Aku masih bisa mengingat hari-hariku yang berjalan dengan normal. Jauh sebelum hari ini datang. Aku berangkat ke sekolah, mengendarai motor pemberian ibuku, tidur di kelas selagi Bu Terra menjelaskan perbedaan ikatan ionik dan kovalen, mengantri makan siang di kantin, rapat sepulang sekolah dan selalu pulang larut malam.
Aku membayangkan, bagaimana kalau hari-hari yang normal itu tidak akan kutemui lagi? Bagaimana kalau aku tidak bisa bertanggung jawab atas beban yang kupikul sekarang? Bagaimana kalau aku mati dan tidak bisa melindungi orang-orang yang kucintai?
Akankah semuanya menghilang begitu saja?
Sampai disinikah akhir hayatku?
*********************
“Nadi...,”
“Em...?”
“Nadira....”
“.....”
“Nadira!”
“Hah?!”
Aku melonjak kaget dari kursiku. Kedua mataku mengedar kesekeliling –seakan waspada dengan apa yang ada disekitarku, dadaku naik turun dengan iringan nafas yang memburu, leher dan dahiku dipenuhi keringat dingin. Isma yang membangunkanku hanya terdiam dengan ekspresi khawatir. Aku tahu ia sedang menungguku tenang terlebih dahulu, baru melontarkan pertanyaan.
“Mau minum?” tawarnya dengan nada pelan.
Aku menggeleng. Aku tidak terlalu suka makan dan minum saat sedang didalam kendaraan yang melaju. Aku mudah merasa mual –tetapi belum pernah membuatku sampai muntah.
Aku perhatikan semua anak masih terlelap di tempat duduknya masing-masing. Bahkan terdengar suara dengkuran dari barisan bangku belakang –di tempat anak-anak cowok.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Berulang kali sampai aku merasa tenang.
“Apa mimpimu sangat buruk? Aku lihat kau tidak tenang sejak tidur tadi, wajahmu seperti ketakutan dan panik, dan beberapa kali kau mengigau, aku kira kau sakit, makanya aku bangunkan,” Isma menjelaskan panjang lebar.
Aku mengangguk, “Sangat buruk, terima kasih sudah membangunkanku, Isma.”
“Iya, sama-sama.”
Aku tahu masih ada semburat khawatir dari wajahnya. Walau lampu didalam bis dimatikan, tapi cahaya dari lampu-lampu dijalanan sedikit memberi penerangan.
“Aku tidak apa-apa,” ucapku lagi, “kembalilah tidur.”
“Kamu yakin?”
“Ya,” Aku berusaha menjawab dengan nada seyakin mungkin. Lalu tanpa menunggu balasan selanjutnya dari Isma, aku langsung membalikkan badan ke arah jendela, menarik korden dan menutupi wajahku dengannya. Isma pun tidak menjawab lagi. Aku tahu ia sudah kembali ke posisi tidurnya.
Sebagai salah satu anak di kelas yang jarang berbincang denganku, Isma sangat ramah dan perhatian. Setidaknya –aku tidak menyesal duduk dengannya selama perjalanan seminggu ini.
Peraturan nomor satu ketika ingin mendapatkan pengalaman yang menyenangkan saat study tour : carilah teman sebangku yang menyenangkan. Sekali kau terjebak dengan orang yang salah, suasana study tour-mu bisa rusak.
Aku tahu itu tidak ada hubungannya dengan mimpi burukku, tapi kali ini Isma sudah menyelamatkan separuh malamku. Sekarang aku bisa menggunakan beberapa jam terakhir –sebelum sampai di tempat pemberhentian, untuk beristirahat. Percayalah, duduk lebih dari sepuluh jam bisa lebih melelahkan daripada berjalan kaki.
Tentang mimpi burukku, aku tidak terlalu ingin mengingatnya. Tetapi aku tidak bisa dibuat penasaran, jadi selama separuh malam aku malah memikirkan tentang mimpi itu lagi. Aku tidak tahu kenapa akhir-akhir ini selalu memimpikan hal yang sama. Bahkan mimpi itu seperti berjalan dikepalaku. Seperti nyata, benar-benar seakan akulah yang berada disana. Panas api disekeliling, suara tawa yang membahana, perasaan takut dan cemas. Aku tahu ini bukan mimpi biasa atau hanya diriku sendiri yang terlalu berimajinasi? Sepertinya aku harus mengurangi porsi membaca komik. Dua dus berisi buku-buku pelajaran dari kelas sepuluh sampai yang terbaru –kelas dua belas, belum kusentuh sama sekali. Padahal itu seharusnya kubaca untuk persiapanku menjelang ujian nasional.
Kebiasaan burukku : sulit fokus. Aku sedang memikirkan mimpi burukku, kenapa sekarang malah beralih ke ujian nasional? Kembali ke soal mimpi tadi. Seminggu sebelum berangkat study tour, aku mulai mendapatkan mimpi buruk itu.
Didalam mimpi, aku seakan berperan sebagai tokoh utamanya. Aku terbaring di tanah yang terasa panas, sekelilingku dipenuhi bangunan-bangunan yang hancur dan rusak, jauh didepanku berdiri sesosok mahluk dengan ekor runcing dan berkulit merah. Ia bersayap, bertanduk dan memiliki wajah berbentuk segitiga, kedua pipinya runcing dan rambutnya hitam panjang sampai punggung.
Aku merasa sangat tertekan saat melihatnya. Cemas, takut, dan depresi. Seakan mentalku dikuasai olehnya dan aku tidak bisa berbuat apa pun. Kedua lututku lemas, bangkit pun sulit. Samar-samar, dibalik kobaran api yang mengelilingku, aku melihat beberapa teman yang kukenal terbaring –tubuh mereka penuh luka. Aku tidak tahu mereka masih hidup atau sudah mati.
Sedetik kemudian, mahluk itumengangkat kedua tangannya ke udara, menciptakan sebuah bola besar yang berpijar. Bola itu seperti matahari kecil, panasnya menyengat sampai terasa kedalam tulang-tulangku.
Aku berusaha mengeluarkan suara, meminta mahluk itu untuk tidak berbuat hal-hal yang tidak kuinginkan. Seperti, melemparkan bola matahari kecil itu ke arahku. Seharusnya aku tahu, firasat burukku jauh lebih akurat daripada harapan baikku. Mahluk itu benar-benar melemparkan bola matahari kecilnya ke arahku.
Aku menutup kedua mataku, menjerit kencang, cahaya dari bola matahari kecil itu menyilaukan semua pandanganku. Panas seakan benar-benar membakar kulitku, mengelupas dan mengeringkan setiap bagiannya.
Tepat sebelum penderitaan itu semakin menyiksaku, Isma membangunkanku –untuk yang kedua kalinya.
Ternyata sisa separuh malamku tetap diisi oleh mimpi buruk yang sama.
*******************************
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI