Aku melihatnya melangkah menjauh, membelakangi keberadaanku yang terhalangi oleh dinding. Wajahnya menyiratkan kebahagiaan, lengannya mengapit seorang gadis. Gadis yang jauh lebih muda dariku. Rambut panjangnya terurai sepunggung, kuliatnya putih bersih, wajahnya memancarkan kesejukan dan keindahan.
Aku tidak heran kalau ia berpaling kepadanya. Laki-laki mana yang tidak tersihir oleh pesona gadis itu. Termasuk laki-laki yang telah bertunangan denganku. Awalnya aku tidak percaya mendengar kabar kalau ia berselingkuh. Aku tahu dia laki-laki yang baik. Tapi ternyata, dia bermain di belakangku.
Apakah ia tidak mendengar hatiku menjerit pilu? Perempuan mana yang tidak merasa sakit takkala melihat orang yang telah menjadi tunangannya, justru bermain dengan perempuan lain dibelakang.
Aku masih berharap kalau itu bukan dia. Aku masih mengingkari kalau itu bukan tunanganku. Aku masih tidak mau menerima kenyataan, bahwa laki-laki yang kulihat itu adalah Randi.
Bukan... bukan dia! Aku menggeleng kuat. Kelopak mataku mulai terasa berat, sedikit lagi air mataku akan tumpah. Aku akan memastikannya sekali lagi. Kuraih handphone di saku bajuku, kutekan nomor panggilnya. Hatiku berdebar cemas, kalau laki-laki itu mengangkat telponnya, maka sudah jelas...
“Halo, Vika? Ada apa?”
Kedua mataku membelalak kaget. Tidak percaya dengan bukti yang kudapat sendiri. Laki-laki itu juga mengangkat telponnya, dan ketika mulutnya bergerak, aku mendengar suara dari speaker handphone ku. Ini bukan kebetulan.
“Ti, tidak apa-apa.. Randi..,” suaraku bergetar menahan emosi. “Kau.. sedang apa?”
“Maaf ya, aku lagi sibuk. Pekerjaan di kantor sangat banyak. Kalau mau cerita, besok saja, ya.”
Pekerjaan? Maksudmu berkencan dengan gadis SMA?
Aku berusaha menahan agar emosiku tidak meledak. Jadi aku cuman membalas alasan palsunya itu dengan ucapan, “ya”, lalu mengakhiri perbincangan. Begitu aku tersadar, air mataku sudah membasahi pipi.
Aku tidak tahan lagi. Melihatnya bermesraan dengan seorang gadis SMA, dan membohongi tunangannya tanpa rasa bersalah. Aku pun memutuskan untuk pulang. Aku ingin menenangkan diriku.
******
Suara jangkrik menemaniku setiap malam. Menantinya pulang sehabis bekerja seharian penuh. Awalnya aku berpikir seperti itu. Tapi setelah melihat pekerjaan sebenarnya tadi siang, harapanku menantinya berubah menjadi rasa muak dan benci. Jemariku menggenggam erat cangkir berisi teh hangat yang sejak tadi belum kusesap.
Mataku menerawang memandang larutan merah di cangkir itu. Warna teh rosela yang bunganya kupetik langsung dari taman rumahku. Aku memang menyukai bunga. Dan Randi mendalami ilmu botani di universitasnya dulu, sehingga ia sering membantu merawat bunga-bunga di kebun.
Berbagai macam bunga kutanam di sekitar perkarang rumah. Seperti bunga sepatu chamomile, chrysantemum, mawar, dan rosela yang bisa kugunakan untuk menyeduh teh herbal berkhasiat. Tidak lupa, aku juga menanam beberapa tanaman hias yang indah, seperti daffodil yang bunganya berwarna kuning cerah, azalea berbunga merah muda, anyelir, aster, anggrek ungu dan putih, dan disekelilingnya aku pagari dengan tanaman rosary pea dan pohon oleander yang tengah berbunga. Sangat cantik
Aku tersenyum memandang hasil kerja kerasku selama bertahun-tahun. Menyelesaikan pendidikan di jurusan Biologi untuk memperdalam ilmu botaniku. Dan sekarang aku dapat menikmati aneka bunga yang bisa menghibur hatiku.
Namun, kebahagiaan itu hanya terasa sementara. Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu gerbang dibuka. Sayup-sayup aku mendengar suara deru mesin mobil. Itu Randi. Pergi kemana saja ia, sampai malam hari baru pulang?
Suara langkah sepatu kian terdengar jelas, aku memalingkan wajah ke arah taman, dan sesuai dugaanku, Randi datang dan memelukku dari belakang.
“Kenapa belum tidur?” tanyanya sambil mengusap kepala. Ia menarik kursi rotan putih di sebelahku dan ikut duduk.
“Kau darimana?” aku bertanya tanpa menghiraukan perkataannya barusan.
“Dari kantorlah, sayang,” jawab Randi sambil tersenyum manis.
Dari kantor atau baru kencan? Dasar pembual!
Tapi aku hanya tersenyum mendengar jawaban darinya. Aku memang marah karena sudah ia tipu, tetapi aku tidak bisa memungkiri, hati nuraniku masih berharap kalau yang kulihat tadi ternyata tidak benar.
“Ya sudah, aku kedalam dulu ya,” Randi bangkit dan masuk ke dalam rumah. Ia meninggalkan tas kerjanya. Aku jadi penasaran. Biasanya, di tayangan televisi, bukti selingkuh laki-laki selalu ditemukan dari benda yang ia bawa sehari-hari. Yang didalam kasusku berarti tas kerja Randi.
Aku menoleh ke sekeliling, memastikan bahwa tak ada yang melihat. Kubuka tasnya, dan aku menemukan beberapa map berwarna. Di bagian bawah tas, aku berhasil menemukan handphonenya. Aku periksa isi pesannya.
Hari ini mau menemaniku ke Botani Square? Ada baju yang mau kubeli..
Linda
Iya, nanti aku temani kok..
Randi
Ternyata benar. Semua isi pesannya berasal dari gadis bernama “Linda”. Pesan dariku hampir tidak ada. Mungkin karena sudah dihapus olehnya.
Genggaman tanganku di ujung meja semakin kuat. Rasa sakit kembali menyebar di tubuhku. Apakah tidak cukup satu bukti untuk meyakinkanku? Kini sudah ditambah oleh bukti kedua, masihkah aku mempertahankan keinginan semuku? Apakah aku masih bisa bertahan dari rasa sakit ini?
Dia membohongiku, bermain di belakangku, dan dia berakting seakan tidak ada yang terjadi di antara kami. Aku tidak mau bermain di atas panggung ini lagi. Aku akan keluar dan akan kuhancurkan panggung ini. Jika dia bisa menghancurkan kepercayaanku, maka aku bisa menghancurkan hidupnya juga.
Kemudian aku cek lagi beberapa pesan mereka. Dari sana aku tahu, ternyata Linda berniat berkunjung besok, tepat di saat aku akan pergi menghadiri pesta temanku. Ini bukan kebetulan, Randi pasti sudah merencanakannya. Aku tidak akan tinggal diam. Akan kubuat kau menyesal, Randi
******
Tengah malam, ketika Randi sudah tertidur, aku diam-diam pergi ke pekarangan. Beruntung, aku memasangkan lampu di tengah pekarangan, sehingga aku tidak kesulitan dalam melihat.
Saatnya menjalankan rencana. Aku mengambil skop dan menggali tanah tempat bunga daffodil tumbuh. Aku ambil akar-akarnya yang berisi dan berbentuk seperti bawang. Dari penampilan, daffodil jelas merupakan tanaman hias yang memanjakan mata, tetapi sebenarnya akar-akar daffodil menyimpan racun yang bisa menyebabkan mati rasa pada sistem saraf tubuh dan kelumpuhan jantung, apabila dikonsumsi.
Kemudian, aku beralih pada bunga azalea. Bunga yang memiliki nama ilmiah Rhododendron simsii itu di seluruh bagian tubuhnya mengandung komponen andromedotoxins (grayanotoxins) yang tergolong beracun. Apabila dikonsumsi dapat menyebabkan beberapa rasa sakit, kelesuan, depresi, mual dan muntah, kelumpuhan progresif, koma, dan akhirnya kematian.
Setengah cawan petri berisi getah bunga azalea sudah cukup bagiku. Selanjutnya adalah tanaman rosary pea. Rosari Pea atau biji kacang polong rosari dengan nama ilmiah Abrus precatorius, biji-bijinya yang berwarna merah hitam mengandung lectin khusus yang disebut abrin. Abrin yang terkandung dalam biji kacang polong rosari jika masuk ke dalam tubuh menyebabkan ribosom tidak bekerja. Satu molekul abrin akan membunuh hingga 1.500 ribosom per detik. Abrin dapat membunuh dengan jumlah kurang dari 3 mikrogram. Dalam tubuh abrin dapat menyebabkan demam, mual, mengeluarkan busa, disfungsi gula darah dan juga kejang-kejang, lalu menyerang ginjal, kamdung kemih, pendarahan retina, dan luka dalam yang menyebar.
Selanjutnya, aku beralih pada pohon oleander. Oleander memiliki nama latin Nerium oleander. Satu daunnya dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa dan keracunan yang fatal bisa diakibatkan oleh kontak dengan rantingnya, bunga, dan buahnya. Tanaman ini mengandung sejumlah jenis racun meskipun telah dikeringkan, termasuk nerioside, rosagenin, oleandroside, saponins, dan cardiac glycosides. zat-zat tersebut merupakan zat yang dapat menyebabkan perlambatan denyut jantung dan gagal jantung. Racun-racun tersebut terdapat pada semua bagian tanaman, namun umumnya terkonsentrasi pada bagian getah yang tampilannya berwarna putih seperti susu.
Setelah mendapatkan semua bahan yang kubutuhkan, aku segera beranjak menuju garasi mobil. Garasi mobil yang terletak di pekarangan belakang rumah itu sudah tidak terpakai, karena Randi sudah membuat garasi mobil yang baru didepan rumah. Sehingga aku menggunakannya sebagai tempat untuk menyimpan bahan-bahan teh herbal.
Sesampai didalam garasi, aku langsung memulai proses pembuatan racun dari tanaman-tanaman tadi. Biji-biian dari rosary pea, getah pohon oleander dan bunga azalea cukup kusimpan di tempat yang aman. Sementara akar dari bunga daffodil kuambil sari-sarinya dengan cara direbus.
Setelah merebus akar daffodil, sari-sarinya kusimpan di tempat yang bersuhu tetap dan tertutup. Akhirnya pekerjaanku selesai. Sekarang aku bisa melanjutkan tidurku. Besok, akan kujalankan rencana kedua.
******
Sejak pagi, aku sudah menyiapkan ramuan teh herbal untuk Randi. Aku sengaja membuatkannya teh rosela agar bisa menyamarkan bau dari racun-racun yang sudah kutambahkan ke dalam gelas tehnya. Bahkan, rasa dari teh rosela yang khas juga bisa menutupi tambahan ‘bumbu’ dariku.
Begitu Randi duduk di meja makan, seperti biasa, aku menghidangkan teh rosela untuknya.
“Terima kasih, Vika, teh buatanmu selalu enak,” pujinya seraya melemparkan senyum padaku.
“Aku senang kau menyukai teh buatanku,” balasku, tenang.
Ia meniup beberapa kali tehnya, sebelum akhirnya ia sesap. Aku tersenyum penuh kemenangan saat melihat ia menikmati teh rosela itu.
“Tunggu sebentar ya, ku ambilkan makanan penutup untukmu,” kataku sambil beranjak ke garasi lagi. Kali ini aku membawakannya sepiring biji-bijian rosary pea. Aku tahu Randi tidak mengetahui apa pun mengenai racun di biji rosary pea. Jadi aku hidangkan biji-bijian itu tanpa merubahnya sama sekali.
“Apa ini? Aku belum pernah melihatnya?” Randi mengambil satu biji, dan memakannya tanpa merasa aneh sedikit pun.
Tetapi sejurus kemudian, raut wajahnya berubah, ia menatapku heran.
“Apa ini? Rasanya aneh!”
“Biji-bijian itu biasa di konsumsi keluargaku sejak dulu karena kandungan didalamnya yang bisa menyehatkan,” jawabku, berbohong. “Rasanya memang agak aneh.”
Randi mengangguk maklum, ia pun mencoba beberapa biji lagi.
Mataku melirik arloji, jam sudah menunjukka pukul delapan. Aku harus segera pergi ke pesta temanku.
“Randi, aku pergi dulu, ya,” kataku sambil mengambil kunci mobil. “Kau jadi cuti kan hari ini?”
“Tentu saja, aku ingin istirahat sekali-kali.”
Istirahat atau bermain perempuan? Mau menjelang kematian saja kau masih mempertahankan kebohonganmu itu!
Aku tersenyum sinis. Tidak kuhiraukan ekspresi curiga dari wajah Randi saat itu. Aku langsung berangkat dan meninggalkannya.
Kalau rencanaku berhasil, Linda akan datang siang nanti, dan menemukan Randi terkapar karena efek racun dari teh yang ia minum pagi ini. Orang-orang akan menyangka, Linda yang meracunnya. Atau paling tidak, mereka menyangka Randi keracunan karena makan di suatu tempat. Kalau pun rumahku digeledah oleh polisi, mereka tidak akan menemukan racun apa pun selain bunga-bunga di pekarangan rumahku.
Selamat tinggal Randi. Ucapkan perpisahan pada panggung sandirawamu.
******
Sore hari ketika aku baru pulang dari pesta, sesuai dugaanku, rumahku sesak dipenuhi warga setempat, polisi, dan beberapa tim medis. Ada ambulans yang terparkir di depan rumahku, di sebelahnya, berdiri seorang gadis. Gadis yang kukenal. Linda.
Ia menangis histeris, wajahnya memerah, dan ia tidak henti-hentinya meneriaki nama tunanganku. Rasa benci seketika memenuhi dadaku. Aku menatapnya sinis dari dalam mobil. Enggan bertemu dengannya. Tapi aku harus turun, aku juga harus bermain peran di sana.
Aku turun dari mobil, memasang wajah bingung dan menanyai beberapa petugas polisi yang ada disana.
“Ada apa ini? Apa yang terjadi?”
“Anda ibu Vika, tunangan Pak Randi?”
“Iya, benar,” wajahku nanar memandangi mereka, “Ada apa, Pak?”
“Tante Vika!”
Aku terkejut mendengar suara itu. Aku menoleh ke arah Linda, dan gadis itu tiba-tiba berlari ke arahku. Aku bisa merasakan pelukannya, air matanya yang merembes membasahi blusku.
“Tante Vika! Paman.. paman Randi...,” Linda sesugukan di pelukanku. Tiba-tiba aku merasakan firasat buruk. Aku menatapnya, cemas.
“Paman..?” Aku mengulangi ucapannya tadi.
“Iya, Tante... aku sedang berlibur di Bogor, dan Paman Randi mau memperkenalkan aku dengan tunangannya, ia tadinya berniat membuat surprise buat Tante, tapi ketika aku datang.. paman sudah....,” Linda menangis lagi.
Wajahku berubah menjadi pias. Berarti selama ini... aku telah salah. Aku telah membunuh orang tidak bersalah. Air mataku ikut menitik, semakin deras, dan kini diiringi teriakan histerisku.
Andai waktu dapat terulang, aku ingin memperingati diriku agar tidak termakan cemburu begitu saja. Andai aku mau membicarakannya dengan Randi, hal ini takkan terjadi.
Sekarang semua sudah terjadi. Terjadi sesuai rencana, tetapi berakhir tidak seperti yang kuharapkan.
SELESAI
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cerpen ini juga bisa dibaca di blog : eternitystories.blogspot.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI