Bayangkan satu tegukan teh botol kemasan dingin saat siang hari---dengan rasa manis yang menyegarkan dan aroma yang menggoda. Namun, di balik kenikmatan itu, tersembunyi ancaman kesehatan dan lingkungan yang serius. Mungkin kita tidak menyadarinya, tetapi setiap botol minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) berpotensi menambah beban kesehatan dan lingkungan kita dengan cara yang mengejutkan.
Menurut survei kesehatan Indonesia tahun 2023, hampir 47,5% orang Indonesia berusia di atas tiga tahun mengkonsumsi minuman manis lebih dari sekali sehari. Akibatnya, Indonesia menempati posisi ketiga dalam konsumsi MBDK tertinggi di Asia Tenggara pada tahun 2020. Lalu, mari kita lihat lebih dalam dampak yang menyertainya.
Dampak Kesehatan: Ancaman Gula dalam Setiap Tegukan
Satu botol 350 ml Fruit tea misalnya mengandung  42 gram gula, hampir setara dengan 4 sendok makan. Sementara pedoman gizi seimbang menyarankan batas konsumsi gula harian kurang dari 50 gram, banyak dari kita sudah melampaui batas ini hanya dengan minuman sehari-hari. Meskipun minuman manis sering dianggap sebagai sumber utama gula tambahan, penting untuk diingat bahwa gula tidak hanya berasal dari minuman kemasan saja. Banyak makanan lain, seperti nasi, mie, kentang, dan buah-buahan, juga mengandung gula atau karbohidrat yang diubah menjadi gula dalam tubuh.Â
Nasi dan mie, misalnya, merupakan sumber karbohidrat kompleks yang dipecah menjadi glukosa saat dicerna, sehingga turut menyumbang pada asupan gula total. Begitu pula dengan buah-buahan yang meskipun mengandung gula alami, tetap berperan dalam total konsumsi gula harian. Maka dari itu, penting untuk mempertimbangkan seluruh sumber gula dalam pola makan, bukan hanya dari minuman manis, ketika mengevaluasi asupan gula dan dampaknya terhadap kesehatan.
Konsumsi gula berlebihan telah terbukti berperan signifikan dalam meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan serius, termasuk obesitas, diabetes tipe 2, dan penyakit jantung. Di Indonesia, diabetes tipe 2 menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi, di mana pola makan yang kaya akan gula, terutama dari makanan olahan dan minuman manis, menjadi faktor yang berkontribusi besar. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya kesadaran masyarakat akan jumlah gula tersembunyi dalam minuman kemasan. Tren ini memperlihatkan betapa mendesaknya kebutuhan untuk membatasi konsumsi gula tambahan, termasuk dari minuman berpemanis dalam kemasan.
Dampak Lingkungan: Sampah Plastik yang Mengancam Lautan
Konsumsi yang tinggi akan minuman berpemanis dalam kemasan menimbulkan dampak lingkungan akibat sampah plastik yang dihasilkan. Menurut laporan McKinsey and Co & Ocean Conservancy (2019), Indonesia menempati peringkat kedua dunia sebagai produsen sampah plastik terbesar setelah China. Kontribusi besar berasal dari penggunaan plastik sekali pakai, termasuk botol minuman manis kemasan dan gelas plastik dari tren minuman kekinian yang semakin populer. Plastik ini, yang sulit terurai, sering kali berakhir di laut atau tempat pembuangan akhir (TPA). Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa sekitar 3,2 juta ton sampah plastik dihasilkan setiap tahun di Indonesia, dengan 10% diantaranya mencemari lautan.
Dampaknya sangat memprihatinkan, seperti yang dilaporkan oleh UN Ocean Convention (2017), di mana limbah plastik di lautan menyebabkan kematian satu juta burung laut serta 100 ribu mamalia laut, kura-kura, dan ikan setiap tahunnya. Ini menggambarkan betapa seriusnya masalah sampah plastik terhadap ekosistem laut, sekaligus menggarisbawahi pentingnya langkah-langkah untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai demi melindungi keanekaragaman hayati dan kesehatan laut.
Kebutuhan Mendesak untuk Bertindak: Apa yang Harus Dilakukan?
Dengan dua masalah besar ini---kesehatan dan lingkungan---sekarang saatnya untuk bertindak. Salah satu solusi yang terbukti efektif adalah penerapan cukai pada MBDK. Â Implementasi kebijakan cukai MBDK di lebih dari 40 negara telah terbukti efektif dalam menurunkan tingkat pembeliannya, mendorong formulasi ulang produk menjadi lebih sehat (lebih rendah gula), serta dalam jangka panjang, berperan dalam menurunkan obesitas, diabetes, risiko kesehatan lainnya yang terkait dan mengurangi produksi limbah sampah plastik.Â
Berdasarkan rekomendasi yang Centre for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) keluarkan tahun 2022 disampaikan bahwa, penerapan cukai MBDK sebaiknya ditetapkan pada semua produk MBDK tanpa kecuali dan secara serentak. Cakupan tersebut meliputi semua minuman berpemanis gula asli maupun pemanis dalam bentuk Bahan Tambahan Pangan (aspartam,sakarin,sorbitol, dll). Penerapan cukai MBDK dengan pengecualian terhadap produk tertentu dapat melemahkan kebijakan dan tidak akan efektif karena masyarakat dapat beralih ke produk-produk yang tidak dikenakan cukai tersebut. Pemerintah Indonesia perlu segera menerapkan cukai MBDK dengan persentase minimal 20% untuk semua produk MBDK yang beredar.Â
Selain itu, pembatasan iklan dan promosi, serta pengaturan kemasan yang ramah lingkungan, juga harus dipertimbangkan. Produsen bisa didorong untuk menggunakan kemasan yang dapat didaur ulang, dan konsumen harus diajak untuk memilih opsi yang lebih sehat dan berkelanjutan misalnya dengan membawa tumblr sendiri.Â
Memang manis rasanya namun pahit dampaknya untuk saya, kamu dan kita semua masyarakat Indonesia.Â
Referensi
Ardiansyah BG. 2017. Analisis Fisibilitas Pengenaan Cukai Atas Minuman Berpemanis (Sugar- Sweetened Beverages). Kaji Ekonomi dan Keuangan.1(3):229--41.Â
CISDI.2022.Ringkasan Kebijakan: Urgensi Implementasi Kebijakan Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) di IndonesiaÂ
Fanda RB, Salim A, Muhartini T, Utomo KP, Dewi SL, Abou Samra C. 2020. PKMK. Mengatasi Tingginya Konsumsi Minuman Berpemanis di IndonesiaÂ
McKinsey. 2019. Stemming the Tide: Land-based strategies for a plastic-free ocean, McKinsey & Company and Ocean Conservancy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H