Sudah menjadi kebiasaan di rumah kalau ibu tidak pernah membiarkan toples makanan kosong. Seringnya didominasi kerupuk bulat warna putih yang mendunia, rambak (kerupuk kulit), atau karak (terbuat dari bahan nasi sisa yang sayang dibuang lalu di gendar, dijemur, dan digoreng).
Bagiku cemilan dalam toples transparan tersebut merupakan makanan orang tua alias sebenarnya ibu menyediakan untuk bapak yang doyan ngemil. Makanya sebelum bapak berkomentar, ibu tak pernah membiarkan toples ukuran satu liter lebih tersebut menganggur.
Hari itu agak berbeda. Isi toples tersebut berupa keripik singkong. Singkong atau ketela yang dipotong bulat-bulat tipis lalu digoreng. Rasanya gurih. Entah ibu dapat darimana. Tidak mungkin kalau membuat sendiri seperti karak.
Aku meliriknya sekilas. Aku merasa begitu capek. Entah karena berjalan kaki dari pemberhentian bus sampai ke rumah atau pelajaran di sekolah yang begitu menguras energi. Usai melepas sepatu dan bersih-bersih diri, aku mendekati toples itu. Keripik singkong itu seolah-olah melambai-lambai.
Akhirnya, aku sang anak yang anti toples mendekati dan memulai memutar tutupnya. Satu keripik, dua keripik, rasanya enak sekali dan bikin nagih. Aku pun memboyong toples ke depan televisi. Terus menyantapnya tanpa henti sembari menonton... Tiba-tiba, ibu masuk dengan ekspresi kagetnya. Aku dibuat seperti tikus kedapatan mencuri keju. Aku memakan cemilan bapak dengan rakusnya, mungkin itu maksud raut muka ibu. Aku menafsirkan lainnya, mungkin ibu membatin, aku anak yang hampir ga pernah menyentuh kerupuk di dalam toples kecuali disuruh mengambilkan isinya mendadak seperti kerasukan jin dalam toples.
"Rin..."
"Iya..."
"Kamu gak puasa?"
"Astaghfirullah... aku lupa, Ibu!"
Ibu mungkin sangsi kalau aku benar-benar lupa. Sebab, lebih dari tiga perempat bagian toples itu telah berpindah ke perutku. Waduh bagaimana ini sudah hampir jam tiga sore sayang kalau batal.
"Kalau memang lupa tidak batal puasanya! Tapi jangan makan lagi apalagi minum!"