Dua salam telah diucapkannya imam. Pertanda dua rakaat Salat Idul Fitri berakhir. Saat mengucapkan salam pertama bukan ibuku yang kulihat tapi induk semang. Saat ke kiri aku menoleh, aku bahkan tak mengenal siapa dia.
Di bawah langit biru biasa aku bersimpuh merayakan salat kemenangan. Beralas rumput basah embun pagi biasa aku bersujud di tanggal 1 Syawal.
Bukan langit biru yang kulihat tapi atap putih berhiaskan chandelier. Bukan rumput basah yang menjadi alas tapi keramik putih bersih. Saat pulang pun pakaianku aman dari tumo katok. Kalau dibahasa-indonesiakan kutu celana. Biji tanaman yang bisa menempel di celana. Sekedar dicuci tak akan hilang tapi harus dicabuti satu-satu.
Mataku berkaca-kaca tak ada Ibu. Biasa aku menjabat tangannya selepas salat. Aku meraih tangan ibu kos dengan mata sembab yang sekuat tenaga aku bendung agar tidak jebol. Aku tetap bersyukur, setidaknya aku bersama ibu kost, aku tidak sendiri merayakan kemenangan.
Idul Fitri tahun 2012 itu sangat berkesan buat aku. Itu pertama kalinya, aku menyambut Ramadhan dan Lebaran jauh di keluarga. Tahun sebelumnya walau aku melewatkan Ramadhan dirantau tapi aku masih bisa mudik.
Yang paling membuatku kerap terisak adalah ketika mengingat saat berbeda pulau saja aku bisa pulang, kenapa saat satu pulau aku malah ga bisa pulang. Tahun sebelumnya aku melalui bulan suci di Tanah Borneo dan tahun 2012 di Kota yang dibangun Jan Pieterzon Coen.
Aku masih harus piket Lebaran. Aku merayakan Hari Raya di Kebun Binatang Ragunan. Merasa sepi di antara keramaian. Melewatkan waktu dari satu kandang ke kandang yang lain. Ngapain? Kepo aja.
Aku melihat bangau-bangau menyambut pengunjung dengan kepakan sayap putihnya. Aku mengunjungi pusat primata Schmutzer. Dari berjumpa kera ekor panjang yang kerap kutemui di hutan-hutan wisata di Indonesia hingga pertama kalinya melihat simpanse dan gorila dari sky walk. Aku bukan pecinta binatang. Tapi, hari itu aku merasa lebih dekat dengan mereka. Seolah mereka dikirim untuk menghiburku.Â
Apalagi usai Salat Idul Fitri, ibu kost datang ke kamarku. Membawa semangkok opor ayam dan ketupat Lebaran. Ini pertama kalinya, Lebaran tanpa masakan ibu. Namun, aku bersyukur karena meski sendiri aku tak benar-benar sendiri.
Saat seperti itu, aku selalu ingat kata-kata temanku SMA yang lebih dahulu merantau ke Batam. Ia bilang kurang lebih saat jauh, kita baru bisa merasakan dan menghargai makna keluarga. Dia yang aku kenal sebelumnya tak dekat dengan keluarganya.
Senada dengannya, aku yang baru "ke luar rumah" selepas kuliah, dulunya sangat ingin pergi. Rasanya, seperti burung dalam sangkar. Dari TK nol kecil hingga kuliah, aku belum pernah merasakan kost. Saat menuntut ilmu di kampus pun, aku ulang alik 21 km sekali jalan. Saat jauh dari rumah aku baru merasakan arti keluarga terutama ibu. Kangen. Tempat teraman dan ternyaman yang selalu menyambut saat kita pulang.