Era Orde Baru, Indonesia punya satu Bapak besar. Ia adalah Bapak Presiden Suharto. Istilah ‘bapak’ adalah simbol laki-laki yang gemar membangun negeri (meski terpusat di Pulau Jawa). ‘Bapak’ juga sayang keluarga (terbukti dengan disyahkannya Undang-Undang antipoligami bagi Pegawai Negeri Sipil). ‘Bapak’ juga ibarat Godfather, jargon Asal Bapak Senang atau ABS sempat populer sebagai ungkapan sinistik terhadap para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat yang kerap menyatakan “setujuuuuuu”.
Tetapi pada 98, Bapak akhirnya lengser dari tampuk kekuasaan. Bapak mengadakan jumpa pers, tidak mewakilkan pidato pada siapapun. Bapak pamit dari kursi kerajaan dengan nada datar. Ia tidak mengungkapkan kata-kata drama yang disusun untuk menerbitkan iba rakyat. Saat itu, medan makna “galau” belum menjadi unyu dan dangkal akibat Raffi Ahmad. Sejak saat itu, simbol ‘bapak’ runtuh. Pelan-pelan terungkap sejarah hitam yang membayang di belakang kursi kokoh bernama Orde Baru.
Dalam dunia pop di era Orde Baru, sosok laki-laki yang ditampilkan televisi, saya ingat masih terbatas. Belum banyak iklan tentang barang rumahtangga atau parenting yang menggunakan model iklan laki-laki. Belum banyak pula sinetron Korea yang menampilkan laki-laki berbibir merah, berpipi bening yang kinclongnya bersaing dengan tokoh perempuannya. Bahkan belum musimnya tokoh laki-laki yang menangis karena urusan pacar. Laki-laki masih digambarkan melalui sosok Macgyver yang serba bisa itu, juga melalui sosok penyelamat pengunjung pantai dalam Baywatch.
Film-film koboy, terutama sebelum televisi swasta bermunculan, sering tayang di TVRI. Emosi laki-laki yang masih saya ingat hadir melalui Broery Pesolima, Eddie Silitonga, atau Ebiet G Ade. Tetapi emosi di dalam dunia pop kerap ditegur jika terlalu lebay, misalnya kasus Betharia Sonata.
Entah sejak kapan, tiba-tiba di media televisi swasta kita, muncul laki-laki yang dengan bebasnya menumpahkan emosinya. “Galau”, “Baper” bahkan air mata (tidak perlu saya beri tanda petik) lalu dilekatkan kepada para lelaki ini. Tidak, mereka menangis atau baper bukan karena merasa kehilangan negara akibat perang, mereka juga tidak sedang terenyuh kepada nasib para buruh wanita (TKW) yang kena hukum pancung. Anda pembaca ingat-ingatlah sendiri untuk apa airmata mereka tumpah.
Laki-laki juga manusia, biarkan ia menangis! Begitulah didikan kepada anak-anak laki-laki masa kini. Apakah ini keberhasilan gerakan Feminis kita? Dalam maskulinisme, ada upaya untuk ‘menyelamatkan’ laki-laki dari citra cowokisme yang merupakan bentukan patriarkhi. Isme ini tidak berseberangan dengan feminisme. Mereka berdua, sama-sama memerangi dominasi simbol yang represif. Misalnya ya laki-laki kenapa tidak untuk menangis, kan mereka juga manusia?!
Oleh karena itu, apakah laki-laki (bahkan pejabat tinggi atau mantan atau calon gubernur atau apalah) yang bisa menumpahkan emosinya adalah laki-laki yang berhasil memberontak terhadap cowokisme? Kita juga tentu masih ngeri dengan era Orde Baru yang mendidik laki-laki menjadi manusia datar akibat rezim yang represif. Anda ingin laki-laki (khususnya public figure) tampil seperti apa?
Kalau saya sih, rindu dengan lirik lagu yang dalem banget dari penyanyi Iwan Fals tentang Ibu. Atau lirik tentang sosok ayah yang syahdu tanpa airmata dari Ebiet G Ade. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H