Mohon tunggu...
rina sagita
rina sagita Mohon Tunggu... -

ibu rumah tangga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wabah Keong Racun

4 Agustus 2010   10:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:19 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Wabah Keong Racun

(serial Anis-Mahatma)

 

3agustus2010

Lagu keong racun memang lagi ngetren. Di TV dan radio hampir setiap hari terdengar. Belum lagi para penjual dvd bajakan pinggir jalan yang ikut memeriahkan suasana jalan-jalan di jakarta yang lebih sering macet dengan lagu ini. Duet sinta n jojo yang sudah ada di youtube dan kabarnya sudah di hapus yang empunya jauh-jauh hari, sekarang juga banyak di putar di televisi.

Lagu ini entah mengapa mengingatkan saya pada lagu “cucak rowo” yang kala itu juga heboh seperti ini. Atau “goyang dombret” yang syairnya sempat membuat sebagian ibu-ibu jadi sewot. Dan kemudian seperti lagu-lagu yang lain, akhirnya larut sendiri, tergantikan oleh dendang yang baru dan di gemari. Sebelumnya juga ada lagu seperti goyang “poco-poco”, terus yang dari luar negeri lagu “aserehe” yang di nyanyikan duo last ketchup dan ternyata kabarnya adalah lagu yang di gunakan untuk memuja sang “diego” alias iblis.

Entah karena terus-terusan di putar dan di perdengarkan, atau memang teman-temannya di sekolah membicarakan, kedua putra-putri saya, Anis (10) dan Mahatma (8) membahasnya suatu hari dengan saya dalam perjalanan menuju ke tempat les mereka.

Mahatma memulai dengan bertanya, “ Ummi, ummi tahu tidak, lagu keong racun?”

“tentu saja tahu, kan lagi banyak di putar di mana-mana,” jawab saya sambil menebak-nebak kearah mana pembicaraan ini.

“Ummi tahu tidak, bagaimana lagunya?” tanyanya lagi. Kali ini suaranya terdengar penasaran.

“tahu, tapi tidak hafal semuanya,” jawab saya mulai waspada.

“coba Mi, nyanyikan,” pintanya. Saya terdiam sejenak, mempertimbangkan permintaannya.

“oke. Kalau ga salah mulainya begini... dasar kau, keong racun. Baru kenal eh ngajak tidur..., begitu,” jawab saya lagi. “memangnya kenapa dek? Teman-temanmu bilang apa?” saya menyambung.

“teman-teman juga nyanyiin kayak gitu,” kata Mahatma.

Dari spion dalam saya perhatikan wajahnya serius seperti berpikir. Saya juga ikut-ikutan memasang alarm waspada di otak saya. Mengantisipasi pertanyaan selanjutnya yang mungkin lebih “gawat”. Saya lirik kakaknya, Anis yang baru saja berulang tahun yang ke-10 Juli kemarin ikut memperhatikan adiknya. Sebuah buku terbuka berada di pangkuannya. Si sulung ini memang hobi baca, tapi justru itu saya harus lebih ekstra waspada. Kadang-kadang pertanyaannya  membuat saya lebih serius mempertimbangkan jawaban apa yang sebaiknya saya berikan kepadanya, karena bacaannya yang sudah beragam.

“Ummi, lagu itu ceritanya apaan sih ‘Mi, kok ada tidur-tidurnya segala,” katanya. Masih dengan mimik muka serius, balik menatap saya lewat kaca spion. Tuh, kan kata saya dalam hati. Saya menatap matanya sekilas sambil berpikir, jawaban apa yang cocok untuknya, yang sesuai dengan usianya.

“menurutmu lagu itu ceritanya apa?” saya balik bertanya, menguji persepsinya.

“kata aku ya yang nyanyi kayaknya marah sama orang gitu ‘Mi. Orangnya dia katain keong racun,” katanya.

“terus?”

“Tapi aku ga tahu kenapa yang nyanyi kok terus marah-marah ya ‘Mi. Memang ngatain orang kan ga boleh ya ‘Mi? Keong racun. Memangnya keong ada yang beracun ‘Mi?” tanyanya cemas.

Saya tersenyum. Si bungsu ini memang sangat menggemari binatang keong, dan selalu membelinya bila ada penjual yang dia temui. Pernah keongnya mencapai 30 ekor, sampai saya membelikan tempat khusus untuk keong-keongnya itu, berikut rumah-rumah keong yang sudah kosong. Karena binatang satu ini sangat gemar bertukar rumah. Pernah suatu kali gelas barbie mungil mainan kakaknya yang tidak sengaja terjatuh diatas pasir yang berisi keong tiba-tiba saja esok harinya sudah berpindah “hak milik”. Lucu juga melihat keong yang berumah gelas barbie.

“mungkin saja keong ada yang jenisnya beracun, tetapi Ummi belum pernah ketemu, dan belum pernah membaca juga. Betul, kita tidak boleh berkata yang buruk pada orang lain, walau kita tidak suka pada tingkah lakunya,” akhirnya saya menjawabnya.

“Tuh,kan. Tapi mengapa kok dia bilang ‘dasar keong racun...’ itu kan ga baik,” katanya berapi-api.

“ya adek betul lagi. Tapi Ummi rasa di lagu itu ceritanya memang sedang marah betul. Jadi ada seorang perempuan yang sedang marah sekali pada seorang laki-laki. Lalu dia ngatain si laki-laki ini keong racun, begitu,” urai saya hati-hati.

“sebabnya marah kenapa ‘Mi?”

“Ummi rasa karena si laki-laki ini mengajak yang perempuan tidur bareng-bareng, padahal kan baru kenal,” aduh sulitnya memilih kata yang tepat sekaligus tidak berdusta, batin saya dalam hati.

“oh begitu. Lucu juga ya ‘Mi, baru kenal kok terus ngajak tidur bareng-bareng. Apa yang laki-laki ini ngantuk banget kali ya ‘Mi. Terus dianya takut bobok sendirian, jadi minta di temani yang perempuan,” sambungnya.

“Mungkin,” jawab saya sambil tersenyum menahan geli.

“terus yang perempuan jadi marah ya ‘Mi, kan baru kenal kok di ajak bobok aja. Kan malu banget, masak laki-laki sudah besar bobok sendiri tidak berani. Aku aja berani. Mungkin juga yang perempuan itu gak ngantuk, tapi di paksa di ajak bobok. Pantes marah-marah,” katanya bersemangat.

Saya yang masih mengulum senyum tahu apa maksudnya, dia pasti teringat setiap kali saya ajak bobok siang sepulang sekolah. Dia suka memprotes dengan alasan tidak ngantuk.

“ya. Ceritanya memang tentang seorang pria yang kurang sopan santunnya, jadi akhirnya membuat orang lain tersinggung. Kita memang harus bersikap yang sopan bila bergaul, dan jangan sampai menyinggung perasaaan orang lain.”

“iya. Harusnya jadi teman dulu ya ‘Mi, baru minta di temani bobok,” sambungnya.

“tentu saja tidak. Laki-laki dewasa dan perempuan dewasa baru boleh bobok bareng kalau sudah menikah lebih dahulu, tidak boleh bobok bareng sembarangan. Walaupun sudah berteman bertahun-tahun sekalipun kalau bobok ya tetap harus sendiri-sendiri kalau belum menikah,” terang saya.

“iya. Kalau bobok sama-sama nanti bisa hamil, tahu,” kakaknya, Anis  yang kali ini menyahut, membuat alarm waspada saya kembali berbunyi.

“o ya? Benar begitu ‘Mi? Dua orang dewasa laki-laki sama perempuan kalau bobok bareng terus bisa hamil? Cuma bobok doang? Terus ada adek bayinya?” Mahatma kembali bertanya. Sangsi sekaligus penasaran.

“ ya tidak persis begitu,” saya kembali berpikir, mengira-ngira harus menjawab bagaimana.

“adek, kamu tahu tidak sih, adik bayi itu bisa ada di perut Ummi kalau sperma bertemu sel telur. Sperma milik laki-laki, terus sel telur milik perempuan. Itu harus bertemu dulu baru bisa jadi adik bayi. Ya kan ‘Mi?” kakaknya mengambil alih menerangkan. Saya mendengarkan, ingin tahu sejauh apa informasi yang di terima si sulung. Adiknya mendengarkan keterangan kakaknya dengan setengah tidak percaya. Mulutnya mengulang kata “sperma” dan “sel telur” perlahan-lahan.

“iya betul, seratus buat kakak,” kata saya.

“tuh. Kamu ga percaya sih. Makanya baca buku, jangan maunya di ceritain doang,” si sulung jadi memarahi adiknya yang memang tidak terlalu suka membaca.

“terus caranya bagaimana ‘Mi? Katanya tadi ada sperma punya Abi, sperma itu apa? Terus sel telur punya Ummi. Memangnya Ummi bertelur ya? Masak manusia bertelur?” Mahatma yang bertanya.

“Sperma itu calon manusia. Bentuknya seperti kecebong dengan ekor yang sangat panjang. Ukurannya kecil banget, Cuma bisa dilihat di bawah mikroskop. Kalau sel telur itu tempat sperma berkembang menjadi adik bayi. Sel telur yang sudah berisi sperma nanti menempel di dalam  perut Ummi yang di sebut Rahim,” urai saya.

“caranya?”

“pertama-tama ya harus menikah dulu,” kata saya sibuk berpikir memilih kata yang tepat.

“Terus ‘Mi?”

“nah kalau sudah menikah, karena Abi sayang Ummi, maka Abi berikan spermanya buat Ummi, Abi letakkan di dalam perut Ummi. Abi titipkan kamu di perut Ummi. Karena ummi juga sayang sama Abi, Ummi menerima. Jadilah adik bayi di perut Ummi, terus lahir di beri nama Mahatma,” urai saya lagi. Putra saya tersenyum lebar, mungkin teringat pada foto-foto ketika dia baru lahir.

“aku dong ‘Mi, kan aku duluan yang lahir,” protes kakaknya.

“tentu saja. Mbak Anis duluan, terus Abi berikan lagi spermanya, lalu ada adik Mahatma. Terus dua-duanya di sayang deh,” kata saya lagi. Sekarang keduanya tersenyum lebar.

“tapi, masak manusia bertelur sih ‘Mi,” katanya penasaran.

“ya semua makhluk hidup yang berjenis kelamin perempuan atau betina bertelur, karena telur tempat tumbuhnya calon makhluk hidup. Hanya saja telur berbeda-beda, tidak harus seperti telur ayam begitu,” jawab saya lagi.

“o gitu ya ‘Mi. Tapi telur Ummi di dalam perut Ummi, kan? Jadi ga kelihatan ya?” tanyanya memastikan. Saya mengangguk sambil tersenyum.

Tak terasa kami sudah sampai di tempat les. Setelah mencium tangan dan mengucap salam, keduanya berlarian masuk ke dalam ruangan, bersama teman-temannya. Saya pun lalu bergabung dengan ibu-ibu yang lain, berbincang sambil menunggu anak-anak pulang.

Waktu satu jam tak terasa sudah terlampaui. Kedua putra-putri saya berlarian kembali mendapatkan ibunya. Saya pun mengajak mereka pulang. Di mobil saya nyalakan radio, mencari gelombang yang menyiarkan talk show atau berita. Di tengah-tengah acara talk show si pembawa acara memutuskan untuk rehat sejenak dan mengisinya dengan memutar sebuah lagu. Ternyata lagu yang di putar adalah lagu “keong racun”. Maka mengalunlah lagu keong racun yang terkenal itu........” dasar kau, keong racun. Baru kenal eh ngajak tidur.....”

Belum sampai lagu habis salah satu anak saya menggerutu pelan tetapi jelas ,” lagu jelek gitu kok laku.” Saking kaget saya sampai menengok ke belakang untuk memastikan siapa tadi yang berbicara. Kedua-duanya terlihat tenang, tanpa ekspresi. Matanya balik menatap saya tanpa isyarat apapun. Saya pun kembali memperhatikan jalan di depan.

Tiba-tiba, “matikan saja, ‘Mi. Ga usah di dengerin.”

Lho?!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun