Tidak enak juga rasanya berbicara tentang sedekah yang kita berikan. Karena idealnya sedekah diberikan diam-diam. Ketika tangan kanan memberi, tangan kiri jangan sampai tahu. Hal ini dilakukan agar keikhlasan terjaga. Karena hati sulit sekali dipelihara dari kesombongan dan sifat ria.Â
Namun jika apa yang dilakukan dapat menginspirasi yang lain tentunya akan membawa berkah lebih banyak. Setidaknya itu yang menjadi harapan saya ketika menuliskan hal ini. Agar lebih banyak lagi yang berbagi. Lebih banyak saudara yang dapat terayomi.Â
Jujur saja, belum banyak aksi sedekah yang telah saya lakukan. Apalagi dibandingkan dengan sumbangan-sumbangan yang dilakukan pesohor-pesohor tanah air. Jauh. Masih amat jauh. Seperti aksi yang dilakukan pesinetron Baim Wong. Dalam keheningan tanpa hingar bingar beliau berjalan dan berbagi dengan saudara-saudara kita yang  tidak seberuntung dia. Singgah dan memberi kepada siapa saja berdasarkan kata hatinya. Ada haru melihat tangis bahagia saudara kita yang menerima. Ada tamparan menyaksikan kesederhanaan mereka ketika secara halus mencoba menolak saat diberi lebih. Luar biasa. Hal yang sangat langka didunia yang serba kemaruk seperti sekarang ini.
Apa yang dilakukan Baim mungkin mirip dengan apa yang telah bertahun saya lakukan. Tentunya tidak sebanding dari sisi jumlah. Tapi setidaknya berusaha untuk tetap berbagi.Â
Tidak ada program khusus yang saya buat  untuk bersedekah. Sayapun belum memiliki anggaran spesial yang disisihkan sebagai dana sedekah. Kecuali untuk zakat, sedekah yang saya lakukan biasanya berlangsung spontan. Terjadi begitu saja. Pada waktu yang tidak dapat diperkirakan. Diberikan kepada orang-orang yang tidak direncanakan. Apakah ini bisa disebut sebagai sedekah atau bukan saya juga tidak begitu peduli. Intinya adalah berbagi.Â
Secara garis besar biasanya hal tersebut sering terjadi ketika saya melakukan belanja keperluan mingguan ke Pasar. Baik Pasar tradisional maupun modren. Â Sasaran pertamanya adalah tukang parkir. Sewaktu membayar uang parkir saya sengaja membayar lebih dari jumlah yang ditentukan. Tidak banyak. Jumlah yang diberikanpun tidak tetap. Tapi akibatnya tukang parkir di pasar menjadi mengenal saya. Balasan yang langsung diterima di dunia dari sedekah yang dilakukan. Setidaknya kedatangan saya akan disambut dengan sapaan dan senyuman. Kalimat "Kok kesiangan Bu?" atau "Lama tidak kelihatan ke pasar, kemana saja Bu?" merupakan pertanyaan yang seringkali saya terima. Kalimat sederhana. Namun bagi saya terasa istimewa.Â
Masuk ke dalam pasar saya akan menyasar ibu-ibu tua  dengan jumlah dagangan seadanya. Miris melihatnya. Sesuai dengan anjuran suami, saya berusaha tidak menawar dagangan mereka. Masih dengan pola yang sama, saya akan memberikan uang lebih dari harga dagangan mereka. Biasanya mereka tidak mau menerima begitu saja. Mereka akan berusaha menambah jumlah yang saya beli melebihi permintaan. Walaupun ketika didesak biasanya mereka akan menerima disertai dengan ucapan terima kasih yang bertubi-tubi. Barangkali jauh lebih besar dari jumlah uang yang saya berikan.Â
Hal seperti ini saya lakukan dengan sasaran yang berbeda-beda. Bisa pedagang asongan, penjaja kerupuk keliling, penjual minuman kesehatan, dan yang lainnya. Berkaca dari penolakan halus yang biasanya mereka lakukan saya merobah pola saat membeli. Biasanya pesanan yang diminta  lebih banyak dari kebutuhan. Namun saat mengambilnya sesuai dengan kebutuhan saya. Sisanya diberikan kembali kepada mereka untuk dijual.  Dengan cara ini aksi tolak menolak sedikit terkurangi.Â
Kebiasaan yang seringkali saya lakukan saat membeli, berdialog dengan penjual. Menunggu pesanan disiapkan akan didapatkan informasi tentang kehidupan mereka, para pedagang kecil ini. Hal-hal yang mengejutkan seringkali terungkap saat itu. Kadang tidak masuk di akal sehat kita. Keuntungan yang mereka peroleh teramat kecil. Namun dengan hasil sekecil itu mereka tetap dapat bertahan hidup, dan tetap tersenyum. "Yang penting tetap berusaha Bu, soal rezeki Allah subhanahuataala yang memberikan" Seoptimis itu kalimatnya.Â
Itu dulu. Sebelum wabah covid-19 menyerang. Bagaimana dengan sekarang? Sudah hampir 2 bulan saya tidak lagi mengunjungi pasar tradisional untuk memenuhi kebutuhan harian. Selama itu pula saya tidak menapakkan kaki ke mall untuk sekedar melengkapi yang tidak ada di stok lemari dapur. Bagaimana kondisi mereka saat ini? Terakhir saya ke pasar kondisi mulai sepi. Tentunya tidak akan jauh  berbeda dengan saat ini. Masihkah tukang parkir yang biasa menuntun kendaraan saya bekerja? Masih bisakah dia memenuhi kebutuhan anak dan istrinya. Masihkah Mak-mak pedagang sayur memanggul dagangan kepasar? Tukang kerupuk kelilingpun mulai jarang terlihat di jalan komplek. Terakhir sebelum ramadhan bertemu tukang ketoprak langganan yang mengeluh pada suami akan lontongnya yang sering tersisa. Terbayang senyum harunya saat suami menitipkan beberapa lembar uang pembeli beras untuk anak. Begitu suami menyebut. Ya. Walau dengan penghasilan terbatas, orang-orang ini punya harga diri. Mereka tidak mau diberi begitu saja tanpa melakukan apapun. Makanya kalimat yang sering kami gunakan adalah titip untuk anak istri.
Teringat pula mbak-mbak penjaga toko di supermarket. Biasanya saat menjelang Idulfitri begini kami sekeluarga  belanja keperluan lebaran. Lazimnya mall dimanapun akan memberikan potongan harga yang lumayan besar pada perayaan hari besar seperti Idul Fitri. Tak jarang diberikan voucer discount setelah pembayaran  untuk pembelian selanjutnya. Voucer inilah yang biasanya kami bagikan kepada mbak-mbak pelayan toko. tidak seberapa, namun mudah-mudahan dapat membantu mereka untuk turut memiliki barang-barang yang biasa mereka jaga setiap hari.