Mohon tunggu...
Rima Widyasari
Rima Widyasari Mohon Tunggu... Lainnya - Program Development and Management

Development professional with 4 years of experience in strategic communications in the public and private sectors, national and international organizations. Bilingual (Ina/En) learning Dutch, Germany, and Korean.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Makan Siang Bergizi: Cermin Ketimpangan Sistemik dalam Perspektif Tilly

28 Januari 2025   21:39 Diperbarui: 30 Januari 2025   11:05 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) hampir sebulan berlangsung Indonesia, program ini telah menuai berbagai respon baik yang mendukung dan tidak mendukung di kalangan masyarakat. Mulai dari ibu rumah tangga hingga selebriti Indonesia telah memberikan pendapatnya di sosial media mengenai program ini.

Meskipun memiliki tujuan mulia untuk meningkatkan gizi anak, program MBG justru dapat menjadi cermin dari ketimpangan sistemik yang terjadi dalam masyarakat kita. Charles Tilly, dalam bukunya "Durable Inequality" (1998), memberikan kerangka analisis yang berguna untuk memahami bagaimana struktur sosial dan politik dapat memperkuat ketimpangan di masyarakat. 

Alih-alih menyelesaikan akar masalah dari gizi buruk anak yaitu kemiskinan, program MBG justru dapat menguatkan ketimpangan karena adanya akses yang tidak merata. Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang besar terkait dengan aksesibilitas baik dari sisi aspek fisik berupa fasilitas, jalan, dan alat transportasi maupun produksi yang dapat meningkatkan efisiensi distribusi makanan. Namun, dikarenakan aspek fisik dibeberapa daerah di Indonesia belum siap maka, distribusi MBG ke daerah pelosok belum dapat terealisasi. Padahal, anak-anak di daerah pelosoklah yang seharusnya menjadi prioritas dari program MBG tersebut. Selanjutnya, adanya ketimpangan akses teknologi informasi. Kurangnya kapasitas sumber daya manusia dan ekonomi untuk menunjang sistem informasi pelaksanaan program menyebabkan pelaksanaan MBG di beberapa daerah kurang efektif. Dimana ini merupakan komponen yang penting dalam melakukan pendataan peserta, melakukan pemantauan, sistem laporan berbasis teknologi, dan sistem inventori dan distribusi makanan yang dapat diakses publik sebagai bentuk dari akuntabilitas program. Tidak adanya transparansi yang mendorong akuntabilitas publik dapat berpotensi pada penyalahgunaan kekuasaan yang dapat mempertahankan ketimpangan. 

Contohnya, anak-anak yang belum masuk menjadi penerima manfaat program karena kurangnya akses teknologi yang memadai akan tetap berada dalam status quo hingga sampai waktu yang tidak dapat ditentukan. Inefisiensi laporan program juga dapat mengakibatkan pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang tidak komprehensif dimana dapat menimbulkan celah oknum untuk terus diuntungkan dengan sistem yang tidak memiliki umpan balik. Hal ini terkait dengan akses sosial yang menjadi salah satu aspek yang luput dari pelaksanaan program MBG. Idealnya, kesetaraan akses sosial dapat membuka peluang kepada masyarakat agar memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi menjadi mitra pemerintah dalam pengadaan MBG. Sayangnya, rantai pasok dari program MBG ini masih didominasi oleh pemain-pemain besar walaupun dalam prakteknya pemerintah di beberapa daerah bekerjasama dengan BUMDes dalam menjadi dapur umum MBG. Meskipun demikian, bukan rahasia umum bila struktur perangkat desa di Indonesia masih didominasi oleh keluarga dan kerabat dari pimpinan desa. Mereka disebut sebagai kelompok istimewa (privilege group), artinya mereka adalah kelompok yang sudah memiliki kedekatan hubungan dengan pemerintah maupun bagian dari pemerintah itu sendiri. Dengan akses yang mereka miliki mereka dapat mempertahankan akses (privilege) hingga hanya kelompoknya yang memiliki kontrol ke sumber daya. Ini juga disebut penimbunan peluang (opportunity hoarding), di mana kelompok sosial yang memiliki hak istimewa mengendalikan akses ke sumber daya yang dianggap berharga (dalam kasus MBG: pendanaan, pekerjaan, pengadaan). Seringkali kelompok istimewa tersebut mencegah kelompok yang kurang mampu untuk dapat memanfaatkan peluang yang ada. Hal ini menciptakan persaingan yang tidak seimbang.

Mengapa analisa mengenai akses itu penting?

Dengan menganalisa akses, kita dapat memahami ketimpangan, bagaimana dan mengapa masyarakat miskin rentan di ekslusi dari hak mereka. Kita juga dapat melihat pada dimana letak kekuatan yang berarti kekuasan dan kemampuan untuk mengambil keputusan dibuat dan bagaimana sistem keterbatasan akses tersebut dapat melanggengkan kekuasaan bagi pemangku kekuasaan tertentu yang dalam hal ini pemerintah. 

Dalam bukunya, Tilly menjelaskan bagaimana ketimpangan sengaja dipelihara oleh pemangku kekuasaan agar bertahan melalui institusionalisasi. Institusionalisasi ini merupakan upaya yang ditanamkan dalam sistem ekonomi, sosial, politik, karena sistem yang ada tersebut  menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan kelompok lain. Dalam program MBG penulis melihat bahwa kelompok yang dirugikan adalah kelompok kelas menengah produktif dimana mereka adalah kelompok penyumbang pajak terbesar yang membayar pajak untuk realisasi program ini berjalan. Sementara, mereka umumnya bukanlah kelompok sasaran penerima manfaat dari program-program sosial yang ada. Hal inilah yang menurut Tilly menyebabkan reproduksi kesenjangan dari generasi ke generasi atau yang juga dikenal sebagai kemiskinan intra-generasi. 

Bila tujuan pemerintah dengan program MBG ini adalah untuk meningkatkan gizi anak Indonesia agar mereka dapat optimal dalam belajar dan berprestasi untuk menciptakan generasi muda Indonesia yang berdaya saing dan berkualitas. Maka, seharusnya pemerintah Indonesia lebih berfokus kepada persoalan sistemik dari masalah gizi anak yaitu kemiskinan. Akar dari kemiskinan sendiri melekat dalam sistem yang diskriminasi dalam pekerjaan seperti batasan usia, jenis kelamin hingga status pernikahan. Lalu, ketimpangan distribusi pendapatan dimana konsentrasi kekayaan hanya dimiliki oleh segelintir orang sehingga ekonomi tidak merata. Ditambah dengan ketimpangan kualitas pendidikan ditambah lagi dengan kurikulum pendidikan yang seringkali tidak relevan dengan kebutuhan pasar kerja sehingga mereka sulit mendapatkan pekerjaan.

Program MBG, seperti halnya program dana bantuan sosial, bisa diibaratkan sebagai plester yang hanya menutupi luka sementara tanpa menyembuhkan dari dalam. Jika dibiarkan tanpa penanganan yang lebih mendalam, luka tersebut bisa bertahan lama. Maka, dibutuhkan adanya reformasi kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin, seperti peningkatan anggaran pendidikan. Misalkan dengan menambah jumlah guru, meningkatan kualitas infrastruktur dan kurikulum pendidikan. Sementara dalam bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat dan kepastian hukum dengan memudahkan ease of doing business yang akan mengundang investor untuk berbisnis di Indonesia yang diyakini dapat menyerap tenaga kerja. Bila orang tua siswa siswi memiliki pekerjaan dan upah yang layak, dipercaya bahwa mereka mampu untuk memenuhi kebutuhan gizi anak sebagaimana dilansir dalam penelitian Sianturi, Nadhiroh, dan Rachmah dari Universitas Airlangga pada tahun 2023, "Status gizi anak berkaitan dengan pendapatan dan tingkat pendidikan orang tua. Orang tua yang berpendidikan mampu menjelaskan nilai gizi makanan dan lebih memahami tentang perkembangan fisik dan mental anak-anak mereka. Ketersediaan makanan dan upaya untuk menyediakan pola makan yang seimbang dipengaruhi oleh pendapatan orang tua, dan ini akan berdampak pada kesehatan gizi anak-anak."

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun