Usianya 21 tahun. Wajahnya teduh. Bermata tajam dan bening. Ia akan memulai tugasnya sebagai volunteer paramedis di Palestinian Medical Relief Society. Walau desing peluru seolah tiada berhenti di perbatasan Gaza Selatan, ia tak goyah. Ia ingin membuktikan kepada dunia, bahwa seorang perempuan tanpa senjata bisa melakukan sesuatu untuk negerinya.
"Kami memiliki satu tujuan untuk menyelamatkan nyawa dan mengevakuasi orang. Dan mengirim pesan ke dunia, tanpa senjata kita bisa melakukan apa saja"" ujarnya meyakinkan sang ayah sebelum berangkat sembari mengikat tali sepatunya yang berwarna putih.
Berbalut kerudung hitam dan mengenakan masker, putrinya terlihat cantik sekali. Ia tersenyum membenarkan pilihan putri sulungnya. Keberaniannya untuk menolong dan mengevakuasi orang yang melakukan perlawanan dengan Israel, pasukan yang juga telah ikut meluluhkan toko onderdilnya tahun 2014 lewat serangan udara.
Sang istri tersenyum di sebelahnya. Keduanya melepas Razan dalam misi kemanusiaan penuh kebanggaan.
"Aku bangga padamu, Putriku."
**
Pagi ini, hari ke enam belas Ramadhan 1439 Hijriyah.
Bau dan asap ban terbakar mewarnai hari. Batu-batu melayang dilemparkan sebisa mungkin oleh warga Palestina yang terlibat. Ribuan demonstran tersebut belum menyerah melakukan aksinya. Mereka membuat kerusuhan di sepanjang pagar keamanan. Protes Great Return March yang telah dimulai bulan Maret lalu. Menyerukan hak Palestina untuk kembali ke rumah darimana mereka diusir sejak tahun 1948.
Seorang lelaki tua dipukuli kepalanya. Beberapa demonstran cedera akibat tembakan gas air mata.
"Razan, bahaya ke sana," cegah lelaki yang terpaut umur beberapa tahun diatasnya.
Razan menggeleng. Nuraninya berontak.