Pemerintah Indonesia bertekad untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara industri agar dapat berubah lebih baik dari negara berkembang menjadi maju di dunia. Di tengah usaha tersebut, terselip cerita bagaimana perusahaan manufaktur, demi menekan biaya tinggi, menomorsekiankan hak pekerjanya. Pekerja pun tanpa daya menerima perlakuan tersebut. Kondisi itu berbeda dengan industri di negara maju, yang menjadi aspirasi Indonesia. Apa yang membuatnya berbeda?
Sejak Januari 2014, Indonesia resmi mengubah Jamsostek menjadi Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Kelebihan BPJS adalah pekerja formal dan non formal bisa mengaksesnya. Manfaatnya tidak berubah. Progam sosial pemerintah ini tetap akan membantu pekerja untuk mengatasi risiko sosial ekonomi seperti saat terjadi peristiwa kecelakaan, sakit, hamil, bersalin, cacat, hari tua dan meninggal dunia, yang mengakibatkan berkurangnya atau terputusnya penghasilan tenaga kerja dan/atau membutuhkan perawatan medis.
Dengan manfaat di atas, sangat tidak mungkin ada pekerja akan menolak program jaminan seperti itu. Tapi nyatanya, peserta BPJS Ketenagakerjaan rendah. Biro SDM BPJS Ketenagakerjaan Nasional mencatat data per Desember 2013, tenaga kerja yang aktif pada Jamsostek hanya mencapai 12 juta orang. Sedang jumlah angkatan kerja Indonesia saat ini mencapai 118,2 juta orang. Dari jumlah itu berarti hanya 10% pekerja di Indonesia yang terdaftar. Kondisi itu mewakili apa yang terjadi di provinsi Sumatera Utara. Data dari Badan Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara menyebut dari 1.640.000 pekerja sektor formal, baru 33% yang terdaftar di BPJS.
Apakah kalangan pekerja sendiri yang menolak untuk mendaftarkan diri mereka? Akal sehat sulit untuk menerima alasan ini melihat manfaat jangka panjang yang akan sangat membantu meringankan biaya saat pekerja menghadapi risiko sosial ekonomi. Yang terjadi justru perusahaan enggan mendaftarkan pekerjanya. Bahkan perusahaan mengancam mereka yang berusaha mendaftarkan diri sendiri ke BPJS akan dipecat. Ini yang terjadi pada sejumlah pekerja manufaktur di Sumatera Utara.
Konstitusi mengatur bahwa pekerja berhak mendaftarkan diri mereka bila perusahaan lalai mendaftarkan pegawainya. Tapi, tetap saja pekerja sebagai pihak yang membutuhkan pekerjaan, tidak berani bertindak dan pasrah menerima paket asuransi komersial yang diberikan perusahaan, yang tidak memiliki jaminan jangka panjang lebih besar daripada BPJS. Bagi perusahaan, BPJS adalah beban dan mengancam iklim investasi, meski mekanisme pembayaran premi jaminan sosial ini ditanggung oleh perusahaan dan tenaga kerja. Inilah salah satu hambatan dalam memperbesar jumlah peserta, yakni sikap dan pemahaman pengusaha yang menilai program jaminan sosial memberatkan.
Program kesejahteraan bagi pekerja atas inisiatif pemerintah ini memiliki pondasi hukum yang kuat, yakni UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Meski sudah menjadi konstitusi, masih ada perusahaan yang tidak mematuhinya. Padahal, Pasal 55 menyebutkan, jika pemberi kerja lalai membayar iuran BPJS dipidana maksimal 8 tahun penjara atau denda maksimal Rp 1 miliar. Hingga saat ini, belum ada perusahaan yang dijerat dengan UU itu dan bahkan pekerja yang mengalaminya seolah tidak berdaya untuk menuntut haknya itu.
Praktik perusahaan yang tidak menghargai hak karyawan juga terjadi di negara maju seperti Amerika Serikat. Tapi bedanya, penegakan hukum berjalan di sana. Contoh, perusahaan Staples, Inc. melakukan diskriminasi terhadap satu karyawannya lantaran dia tidak bersedia mengundurkan diri hanya karena usianya, hingga tuduhan palsu dibuat agar ada alasan untuk memecatnya. Firma Hukum Shegerian & Associates, Inc. berhasil memperjuangkan hak karyawan itu dan perusahaan wajib membayar US$ 26 juta kepada mantan karyawannya. Penegakan hukum semacam ini bisa berjalan lantaran pekerja menyadari dan berani menuntut haknya.
Ini bisa menjadi preseden bagi dunia hukum Indonesia terkait dengan penegakan hukum yang menyangkut hak-hak pekerja. Tapi, tentu persoalan hukum ini bisa terhindarkan bila perusahaan mematuhi konstitusi. Pekerja pun tidak akan merasa kesejahteraannya terancam dan bisa bekerja dengan baik. Bila sebaliknya yang terjadi, akan sulit menekan aksi unjuk rasa buruh yang belakangan ini sering terjadi. Aksi ini justru memiliki ancaman lebih besar terhadap iklim investasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H