Mohon tunggu...
Nindya Maharani
Nindya Maharani Mohon Tunggu... -

Writer | Blogger | Mangaka | Photographer - Bogor Agricultural University | Conversation of Forest and Ecotourism 50'

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Absen Nomor 13

14 September 2013   09:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:55 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1379125523432196207

ABSEN NOMOR 13 Nindya Maharani

Aku melangkah lagi di tempat ini. Seperti hari-hari kemarin. Masih tetap disertai tatapan takut dari semua anak yang melewatiku di koridor sekolah. Aku menundukkan kepala, tidak berani membalas hujaman dari tatapan mereka. Seakan aku adalah narapidana yang baru keluar dari penjara. Tidak ada satu pun yang berani mengajakku bicara. Bahkan, menyapaku pun tidak.

Aku membuka lokerku, dan menatap wajahku di cermin. Kuraba bekas luka di wajahku yang sudah mengering. Bekasnya begitu mengerikan. Kalau orang yang tidak mengenalku, pasti mengira ini adalah cacat dari lahir. Luka ini membuat mereka takut padaku. Luka inilah yang membawaku menjadi sosok menakutkan di sekolah. Dan luka ini menjadi bukti dari akhir sebuah kutukan yang sudah lama meneror para siswa di sekolahku.

******

Semua berawal dari kepindahanku ke SMA ini sebulan yang lalu. Saat itu, aku yang baru memasuki kelas XI IPA 1, disambut hangat oleh teman-teman baruku. Perkenalan pun berjalan dengan lancar dan aku segera diizinkan duduk mengisi bangku yang masih kosong.

Sebelum pelajaran dimulai, Bu Asmi –wali kelasku yang merangkap guru Fisika, mengabsen kami satu per satu.

“Fardi Rahman!”

“Hadir!”

“Fetricia Aurella!”

“Ada!”

Tiba-tiba Bu Asmi berhenti mengabsen di urutan ketiga belas. Matanya melotot menatap buku absen yang sedang dipegangnya. Seperti ketakutan, ia melirik ke arah murid-muridnya, lalu beralih kembali ke buku absen.

Dengan suara yang sangat pelan dan agak tercekat, ia menyebut namaku.

“Guntur Harianto.”

“Ha.. hadir..,” Aku menjawab, ragu. Tiba-tiba atmosfer disekelilingku berubah. Tatapan-tatapan hangat yang tadi menyambutku kini berubah menjadi tatapan takut. Mereka melirikku, saling berbisik, dan setelah itu.. tidak ada satu pun yang berani berbicara denganku. Aku masih tidak mengerti saat itu. Kenapa mereka menjauhiku, tidak menegurku,bahkan ketika kudekati, mereka langsung pergi menjauh dan menganggapku tidak ada. Aku jadi merasa tidak enak. Apa aku berkata sesuatu yang membuat mereka marah saat perkenalan tadi? Tetapi kenapa semua orang disekolah ini memperlakukanku dengan sama?

Saat jam olahraga pun begitu. Tidak ada yang mau sekelompok denganku, akhirnya aku berlatih voli sendirian. Aku melakukan passing atas di ujung lapangan, karena ketika aku berada di tengah lapangan, teman-temanku langsung bergerak ke pinggir lapangan –dan Pak Tejo guru olahraga kami langsung menegur karena mereka keluar dari area lapangan. Akhirnya aku yang mengalah bermain di ujung sendirian.

DUK! “Aduh..!” Bola voli itu terpental ke wajahku dan terjatuh ke arah semak-semak. Aku pun langsung mengejar bola voli itu. Aku merunduk ke dalam semak-semak, menyibak helai-helainya yang kasar hingga timbul suara gemerisik.

Ketika kusibak semak yang berada disebelahku, sebuah wajah yang rusak dan bersimbah darah muncul di hadapanku. Bola mata kirinya bergantung di depan pipinya yang bolong, sedangkan mata kanannya kosong seperti tidak memiliki bola mata. Aku tercekat dan tidak sanggup mengeluarkan kata-kata. Bulu kudukku berdiri, nafasku seperti terhenti dan kedua kakiku seperti tidak bisa digerakkan.

Ketika mahluk itu memajukkan wajahnya yang hancur, akhirnya aku tersadar dan berteriak sekencang mungkin. Aku bangkit berdiri dan berlari menjauh dari semak-semak itu. Dadaku masih berdebar kencang karena melihat wujud mengerikan barusan.

“Hei! Ada mahluk aneh!” Aku berteriak ke arah teman-temanku. Tetapi seakan tidak perduli, mereka meneruskan latihan voli mereka. aku memanggil sekali lagi, tapi tetap di acuhkan. Akhirnya aku menyerah.

Hari kedua di sekolah baruku. Masih seperti kemarin, teman-temanku memperlakukanku seakan aku tidak pernah ada di antara mereka. walau terkadang aku menangkap mereka tengah berbisik tentangku. Samar-samar aku mendengar mereka menyebut, “nomor 13...”. Aku tidak tahu maksudnya apa, mungkinkah sekolah ini mempunyai suatu kepercayaan tentang angka 13 sehingga takut dengan keberadaanku. Tetapi kalau angka 13, kenapa cuma aku? Bukankah masih ada banyak anak yang menyandang angka 13 selain diriku?

Karena terlalu banyak memikirkan hal tersebut, aku sampai tidak mendengar suara bel masuk sudah berbunyi daritadi. Segera kubereskan buku-buku yang berserakan di atas meja perpustakaan, lalu ku kembalikan ke raknya. Rak buku-buku yang kupinjam terletak paling ujung, sudut perpustakaan. Bagian disini sangat sepi dan agak gelap.

Aku susun buku-buku itu kembali ketempatnya. Tiba-tiba, lampu redup yang ada di atas kepalaku mati hidup. Suara berisik dan celoteh di perpustakaan menjadi hilang. Aku merasakan dingin menjalar di sekujur kulit, firasatku menjadi tidak enak. Samar-samar aku mendengar langkah kaki. Dan rasa yang dingin dan mencekam makin menyergapku.

Dari celah-celah buku aku bisa melihat sosok yang berjalan mendekat. Baju putih, dipenuhi noda darah, kedua tangannya pucat bersimbah darah, kuku-kukunya hitam panjang, dan ketika aku melihat wajahnya. Sama seperti yang kutemui kemarin. Wajahnya rusak, rambutnya pitak sebelah, itu karena tempurung kepala bagian kanannya pecah. Sehingga aku dapat melihat otaknya menyembul keluar.

Aku beringsut mundur, dan punggungku menabrak sudut ruangan. Aku baru teringat kalau bagian rak ini berada di sudut perpustakaan. Aku terjebak. Sosok itu kini berdiri berhadapan denganku. Aku dapat mendengar deru nafasku yang memburu, rasanya aku seperti dihimpit oleh energi gelap yang mengerikan. Belum ditambah sosok mengerikan mahluk itu.

Ia melangkah mendekat. Rasanya aku ingin berteriak “jangan”, tetapi lidahku seperti mati rasa. Semakin dekat, wajahnya semakin terlihat jelas. Goresan yang panjang dan dalam merobek daging wajahnya yang sebelah kanan. Sebuah goresan panjang lainnya yang seperti membentuk angka tiga, membolongi mata dan pipinya, bahkan sampai merobek mulut bagian sebelah kiri wajahnya.

Mahluk itu sampai tepat di depanku. Ia merangkak dan kedua tangannya yang pucat mencengkram kedua pahaku. Aku dapat mencium bau amis dari darahnya, jemarinya yang pucat dan berkuku tajam merayap perlahan di atas tubuhku, lalu menjalar sampai wajah. Ujung kukunya yang hitam dan tajam menempel di keningku. Aku merasakan sakit dan terasa seperti ada yang mengalir dari keningku. Rasa sakit itu semakin menusuk, membuatku tersiksa batin dan fisik.

Gelap.. semua menjadi gelap. Aku tidak melihat apa pun setelah itu. Bahkan aku tidak merasakan diriku sendiri. Pikiranku melayang, dan ragaku terjatuh tanpa ada jiwa yang mengisinya. Aku tak sadarkan diri dan pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

******

“Guntur... Guntur...!”

Suara bu Asmi samar-samar terdengar. Aku membuka kedua mataku perlahan, sinar yang menyilaukan dari jendela di depanku membuat susah membuka kedua mata seutuhnya. Bu Asmi tersenyum lega melihatku siuman.

“Ibu, ini dimana?” tanyaku, bingung.

“Ini di UKS. Tadi penjaga perpustakaan menemukanmu pingsan! Ibu sampai khawatir. Ibu takut kau mengalami kejadian seperti yang di alami oleh anak-anak lain!”

“Anak-anak lain?” Aku mengerutkan alis, tidak mengerti.

“Iya!” Bu Asmi mengangguk.

“Tunggu, ibu tahu semua hal yang berkaitan denganku?”

Bu Asmi menghela nafas, dan mengangguk lagi. Ia terdiam beberapa saat. Kami berdua sama-sama tidak mengeluarkan sepatah kata pun, sampai Bu Asmi kembali membuka mulut.

“13 Tahun yang lalu, saat Ibu baru mengajar disini. Ada seorang siswi baru. Dia adalah anak seorang paranormal terkenal. Ia memiliki kepercayaan kuat terhadap mitos. Salah satunya, mitos mengenai angka kesialan. Yaitu angka 13. Kebetulan saat itu, disekolah ini sedang ada pembangunan gedung baru. Karena kelalaian beberapa tukang, pondasi gedung roboh dan menewaskan beberapa anak yang kebetulan berada di dekat sana. Jumlah anak yang meninggal adalah 13 siswa. Beberapa bulan kemudian, terjadi kebakaran di lab kimia. Dan tragedi itu terjadi pada tanggal 13. Karena semua kebetulan itu merujuk pada angka 13, siswi yang mempercayai mitos angka sial itu membuat sebuah teori. Dia bercerita ke teman-temannya, semua kesialan itu akan hilang, kalau mereka mengorbankan darah dari seorang siswa yang lahir pada tanggal 13. Didapatlah seorang siswi dari kelas yang kamu tempati sekarang. Kebetulan, siswi itu juga bernomor absen 13.”

“Apa yang mereka lakukan pada anak itu?”

“Mereka menyayat wajah siswi itu membentuk angka 13. Dan tidak lama setelah itu, siswi tersebut bunuh diri karena cacat permanen di wajahnya. Kemudian siswi itu menjadi arwah penasaran. Menurut paranormal yang pernah kami datangkan ke sekolah ini, ia tidak akan tenang sampai mendapatkan darah anak ketiga belas yang memiliki absen nomor tiga belas dari kelasnya. Yaitu kelas XI IPA 1. Kelasmu, Guntur. Dan kau adalah korban terakhirnya.”

“A, apa yang terjadi pada korban lainnya?”

“Siswi itu melubangi wajah mereka seperti apa yang dulu ia terima, dan setiap korbannya selalu tewas kehabisan darah.”

“Apa ibu tidak bisa melakukan sesuatu untuk menenangkannya selain itu?”

Bu Asmi menggeleng. “Ibu tidak bisa melakukan apa pun. Selama tiga belas tahun menjadi wali kelas yang menanggung tumbal dari arwah penasaran, ibu sendiri ingin berhenti mengajar! Ibu tidak sanggup kalau harus melihat kalian mati satu per satu setiap tahunnya!” Wajah Bu Asmi memerah, air matanya menetes dan ia terisak karena membayangkan semua murid didikannya yang tewas mengenaskan.

Aku tengah terdiam memikirkan suatu cara, tiba-tiba saja pintu ruang UKS tertutup rapat. Lemari obat yang berada di seberang bangsalku bergetar. Bu Asmi menjerit ketakutan, ia mundur sampai punggungnya menabrak dinding. Pintu sebelah lemari itu terbuka, dan keluarlah tangan pucat bersimbah darah yang kukenal.

Arwah siswi yang terbunuh tiga belas tahun lalu keluar dari lemari itu. Mata kanannya yang kosong menatapku tajam. Ia merangkak ke arahku, jemari-jemarinya mencapai ujung bangsal. Aku tercekat melihat pemandangan itu. Wajahnya menyembul dari bawah. Darahnya menetes di atas selimutku.

Aku rasa tidak ada pilihan lain. Ia hanya menginginkan darahku, dan setelah itu ia akan tenang. Ini satu-satunya cara yang tersisa. Aku lihat disebelahku ada keranjang buah-buahan dari Bu Asmi, di dalamnya ada sebuah pisau kecil. Tanpa pikir panjang kuraih keranjang itu dan ku ambil pisaunya.

Sosok itu sudah merangkul kedua kakiku, dan jemarinya mulai merayap ke atas tubuhku. Aku memejamkan mata, menarik nafas, tidak kuhiraukan lagi jeritan dari bu Asmi yang ketakutan. Kugores wajahku dengan pisau itu, membentuk angka tiga belas. Aku berteriak kesakitan, sempat hatiku meronta untuk menghentikan tindakan tersebut, Namun melihat wajah arwah siswi itu, aku menjadi iba. Aku tidak mungkin membiarkannya terus bergentayangan. Kuteruskan menoreh luka di wajah, sampai darah merah kental itu menetes dan mengenai wajah mahluk itu.

Aku dapat merasakan gerakannya melambat. Mahluk itu beringsut mundur,perlahan tubuhnya masuk kembali ke dalam lemari. Pintu lemari tertutup dan semua kembali menjadi tenang. Bu Asmi menjerit histeris melihat wajahku yang bersimbah darah. Tetapi aku berusaha menenangkannya, aku bilang, ia tidak akan datang dan menagih murid di kelasnya yang berabsen nomor tiga belas lagi. Ia sudah mendapatkan darahku, dan wajahku juga sudah sama sepertinya. Kutukan itu sudah berakhir.

Setelah itu, Bu Asmi memanggil petugas UKS. Mereka menelpon ambulans dan aku langsung di antar menuju rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang lebih layak. Aku izin sebulan penuh untuk mengeringkan lukaku.

-------------------------------------

Sekarang, aku sudah kembali ke sekolah. Mereka masih memandangku dengan tatapan takut. Tetapi setidaknya, mereka takut bukan karena kutukan itu, melainkan karena wajahku. Aku yakin, lambat laun mereka akan terbiasa dan mau menerimaku kembali.

SELESAI

------------------------------------------------------------------------------------------------

Cerpen ini adalah salah satu karya dari dari Antologi "Before Death".

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun