Jika pemilu bagi para politikus adalah sepiring lauk ikan kakap maka golput adalah duri-durinya.
Demokrasi perwakilan membutuhkan partisipasi aktif masyakarat untuk memberi kursi kepada para politikus di legislatif maupun eksekutif dan golput adalah kursi kosong tanpa sosok yang diamnya lebih nyaring di gedung dewan maupun istana kepresidenan. Sebuah kebisuan yang walk out sebelum kata "mufakat" untuk semua keputusan-keputusan kompromi politik para politikus.
Untuk menyingkirkan duri bernama golput dan mengisi kursi kosong dalam pemilu para politikus serentak membuat sebuah alat penghancur duri golput,dibuatlah aturan yang tertuang di Undang-undang 8 tahun 2012 tentang Pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD mengatur tentang ketentuan pidana dan denda bagi orang yang mengajak pemilih lain golput alias tidak memilih.
Dan dari semua tantangan terberat bagi para golputers (sebutan untuk orang-orang golput) adalah lembaga keagamaan, MUI sebagai lembaga keulamaan di Indonesia yang diyakini masih memiliki kredibilitas dalam berfatwa mengeluarkan edaran bahwa golput haram. Golput disamakan dengan daging babi karena keharamannya, kurang lebih seperti itu.
Padahal halal atau haram sebuah perkara mengandung konsekwensi di dalam agama Islam, jika melakukan atau memakan yang haram itu perbuatan yang berdosa dan dibenci oleh Allah, pertanyaannya adalah apakah MUI berani menjamin kalo memilih mendapat pahala dan tidak memilih berarti seorang pendosa. Lebih berdosa mana demokrasi atau golput di mata MUI jika mereka dihadapkan oleh pemilihan ini.
MUI juga berlindung dengan dalil kaidah fiqh "jika ada dua pilihan buruk, pilih yang paling sedikit keburukannya", membawa dalil fiqh ini ke ranah memilih pemimpin di Indonesia adalah suatu hal yang naif, lebih bijak lagi jika MUI memberikan penyuluhan kepada umat Islam bahwa ini adalah konsekwensi berdemokrasi tidak pernah menghasilkan pemimpin yang baik, selalu dari dulu harus memilih pemimpin yang buruk.
Dan golput adalah jawaban untuk mencari pemimpin baik daripada memilih pemimpin yang buruk-buruk. semakin banyak orang golput kursi di legislatif partai-partai penghasil orang buruk itu berkurang sedikit demi sedikit dan capres-capres ketika sedikit pemilihnya menandakan kekuasaan mereka tidak disukai rakyat, karena besarnya golput menandakan tingkat kepercayaan publik kepada pemimpin berkurang.
Golput juga jalan terbaik untuk mengoreksi para pemimpin negeri ini, bahwa ternyata mereka telah gagal untuk melaksanakan janji-janji kampanyenya dengan tidak dipilih lagi atau berkurangnya para pemilihnya karena kegagalan mereka dalam mengemban amanah masyarakat banyak. Mengutip kata-kata Aristoteles, Filosof Yunani, “Pemerintahan yang didasarkan pada pilihan orang banyak dapat mudah dipengaruhi oleh para demagog (penghasutan terhadap orang banyak dengan kata-kata yang dusta untuk membangkitkan emosi rakyat) dan akhirnya akan merosot menjadi kediktatoran.”
Demokrasi adalah lumpur-lumpur kotor, golput mencoba membersihkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H