Analisis Prosedur Dan Standar Pembuktian Dalam Non Conviction Base Asset Forfeiture Di Indonesia
Â
      Dalam sistem hukum Indonesia Non Conviction Base Asset Forfeiture (penyitaan aset tanpa pemindahan) yang diatur dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption,[1] meskipun demikian, pelaksanaan norma-norma dalam UNCAC belum sepenuhnya dapat terlaksana dengan baik karena belum ada instrumen undang-undang yang menunjang pelaksanaannya. Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana dan naskah akademiknya sudah ada sejak tahun 2012,[2] namun sampai dengan saat ini RUU tersebut masih dalam proses pembahasan di DPR.[3] Meskipun demikian, Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lain. Latar belakang MA menerbitkan PERMA No. 1/2013 adalah MA berpendapat terdapat kekosongan hukum acara untuk pelaksanaan pasal 67 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, sehingga perlu dibentuk Peraturan mahkamah Agung yang mengatur mengenai hukum acara penanganan harta kekayaan, sedangkan di sisi lain MA berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum dalam jalannya peradilan.[4]
Â
Ruang Lingkup
Â
     Di dalam PERMA No. 1/2013 diatur mengenai prosedur dan standar pembuktian NCB, di dalam PERMA No. 1/2013 perampasan atau penyitaan aset merupakan suatu pokok perkara bukan merupakan suatu upaya paksa atau hukuman tambahan yang dijatuhkan di dalam putusan pidana. PERMA No. 1/2013 ruang lingkupnya berlaku terhadap permohonan penanganan harta kekayaan yang diajukan oleh Penyidik dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.[5] Meskipun terkesan ada pembatasan mengenai konsep NCB Asset Forfeiture dalam sistem hukum di Indonesia, yaitu hanya terbatas kepada tindak pidana pencucian uang, namun perlu diingat bahwa predicate crime dari tindak pidana pencucian uang setidaknya berjumlah 26 (dua puluh enam) jenis tindak pidana,[6] sehingga meliliki sifat yang lentur dalam penerapannya yang bisa menjangkau aset hasil tindak pidana asal (predicate crime) sepanjang dikaitkan dengan tindak pidana pencucian uang. Pembatasan lain dalam konsep NCB Asset Forfeiture yang diterapkan saat ini adalah permohonan penanganan harta kekayaan hanya bisa dilakukan oleh Penyidik terhadap aset hasil tindak kejahatan dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan,[7] sedangkan kegunaan dan manfaat perampasan aset NCB memiliki lingkup yang lebih luas dari itu.[8]
       Oleh karena dasar dari NCB Asset Forfeiture sebagaimana diatur dalam PERMA No. 1/2013 adalah undang-undang tindak pidana pencucian uang, maka Penyidik sebagaimana dimaksud dalam PERMA No. 1/2013 adalah merujuk pada ketentuan mengenai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang[9], yang didalam penjelasan Pasal 74 disebutkan yaitu antara lain:
- Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;
- Penyidik Kejaksaan;
- Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);
- Penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN);
- Penyidik Direktorat Jenderal Pajak;
- Penyidik Direktorat Jenderal Bea Cukai.
Â
Prosedur Permohonan, Kewenangan Mengadili, dan Putusan
Â