Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati kedua di dunia setelah Brasil. Banyak sekali potensi yang bisa digali dari keragaman floranya di antaranya bambu.Â
Diperkirakan sekitar 159 spesies dari total 1.250 jenis bambu yang terdapat di dunia ada di Indonesia (alamendah.org). Bahkan Indonesia dikatakan tempat terbaik bagi tumbuhnya bambu. Sudah sewajarnya kita bisa mengoptimalkan potensi dan gencar melakukan penelitian agar diperoleh manfaat maksimal.
Laporan The International Bamboo and Rattan menyebutkan bambu dapat menyerap 100-400 ton karbon per hektare per tahun. Adapun tumbuhan lain antara 90-420 ton per hektare per tahun. Secara ekonomi, permintaan bambu sangat tinggi mencapai US$ 93 miliar atau Rp 1.312 triliun pada 2025. Sementara, saat ini pasar bambu masih dikuasai Tiongkok sebesar 60%.
Peneliti bambu Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Elizabeth A Widjaja mengungkapkan bambu bisa diolah menjadi alkohol maupun diesel. Untuk bisa menjadi biofuel, bambu dikoleksi terlebih dahulu untuk diambil selulosanya. Pada selulosa atau serat terdapat senyawa aktif yang melalui proses kimia dan fisika bisa dijadikan sebagai bahan baku biofuel. Dari keseluruhan bambu terdapat 57 persen atau lebih dari setengahnya yang bisa diubah menjadi bahan bakar nabati.
Pembangkit Listrik Tenaga Bambu
Sumber energi listrik di Indonesia hingga tahun 2020 masih didominasi bahan bakar fosil mencapai 87,4% atau 55.216 MW. Sisanya merupakan pembangkit listrik berbahan bakar Energi Baru Terbarukan (EBT). Di antaranya berasal dari tenaga air 7.5%, panas bumi 3.9%, mini/microhydro 0.7%, bio/sampah 0.3%, angin/bayu 0.2%, dan surya 0.1%. Penggunaan EBT dapat berkontribusi untuk mewujudkan target Indonesia mengurangi emisi pemanasan iklim sebesar 29% dari tingkat bisnis pada tahun 2030.
Tahun 2017, Pemerintah Mentawai menggagas listrik energi (biomassa) bambu dengan harapan dapat menjadi daerah percontohan energi berbasis masyarakat pertama di dunia. Adapun tiga konsep dalam membangun Mentawai yakni melalui pendekatan ekologi, sosial kemasyarakatan, dan ekonomi. Dalam artian orang Mentawai harus makmur secara ekonomi, namun bukan berarti lingkungan dan sosialnya rusak.
Tahun 2018, tingkat elektrifikasi Mentawai paling rendah di Sumbar dengan angka 29,80%. Pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBM) bambu dibangun sejak pertengahan 2017. Adanya PLTBM telah mampu mengaliri listrik 1.244 keluarga di Desa Madobag, Desa Saliguma, dan Desa Matotonan.
Untuk memenuhi proyek biomassa dari bambu, setiap keluarga mendapat lahan satu sampai dua hektar untuk menanam bambu. Dua batang bambu setara dengan kebutuhan energi per keluarga selama satu bulan. Satu hektar lahan dapat menghasilkan bambu sekitar 10-20 ton atau 5.000-10.000 batang bambu per tahun. Nilai investasi pembangkit biomassa sebesar Rp100 juta per keluarga. Adanya proyek ini bisa menambah pendapatan keluarga sekitar Rp1-Rp2 juta per bulan.
Namun, PLTBM bambu ini tidak berjalan mulus. Berita terakhir yang saya baca, sudah mulai redup. Tanpa kerjasama dengan PLN dan subsidi dari pemerintah, harga listrik per kwh menjadi mahal. Belum lagi, harga jual bambu yang dinilai terlalu murah. Sehingga masyarakat tak tertarik menanamnya.
Jika melirik biomassa bambu sebagai pembangkit listrik, saya sendiri merasa cukup potensial. Ketika pergi ke daerah-daerah, saya masih cukup sering melihat kebun berisikan rumpun-rumpun bambu. Namun, tentu saja tidak semua daerah akan dapat menggunakan energi ini karena harus disesuaikan potensi dan kemampuan daerah.