Dear diary...
Begitu banyak rasa yang membuncah, pikiran liar yang menari-nari di kepala, yang tak dapat saya sampaikan secara lisan, maka saya tuangkan lewat tulisan, khususnya puisi.Â
Mengapa puisi? Pertama, karena saya lebih "nyaman" menulis puisi dan lebih "bebas" dalam berekspresi, walau puisi saya masih jauh dari kategori bagus, baik, tidak sombong dan rajin menabung haha, mungkin juga belum memenuhi syarat kelayakan sebagai sebuah karya sastra. Â Kedua, karena saya tidak memiliki atau kurang ilmu di kategori lainnya. Ketiga, kembali ke poin pertama hehe.
Masih teringat jelas, saya mulai jatuh hati pada puisi, saat saya duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) di salah satu sekolah negeri di Makassar. Â Suatu hari, guru Bahasa Indonesia kami, Ibu Hurairah "memaksa"Â saya ikut lomba menulis puisi tingkat Nasional, bertema lingkungan hidup mewakili sekolah kami. Â Seingat saya saat itu, saya menulis puisi dengan judul "Sampah". Â Dan sebagai debutan dalam lomba penulisan puisi, alhamdulillah saya mendapat juara harapan 2 (dua) dari seluruh perwakilan sekolah se-Indonesia. Merasa bangga? waktu itu belum terbersit di pikiran dan hati saya, karena saya masih fokus dengan dunia remaja saya, masa-masa dimana saya masih asyik bermain dengan anak-anak seusia saya, dan pencarian jati diri. Â Singkat cerita, kesetiaan saya pada puisi dimulai sejak di bangku SMA sampai dengan saat ini.
Waktu berlalu dengan dinamika kehidupan silih berganti, membawa saya ke masa kini, dimana saya sudah berkeluarga dan bekerja, menulis puisi menjadi sebuah keniscayaan, dan merupakan salah satu "Self Healing" atau terapi bagi saya untuk menjaga kewarasan di tengah hiruk pikuk drama kehidupan di lingkungan keluarga, tetangga, maupun di tempat kerja.
Lebih luas daripada itu, saya ingin menciptakan warisan untuk masa depan, pada saat jasad saya sudah tidak ada lagi di dunia ini. Namun, saya meninggalkan "Jejakata" untuk dikenang, jiwaku abadi dalam karyaku. Â
Saya juga ingin hidup seribu tahun lagi, seperti kata Bung Chairil Anwar dalam puisinya berjudul "Aku"Â yang sangat fenomenal itu. Â Masih pada ingat kan lirik puisinya? Kalau lupa, sini saya ingatkan lagi;
AKU (Karya Chairil Anwar)
Kalau sampai waktuku             Ku mau tak seorang kan merayu Tidak juga kau                    Tak perlu sedu sedan itu          Aku ini binatang jalang           Dari kumpulannya terbuang         Biar peluru menembus kulitku   Aku tetap meradang menerjang      Luka dan bisa kubawa berlari        Berlari hingga hilang pedih peri     Dan aku akan lebih tidak peduli     Aku mau hidup seribu tahun lagi.
Maaf, bukan berarti puisi saya sudah sejajar atau pantas disandingkan dengan puisi Bung Chairil, haha bagaikan permata dan serpihan debu. Saya sadar diri, saya bukan siapa-siapa, dibandingkan nama besar beliau yang merupakan "Sang Maestro" di bidang kesusasteraan Indonesia. Dibandingkan dengan puisi teman Kompasianers saja, saya menyerah tanpa syarat. Apik-apik rek!
Minimal, bisa dikenang oleh teman Kompasianers yang setia membaca puisi saya, dan tentunya Kak Admin Kompasiana yang terlebih dulu membaca sebelum tayang hehe. Serta bagi para pembaca buku puisi saya/kami yang sudah pernah terbit;Â