“Seringkali orang merasa bisa memahami sesuatu, padahal sesungguhnya ia hanya memahami pemahamannya sendiri belaka. Orang melihat dan merasa telah berhasil melihat, padahal yang dicapainya hanyalah batas penglihatannya saja.”
— Emha Ainun Nadjib
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia daring: "Mengerti" berakar dari kata dasar "erti" yang bermakna "arti" yaitu telah dapat menangkap (tahu) apa yang dimaksud oleh sesuatu. Sedangkan "Paham", memiliki arti: pandai dan mengerti benar akan suatu hal.
Sederhananya, mengerti belum tentu memahami. Sedangkan memahami, sudah pasti mengerti. Contoh kecilnya, saat kita sedang berkendara di jalan raya dan ketemu lampu merah, bukannya berhenti, malah kita terobos tanpa berpikir panjang dampak dari keegoan kita, padahal kita tahu arti dari rambu-rambu lalu lintas (lalin).
Contoh lainnya, saat lalin lagi macet-macetnya, tapi kita malah nglakson terus-menerus, yang dapat menganggu pengguna lalin lainnya. Jika kita memahami situasi dan kondisi tersebut, maka kita berusaha menahan diri untuk lebih bersabar sampai lalin kembali normal dan lancar. Ayo, siapa yang biasa begini? cung...! hehe.
Lazim kita ketahui bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, karenanya dalam bersosialisasi kita tahu dan mengerti bahwa tiap individu itu unik tapi, dapatkah kita memahami keunikan itu dan tidak menjadikannya sebagai sebuah masalah dan perpecahan? jangan-jangan kita belum tahu perbedaan mengerti dan memahami?
Maka sangatlah wajar, banyak diantara kita yang sangat mudah menilai dan menghakimi sesuatu atau seseorang, hanya karena perbedaan pendapat (apalagi perbedaan pendapatan hehe), ataupun hanya karena persoalan remeh-temeh. Dan naifnya, kita terkadang membenci apa yang tidak, atau belum kita pahami.
Apalagi di era digital saat ini, tak dapat dipungkiri, di berbagai aspek kehidupan masyarakat, telah banyak mengalami "pergeseran nilai" karena tergerus oleh arus informasi.
Lalu lintas informasi yang begitu padat, terkadang menyebabkan "macet informasi" sehingga berpotensi berkembang menjadi berita "hoaks" di masyarakat. Begitupun sikap kita terhadap berita yang lagi "viral", kita lebih sering gagal menjadi "kontrol" minimal buat diri sendiri. Sehingga tanpa sadar, kita terbawa oleh arus informasi yang unfaedah sama sekali, dan hanyut dalam "euforia semu".
Pada umumnya, manusia masih sebatas mengerti "something" secara "kasat mata" atau yang hanya ditangkap oleh indra penglihatan, atau yang hanya ditangkap oleh indra pendengaran saja.
Dimana signyal yang ditangkap oleh mata dan telinga, diteruskan ke otak yang merupakan pabrik untuk memproduksi "buah akal" atau pikiran, dan tempat bersemayamnya ego.
Jika otak hanya mengolah informasi yang terbatas, parsial dan tidak utuh atau dalam bahasa matematikanya hanya memperhitungkan faktor X saja, tanpa memperhitungkan faktor Y, Z, dan variabel lainnya, maka otak hanya akan memproduksi rumusan linear, tidak menghasilkan pemecahan masalah yang menyeluruh (kompleks) atau bahasa kekiniannya, kita kenal dengan istilah "Gagal Paham".
Sedangkan dalam kehidupan sosial, tidak hanya dibutuhkan kecerdasan intelektual, tapi diperlukan keseimbangan dari kecerdasan lainnya, yakni juga membutuhkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spritual, sehingga kita pantas disebut "Makhluk Intelektual".
Pemikiran yang merupakan buah dari akal, dan rasa yang dilahirkan oleh hati, seharusnya saling terkoneksi pada Frequency Modulation (FM) alias stereo.
Apabila dikaitkan dengan insting dan intuisi, jika kita masih di zona mengerti (belum memahami), berarti kita masih sebatas menggunakan insting. Insting hampir sama dengan naluri, yang dimiliki oleh manusia dan juga hewan. Dan hanya manusia yang memiliki kemampuan untuk mengolah insting menjadi intuisi. Hal inilah yang menjadi "pembeda" antara manusia dan hewan. Sehingga menjadi sebuah "pilihan" apakah kita hanya mau sekadar mengerti, atau ingin memahami suatu hal atau permasalahan dalam hidup, hingga kita mampu memetik hikmah dari setiap peristiwa.
Bagi saya pribadi sebagai penulis artikel ini, kemauan dan kemampuan untuk memahami, terkadang masih sangat sulit saya lakoni (terapkan) dalam kehidupan sehari-hari yang penuh drama hehe.
Ada jarak antara pengetahuan dan ilmu, pengetahuan menjadi ilmu hanya jika sudah menjadi laku. — Sabrang Mowo Damar Panuluh
Mungkin, butuh waktu seumur hidup saya untuk belajar mengolah insting menjadi intuisi, yaitu gerak pikir-gerak hati-gerak rasa-gerak jiwa untuk mau memahami dan memaklumi segala sesuatu dari berbagai aspek kehidupan, yang merupakan "Adab" yang dicontohkan oleh tauladan kita, Muhammad saw. dan "Manusia Pilihan" lainnya.
Mari terus belajar untuk menjadi Insan Kamil (Manusia Seutuhnya; manusia dengan pemahaman yang paripurna, dan telah berdaulat dengan diri sendiri) untuk melanjutkan tugas "kerasulan" (menebarkan manfaat dan cinta kasih bagi sesama dan semesta).
Pada akhirnya, kebenaran sejati hanyalah milik-Nya. Artikel di atas, merupakan hasil serapan dari apa yang pernah saya lihat, saya baca, saya dengar, saya rasa, ataupun yang pernah saya alami. Artinya, hanya sebatas interpretasi saya secara pribadi. Boleh jadi mengandung "kebenaran", boleh jadi mengandung "kekeliruan".
Jika ada kekurangan, mohon diberi tanggapan. Jika ada kelebihan, mohon dikembalikan! hehe
Sekian, dan terima kasih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI