nilai budaya. Ketika Islam masuk ke pulau Jawa, masyarakat telah menganut beberapa kepercayaan nenek moyang seperti Animisme dan Dinamisme serta ajaran yang masih sangat kental dengan corak Hindu dan Budha. Untuk mengajak masyarakat mengenal dan memeluk Islam, para penyebar agama Islam menggunakan akulturasi budaya.
Akulturasi budaya Islam dilakukan dengan memenuhi batasan-batasan tentang budaya yang baik dan boleh dilakukan manusia, batasan tersebut, yaitu: tidak melanggar ketentuan halal-haram, mendatangkan kebaikan, tidak menimbulkan kerusakan, sesuai dengan prinsip wala' (kecintaan kepada Allah SWT dan apa saja yang dicintai Allah SWT), dan al-Bara' (berlepas diri dan membenci apa saja yang dibenci Allah SWT). Oleh sebab itu, mengetahui lebih dalam mengenai akulturasi budaya Jawa yang digunakan oleh para penyebar agama Islam dalam berdakwah menjadi sangat menarik untuk dikaji dan diketahui lebih dalam. Menurut antropolog klasik Redfield, Lianton dan Herkovits, akulturasi merupakan fenomena yang dihasilkan ketika dua kelompok yang berbeda kebudayaannya mulai melakukan kontak langsung, yang diikuti oleh pola kebudayaan asli salah satu atau kelompok itu. Proses dari wujud akulturasi kebudayaan, terjadi ketika beberapa kebudayaan saling berhubungan erat satu sama lain secara intensif dalam jangka waktu yang cukup lama, dan kemudian masing-masing dari kebudayaan tersebut akan berubah
saling menyesuaikan diri menjadi satu kebudayaan. Perkembangan dakwah Islam di Jawa mengalami proses yang unik dan berliku. Hal
ini disebabkan ia dihadapkan pada kekuatan tradisi budaya dan sastra Hindu Kejawen yang
mengakar menjadi sebuah tradisi kehidupan kerajaan. Oleh sebab itu, dakwah Islam
mendapatkan sambutan hangat di lapisan bawah yang menyebar melalui masyarakat pedesaan. Penyebaran Islam di daerah pessir melahirkan tradisi budaya baru yang disebut dengan budaya pesantren yang menjadi tradisi agung kedua mengimbangi tradisi agung di lingkungan kerajaan. Apalagi guru-guru agama pendiri pesantren ini adalah tokoh-tokoh sufi dan ahli kebatinan yang amat dikeramatkan santrinya sebagai waliyullah (orang yang suci) sosok yang amat ditaati perintahnya seperti halnya raja. Nilai-nilai keIslaman perlahan mulai tertanam dalam masyarakat Jawa. Seiring dengan berjalannya waktu, ajaran agama Islam yang telah bercampur dengan kebudayaan lokal akhirnya dapat diterima dengan baik. Agama Islam dapat berkembang tanpa terlalu banyak menimbulkan konflik dan anarkisme di tengah masyarakat. Mereka menjalankan ajaran Islam seperti layaknya menjalankan tradisi dan budaya mereka sendiri. Seperti halnya keterkaitan antara Islam dengan karya-karya sastra jawa yang bersifat imperatif moral, yang artinya memberi warna keseluruhan yang mendominasi karya. Corak tersebut berupa masalah jihad, ketauhidan, moral, perilaku yang baik. Sedangkan bentuk karya yang
diambil terdapat dalam tembang macapat seperti mijil,kinanti, pucung, sinom, asmaradana,
dhandanggula, pangkur, maskumambang, durma, gambuh, megatruh, yang mana tembang- tembang tersebut merupakan tembang gubahan para walisongo yang digunakan sebagai
media dakwah kepada masyarakat Jawa. Selain melalui karya sastra di atas, penyebaran Islam yang dilakukan oleh walisongo masih dapat disaksikan dalam tradisi dan ritual keagamaan yang hingga kini masih dijalankan oleh masyarakat Nusantara. Seperti halnya tradisi pembacaan kitab al- diba'I dan al-barzanji dalam memperingati maulid Nabi Muhammad SAW yang menjadi sebuah ritual keagamaan. Ahmad Suriadi mengatakan bahwa ada empat faktor yang menyebabkan pembacaan pembacaan kitab al-diba'I dan al-barzanji menjadi sebuah ritual keagamaan, yaitu pertama, penyebaran Islam di Indonesia dimotori oleh Islam Sufistik; kedua, tradisi penghormatan kepada Rasulullah, wali, syaikh/guru oleh Islam Sufistik khususnya tarekat yang salah satunya adalah dengan pembacaan riayat hidup; ketiga, pengaruh psikologis dari membaca kitab maulid tersebut; keempat, kecenderungan masyarakat (tradisional) pada tradisi mistik tentang nilai syafaat, tawasul, tabaruk, tabarruj, yang sangat lekat dengan corak keagamaan. Tradisi lain peninggalan walisongo yang disebut dengan tradisi malam selikuran
(malam 21), yaitu tradisi untuk menyambut turunnya wahyu Al-Qur'an. Pada malam selikuran ini terdapat acara hajad dalem maleman atau selamatan Rosulan. Upacara ini didominasi lagu-lagu santiswara yang berisi ajaran Islam. Syair lagu santiswara yang terdiri dari puji-pujian, shalawatan, tahlil, tahmid, takbir dikemas dalam bentuk gending Jawa.
1) Gending kaum dhawuk, yang syairnya memberi penghormatan kepada NabiMuhammad yang membawa risalah Islam dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang. Syafaatnya diharapkan oleh segenap kaum Muslimin,
keselamatan dan kedamaiannya ditaburkan ke seluruh penjuru dunia;
2) Gendhing glathik belong, syairnya berupa petuah ajaran hidup agar manusia selalu
ingat dengan agamanya;
3) Gendhing tanjung gunung, yang disajikan untuk mendapatkan hidayah dan barokah
dari Allah SWT;
4) Gendhing kembang gayam, yang diharapkan agar kaum Muslimin bersedia
melakukan amal saleh dan bersedekah karena tembang ini melambangkan
kemurahan dan keramahan pada sesama.
Hal inilah yang menyebabkan dakwah Islam pada masyarakat di Jawa khususnya mudah untuk diterima, pendekatan ini pun melahirkan metode dakwah yang mengakulturasikan antara budaya Jawa dan budaya Islam. Islam yang datang ke pulau Jawa yang telah memiliki budaya sendiri, lambat laun dapat dterima oleh masyarakat setempat dengan tanpa menghilangkan kepribadian budaya Jawa yang telah mengakar di
masyarakat. Salah satu faktor yang menyebabkan Islam mudah diterima adalah karena Islam mampu berakulturasi dengan adat, kepercayaan, dan budaya yang telah berkembang.
C. Implikasi Akulturasi Terhadap Agama dan Budaya Masyarakat Jawa
Akulturasi merupakan proses sosial yang terjadi ketika dua budaya atau lebih saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Di Jawa, akulturasi terlihat jelas dalam interaksi antara budaya lokal dengan budaya asing, terutama budaya Hindu-Buddha dan Islam. Proses ini telah menghasilkan perpaduan yang unik, di mana nilai-nilai dan praktik keagamaan dari berbagai tradisi saling melengkapi. Implikasi akulturasi terhadap agama di masyarakat Jawa juga terlihat dalam cara masyarakat menjalankan praktik keagamaan sehari-hari. Misalnya, banyak orang Jawa yang mengintegrasikan tradisi leluhur dengan ajaran Islam, seperti dalam pelaksanaan ruwatan atau sedekah bumi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa tidak hanya mengadopsi
satu agama, tetapi juga mempertahankan dan menghargai tradisi budaya mereka. Akulturasi
budaya Jawa ke dalam Islam merupakan warisan leluhur yang harus dijaga dan diturunkan
dari generasi ke generasi. Berikut ini adalah beberapa budaya lokal yang dijunjung tinggi
oleh masyarakat Jawa yaitu sebagai berikut.
1) Tradisi Sekaten
Perayaan Sekaten konon menurut sejarah berasal dari Kerajaan Islam Demak. Perayaan Sekaten dijadikan kegiatan Islami di Kerajaan Demak oleh Raden Patah, raja pertama Demak, dengan dukungan para wali. Selain itu, para wali menggunakan gamelan bernama Kyai Sekati untuk menyebarkan agama Islam dengan memainkannya setiap Mulud (bulan Jawa) untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Dari kata "Sekati", perayaan itu kemudian disebut sebagai Sekaten. Tujuan perayaan ini tidak hanya untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, tetapi juga untuk menyebarkan dakwah agama Islam ke seluruh Pulau Jawa, khususnya Yogyakarta.Â
2)Â Tradisi Slametan
Kata "slamet" (Arab: salamah), yang berarti aman, bahagia, dan sentausa. Keadaan bebas dari peristiwa yang tidak diinginkan adalah salah satu makna ucapan selamat. Para ahli etnografi biasanya merujuk pada kegiatan komunal orang Jawa yang dikenal sebagai slametan sebagai "pesta ritual". Perayaan-perayaan ini berlangsung baik dalam acara-acara rumah tangga maupun bersama, seperti ketika sebuah rumah dibangun, sebuah rumah dipindahkan, sebuah pernikahan diadakan, atau seorang anak pertama lahir. Selain itu, slametan juga berfungsi sebagai peringatan bagi keluarga yang telah meninggal. Slametan dilakukan untuk menghormati keluarga almarhum untuk menandai tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, satu tahun, dan seribu hari. Membaca dzikir dan membaca thoyyibah tahlil biasanya dilakukan
bersamaan dengan slametan, yang juga dikenal sebagai tahlilan.
3) Tradisi Ruwatan
Ruwatan adalah ritual yang bertujuan untuk membebaskan seseorang, masyarakat, atau lokasi dari bahaya. Upacara ini sebenarnya adalah doa, di mana orang meminta perlindungan dari bahaya seperti bencana alam dan meminta pengampunan atas dosa dan kesalahan yang dapat menimbulkan bencana. Ajaran sinkretis budaya Jawa kuno yang mengilhami upacara ini telah disesuaikan dengan ajaran agama.
4) Tradisi Nyadran
Dalam rangka mensucikan hati menjelang bulan Ramadhan, tradisi Nyadran merupakan kebiasaan masyarakat yang meliputi penghormatan terhadap arwah leluhur dengan cara berziarah ke kuburan dan memberi salam. Adat Nyadran telah
berkembang dari sekedar berdoa kepada Tuhan menjadi suatu bentuk ritual pelaporan dan penghargaan terhadap bulan Sya'ban atau Nisfu Sya'ban sebagai akibat dari pengaruh Islam. Hal ini terkait dengan ajaran Islam bahwa Sya'ban, bulan sebelum Ramadhan, adalah bulan di mana perbuatan manusia dilaporkan. Oleh karena itu, pelaksanaan ziarah juga dimaksudkan sebagai sarana introspeksi atau perenungan terhadap segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama setahun.
5) Wayang
Salah satu tradisi budaya Indonesia yang sudah lama ada adalah Wayang. Wayang merupakan salah satu warisan bangsa Indonesia yang sudah berkembang selama berabad-abad. Sementara itu, Sunan Kalijaga mulai membuat wayang dari kulit
kerbau pada zaman Raden Patah. Lukisan wayang dulunya menyerupai sosok manusia, seperti relief di Candi Panataran pada tahun di daerah Blitar. Lukisan manusia beberapa ulama dianggap bertentangan dengan syariah. Para wali, khususnya Sunan Kalijaga, kemudian menemukan solusi dengan membalik lukisan itu (bahasa Jepang: methok) agar miring. Sunan Kalijaga juga membuat Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong menjadi tokoh badut yang lucu atas saran wali lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H