Mohon tunggu...
Rima Widyasari
Rima Widyasari Mohon Tunggu... Lainnya - Program Development and Management

Development professional with 4 years of experience in strategic communications in the public and private sectors, national and international organizations. Bilingual (Ina/En) learning Dutch, Germany, and Korean.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kritik Terhadap Program Pemberdayaan Perempuan: Haruskah Hanya Berpusat Pada Perempuan?

29 Januari 2025   13:45 Diperbarui: 29 Januari 2025   13:56 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Pemimpin Perempuan Dunia | Ilustrasi oleh penulis, foto dari berbagai sumber online

Selama beberapa dekade terakhir, gerakan pemberdayaan perempuan telah menjadi agenda global yang penting dalam memperjuangkan hak-hak dan kesetaraan gender. Berbagai kebijakan, program pelatihan, hingga kuota kepemimpinan telah dirancang untuk memastikan partisipasi perempuan di ruang publik, termasuk politik, ekonomi, dan sosial. Namun, agenda ini seringkali menghadapi kritik karena terlalu berfokus pada perempuan itu sendiri tanpa mempertimbangkan transformasi lingkungan yang didominasi oleh laki-laki dan struktur patriarkal yang ada.

Kritik ini semakin relevan dalam konteks di mana meskipun perempuan telah menduduki posisi kepemimpinan strategis, banyak agenda perempuan tetap dikendalikan oleh nilai-nilai patriarkal dan keputusan politik yang tidak berpihak pada keadilan sosial dan perdamaian.

Lingkungan Patriarkal sebagai Kendala Pemberdayaan Perempuan

Pemberdayaan perempuan yang hanya berfokus pada pelibatan perempuan tanpa perubahan signifikan dalam kesadaran laki-laki dan sistem patriarkal dapat menjadi kontra-produktif. Struktur sosial, politik, dan ekonomi yang didominasi oleh laki-laki sering kali memaksakan nilai-nilai yang tetap mengekang kebebasan perempuan dalam mengambil keputusan yang sepenuhnya independen.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi cerminan nyata dari sistem patriarki yang mendominasi. Norma-norma sosial yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga dan memberikan mereka hak untuk mengontrol perempuan telah menciptakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya kekerasan. KDRT tidak hanya merugikan secara fisik, tetapi juga mental dan emosional, sehingga menghambat perempuan untuk mencapai potensi penuhnya. Siklus kekerasan ini diperparah oleh stigma sosial yang melekat pada korban KDRT, membuat banyak perempuan enggan melaporkan kasusnya dan mencari bantuan. Akibatnya, perempuan yang mengalami KDRT seringkali terjebak dalam lingkaran setan dan sulit untuk keluar.

Kepemimpinan Perempuan yang Tetap Dikendalikan oleh Nilai Patriarkal

Banyak yang berharap bahwa kehadiran perempuan di ruang pengambilan keputusan dapat membawa nilai-nilai yang lebih inklusif, damai, dan empatik. Namun, kenyataannya sering kali berbeda. Ketika perempuan bekerja dalam lingkungan yang tidak sensitif terhadap kesetaraan gender, mereka cenderung disetir oleh kebijakan dan norma yang telah lama dikendalikan oleh kepentingan patriarkal.

 Sebagai contoh, Duta Besar (Dubes) AS untuk PBB, Linda Thomas-Greenfield melakukan veto terhadap resolusi gencatan senjata antara Israel dan Palestina. Ia beberapa kali terlihat mendukung keputusan yang tidak berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan, termasuk dalam konflik Israel-Palestina yang dituduh sebagai genosida terhadap rakyat Palestina. Sama halnya dengan kepemimpinan perempuan Ursula Von Der Leyen, Presiden Uni Eropa (UE) mendapat julukan sebagai "Ibu Genosida" oleh anggota parlemen Eropa, Clare Daly. Dibawah kepemimpinan Ursula, UE dianggap tidak tegas mengambil sikap dalam merespon krisis kemanusian yang terjadi di Gaza. Hal ini dikarenakan  Fakta bahwa perempuan berada di posisi strategis tidak serta-merta mengubah dinamika kekuasaan global yang tetap dikuasai oleh kepentingan ekonomi dan politik yang sering kali maskulin dan militeristik.


Ini membuktikan bahwa pemberdayaan perempuan tidak cukup hanya dengan menempatkan perempuan di kursi kekuasaan. Tanpa kesadaran dan transformasi lingkungan yang inklusif, perempuan yang berada di posisi tinggi tetap terjebak dalam sistem yang sama. Akibatnya, nilai-nilai kemanusiaan dan agenda keadilan gender yang seharusnya mereka bawa tidak dapat terwujud secara optimal.

Peran Laki-Laki dalam Kesetaraan Gender

Kesetaraan gender bukan hanya tanggung jawab perempuan, tetapi juga laki-laki. Laki-laki perlu dilibatkan dalam proses pemberdayaan perempuan dengan memberikan edukasi tentang pentingnya kesetaraan gender, menghilangkan maskulinitas toksik, dan mendukung kebijakan yang memungkinkan perempuan berdaya secara penuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun