Siang itu, sepulang bekerja saya melihat di teras rumah  ibu saya sedang sibuk memilah sampah sayur dan buah kemudian memotongnya menjadi ukuran yang lebih kecil. Saya mulai bertanya untuk apa sampah-sampah itu. Iu saya menjawab bahwa sampah tersebut nantinya akan diolah menjadi eco-enzyme. Saat itu, saya belum pernah mendengar istilah eco-enzyme. Namun mendengar kata "eco" tentu saya yang ada di pikiran saya adalah hal yang baik untuk lingkungan. Dan tentu saja saya mendukung hal yang bertujuan untuk kelestarian lingkungan. Saya pun bergegas membantu ibu saya dengan mengenakan sarung tangan karet dan masker. Sebagai orang yang memiliki hidung sensitif, tentu saja "sedikit bau busuk" dari sampah sayur dan buah yang saya pegang masih menembus lapisan masker yang saya gunakan.
Sambil memotong sampah sayur dan buah, saya mulai bertanya kepada ibu saya apa kegunaan dari eco-enzyme. Ibu saya pun menjelaskan bahwa eco-enzyme memiliki banyak manfaat aik untuk pupuk, kesehatan, hingga alternatif pengganti bahan bakar fosil. Beliau juga bercerita bahwa perempuan di jaman dulu adalah perempuan yang kreatif dengan segala keterbatasan yang ada. Banyak dari "tradisi" hasil kreativitas perempuan jaman dahulu yang digunakan hingga saat ini. Misalnya saja memanfaatkan kincir air untuk menumbuk beras, memanfaatkan panas matahari untuk menjemur dan mengawetkan makanan. Bahkan mereka mampu menggunakan bahan yang ada semaksimal mungkin, sehingga sampah yang dihasilkanpun sedikit. Sambil mendengarkan cerita ibu tentang tradisi perempuan di masa lampau,  kepala saya mulai terisi dengan berbagai rumus dan senyawa yang dihasilkan oleh eco-enzyme hingga sebanyak itu manfaat yang akan didapatkan. Setelah potongan sampah ini ditimbang dan dicampur ke dalam wadah tertutup kedap udara yang sudah berisi larutan molase dan air. Wadah harus dipastikan benar-benar tertutup agar terhindar dari pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan serta mengoptimalkan proses fermentasi anaerob. Wadah penampung diberi label komposisi sampah dan tanggal pembuatan untuk mempermudah identifikasi saat "panen" 3 bulan kemudian.
Setelah aktivitas itu selesai, saya berusaha mencari tahu tentang eco-enzyme. Sekitar tahun 2019 yang lalu, istilah eco-enzyme mulai banyak diberitakan. Intinya, eco-enzyme adalah hasil fermentasi dari sampah dapur yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, misalnya pestisida alami, filter udara, desinfektan, dan penelitian terbaru menyebutkan bahwa eco-enzyme dapat digunakan sebagai bahan bakar yang disebut dengan eco enzyme fuel cell. Dalam proses fermentasi diperlukan adanya bakteri dan sumber nutrisinya. Dalam pembuatan  eco-enzyme yang sudah saya sebutkan di atas, bakteri yang digunakan berasal dari sampah dapur dan larutan molase digunakan sebagai sumber nutrisinya. Hasil ferentasi  eco-enzyme ini tergantung dari jenis sampah dapur yang digunakan, karena masing-masing sampah dapur akan menghasilkan senyawa aktif  yang berbeda pula. Oleh karena itu, sebelum dicampurkan ke dalam larutan molase akan lebih baik jika sampah dapur yang digunakan dipilah dan ditimbang sesuai kebutuhan terlebih dahulu.
Fakta menarik lain tentang  eco-enzyme yang saya ketahui adalah ternyata pembuatan  eco-enzyme mulai berkembang melalui komunitas. Dan komunitas ini mayoritas terdiri dari para perempuan dari usia produktif hingga lansia dan kebanyakan berprofesi sebagai ibu rumah tangga.  Komunitas ini mengedukasi, mengarahkan dan menampung  eco-enzyme yang telah terkumpul untuk dijual atau disumbangkan (semacam bank sampah). Semangat dan ketulusan para perempuan dalam komuitas ini patut diacungi jempol. Bahkan selama pandemi, komunitas ini menyumbangkan eco-enzyme yang dihasilkan kepada rumah sakit untuk desinfektan dan sebagian dibuang ke sungai agar sungai yang tercemar dapat kembali bersih.
Dari fakta-fakta tersebut, saya mulai memikirkan seandainya  eco enzyme fuel cell dapat diproduksi melalui komunitas gabungan dari pembuat  eco enzyme tentulah sangat bermanfaat bagi lingkungan. Dengan adanya edukasi dalam komunitas, maka anggotanya dapat diarahkan untuk memproduksi  eco enzyme yang sesuai untuk standar pembuatan  eco enzyme fuel cell. Setelah itu,  eco enzyme yang dihasilkan dikumpulkan dan diolah menjadi  eco enzyme fuel cell.
Betapa besar peran perempuan dalam menghasilkan  eco enzyme fuel cell sebagai sumber energi terbarukan. Saya yakin sekalipun tidak ikut dalam proses pembuatan eco enzyme, para perempuan memiliki peran untuk memilah atau mengelola sampah dapur di rumahnya. Jika bukan para perempuan, siapa lagi yang dapat memilah dan mengelola sampah dapur agar tidak mencemari lingkungan? Mungkin hal ini terlihat sepele namun dampaknya sangat penting. Perempuan di setiap rumah ini nantinya juga dapat memberikan informasi dan membiasakan anggota keluarga yang lain untuk dapat memisahkan sampah yang dihasilkan di rumah.
 Jika pembuatan eco enzyme fuel cell semakin berkembang, memungkinkan jika nantinya tiap rumah hanya memilah sampah dapurnya dan petugas kebersihan nantinya mengelola lebih lanjut sesuai dengan jenis sampah yang terkumpul. Dan untuk sampah dapur tentunya diolah menjadi eco enzyme fuel cell. Mungkin pemikiran saya agak terlalu jauh, namun mungkin saja terjadi. Dengan melihat banyaknya perumahan yang dibangun saat ini, dan adanya konsep pengelolaan sampah di kawasan tersebut tentunya memudahkan untuk mengorganisir dan mengelola sampah yang ada. Ditambah dengan adanya komunitas yang fokus pada pemberdayaan perempuan dan lingkungan seperti Oxfam, maka hal tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan.
Pembuatan alternatif pengganti bahan bakar fosil perlu diperhatikan agar transisi energi adil dapat tercapai. Jika opsi alternatif pengganti bahan bakar fosil terbatas, maka bahan bakar fosil akan selamanya menjadi bahan bakar utama yang terus menghasilkan emisi karbon. Padahal, negara kita telah berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emision di tahun 2060 nanti.
Perempuan memiliki peran yang cukup penting dalam membuat eco enzyme fuel cell sebagai alternatif pengganti bahan bakar fosil di masa yang akan datang. Dimulai dari kesadaran dan tindakan sederhana di lingkup yang kecil, yaitu rumah tangga dapat memberi dampak positif terhadap masa depan bumi ini. Jangan pernah memandang sebelah mata terhadap setiap tindakan kecil yang dilakukan oleh perempuan untuk mewujudkan transisi energi adil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H