Setelah tertunda dua kali pengesahannya, rancangan undang-undang organisasi kemasyarakatan (RUU Ormas) akhirnya diketok menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR kemarin pada awal bulan Juli tahun ini. Pengesahan tersebut dilakukan lewat mekanisme voting dengan suara mutlak, yakni 311 orang setuju di antara 361 anggota DPR yang hadir.
Satu hal yang masih menyisakan keprihatinan adalah tercantumnya pelarangan organisasi yang bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar yang telah mengalami empat kali amandemen. UU Ormas menganggap bertentangan apabila suatu organisasi mengadopsi paham-paham yang sejak zaman orde baru sudah terlarang, salah satunya adalah paham marxisme.
Ini cukup memprihatinkan sebab di zaman sekarang Pemerintah dan kroni-kroninya tampaknya memelihara ‘kekhawatiran’ terhadap paham yang dilahirkan oleh Karl Marx tersebut bisa eksis kembali. Tapi di saat bersamaan, Pemerintah, yang menggubris kekhawatiran sejumlah pihak akan bangkitnya marxisme di Indonesia, seolah tidak mampu menjaga keamanan warganya sendiri yang sepertinya lebih ketakutan menghadapi aksi kekerasan yang diinisiasi oleh sesama masyarakat sipil lainnya yang acapkali bergabung dalam organisasimasyarakat (ormas) sektariasnime, atau ormas yang menganggap nilai-nilai mereka sendiri yang benar. Warga sipil dengan nyata melakukan tindak kekerasan dan radikalisme terhadap warga lain, baik oleh ormas yang sudah lama eksis ataupun kelompok dadakan yang dibentuk hanya untuk kepentingan sesaat.
Masih ingat dengan kasus penyerangan dan penolakan terhadapan warga Ahmadiyah yang hingga sekarang masih terjadi. Tragedi yang melibatkan Ahmadiyah yang terparah terjadi pada tahun 2011 yang mana ribuan orang menyerang warga Ahmadiyah Cikeusik, Pandeglang. Tiga anggota Ahmadiyah meninggal, sementara rumak milik Ahmadiyah hancur dirusak massa. Ini sungguh mengerikan!
Para penyerang hanya mendapat hukuman penjara singkat antara tiga dan enam bulan atas tuduhan mengganggu ketenteraman masyarakat, penghasutan dan penyerangan. Mereka tidak dituntut dengan pasal pembunuhan. Belum lagi kasus para penganut Syiah di Sampang, Madura, yang harus mengungsi akibat dari kekerasan sektarian. Kita tahu semua korban dan pelaku kekerasan beraliran sektarianisme adalah sama-sama warga negara Indonesia.
Memang keberadaan organisasi masyarakat sebelum orde baru dimanfaatkan untuk menumpas Partai Komunis Indonesia. Siapakah yang meminta bantuan untuk melakukan aksi-aksi penumpasan? Apakah pemerintah Indonesia, yang saat itu masih di bawah kepemimpinan Soekarno? Jawabannya masih bias. Sama biasnya dengan apa yang sebagian besar masyarakat Indonesia tahu atau mengerti mengenai marxisme. Sebagai generasi warisan penataran P4, marxisme atau komunisme diartikan sebagai anti ke-Tuhanan yang bertentangan dengan sila pertama Pancasila. Benarkah itu arti dari marxisme? Silakan Anda gali sendiri.
Tapi yang jelas marxisme secara resmi tidak bisa berkutik lagi di Indonesia, sejak adanya Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan PKI dan Ajaran Marxisme-Leninisme. Itulah salah satu tantangan Indonesia di masa lalu yang berhasil diatasi: menumpas marxisme hingga ke level legislatif. Walau UUD 1945 menjamin kebebasan berpendapat di Indonesia secara lisan maupun tulisan.
Beda zaman, beda persoalan. Tantangan Indonesia tempo dulu adalah mengusir penjajah dan marxisme. Kini Indonesia berhadapan dengan merebaknya sektarianisme, berwujud pada konflik rumah ibadah, kekerasan terhadap kelompok minoritas dan main hakim sendiri demi mempertahankan ideologi. Sektarianisme jelas-jelas bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam Pancasila, yakni Bhineka Tunggal Ika. Tentu Indonesia tidak mau tercabik-cabik oleh gerakan sektarianisme yang berasal dari dalam tubuhnya sendiri.
Dalam public lecture bertema "Pakistani Youth Role in Preventing Pro-Violence Ideology", tokoh muda Pakistan, Dr Hussain Mohi-Ud-Din Qadri, mengatakan bahwa Indonesia sebagai negara majemuk dengan beragam agama perlu melakukan langkah antisipatif terhadap menyebarnya paham sektarianisme. Dalam pengalaman di berbagai negara, termasuk Pakistan dan Indonesia, sektarianisme kerap menimbulkan konflik dan kekerasan di tengah masyarakat.
Langkah antisipatif yang patut pemerintah pertimbangkan adalah memasukkan sektarianisme dalam daftar aliran terlarang, sama halnya dengan marxisme. Serta, melarang ormas-ormas mengadopsi nilai-nilai sektarianisme. Sesuai dengan UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Pasal 59 ayat 4, menyebutkan, “Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.” Bila dulu Indonesia berhasil memusnahkan organisasi PKI dan paham marxismenya, Indonesia pun bisa melakukan hal yang sama kepada organisasi lainnya dan paham sektariasnisme mereka. Sebab baik PKI, marxisme dan organisasi sekterianisme sama-sama bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi dasar bagi negara Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H