Mohon tunggu...
Rimas Kautsar
Rimas Kautsar Mohon Tunggu... pegawai negeri -

bismillah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Meramal Masa Depan Turki Pasca Kegagalan Kudeta 15 Juli 2016

17 Oktober 2016   10:20 Diperbarui: 17 Oktober 2016   10:35 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dexter Filkins menulis artikel panjang di website www.newyorker.com yang berjudul “Turkey’s Thirty-Year Coup: Did an exiled cleric try to overthrow Erdogan’s government?”artikel tersebut dipublikasikan pada 17 Oktober 2016.[1] Seperti cerita sebuah novel, Filkins menceritakan bagaimana alur kudeta gagal di Turki pada 15 Juli 2016, Filkins memulai investigasinya dengan mewawancarai orang-orang pernah terlibatgerakan yang dipimpin oleh Fethullah Gulen sampai dengan ia datang sendiri ke markas Gulen di pengasingannya di Pensylvania, Amerika Serikat serta mewawancarai langsung Fethullah Gulen. Alur cerita yang disuguhkan Filkins begitu runtut dan cenderung menampilkan sesuatu yang mirip teori konspirasi sebagai agenda terselubung gerakan Gulenist yang menjadi latar belakang dan motivasi kudeta gagal di Turki, tapi semua itu bisa jadi benar, wallahualam bi sawwab, namun dari artikel itu setidaknya kita bisa memetakan ada tiga kelompok besar kekuatan politik yang saling berebut pengaruh di Turki pada saat ini, pertama, Partai Pembangunan dan Keadilan (Adalet ve Kalkınma Partisi/AKP), yang kita kenal sebagai partai yang mendukung Presiden Recep Tayyip Erdogan, yang mengkalim membawa agenda "conservative democracy", namun oleh pengamat dari luar dianggap sebagai Islamist dan Neo-Ottomanist, suatu pelabelan yang ditolak oleh AKP sendiri, kedua, Gerakan Gulen, atau yang lebih dikenal sebagai Hizmet dalam bahasa Turki yang memiliki arti pelayanan, ketiga, kaum Kemalist, yang sering diidentikan sebagai kaum sekuler di Turki (Kemalist mengusung enam prinsip ajaran Mustafa Kemal Attaturk sebagai basis ideologi, yaitu: Republicanism (Turkish: cumhuriyetçilik), Nationalism (Turkish: milliyetçilik), Secularism (Turkish: laiklik), Statism (Turkish: devletçilik), and Reformism (Turkish: devrimcilik).

Selanjutnya muncul pertanyaan dari artikel Filkins, sebenarnya sampai seberapa jauh sih tingkat kematangan demokrasi di Turki? bukankah parameter demokrasi itu banyak, misalnya pertumbuhan ekonomi, pemerataan pertumbuhan ekonomi, tingkat pendidikan masyarakat, dsb. Di sisi lain seberapa kuat politik Islam di Turki? karena pasca penghapusan kekhalifahan yang sudah ada selama 300 tahun, dibandingkan usia Republik Turki yang belum genap 100 tahun, karena menurut saya tentu bagi sebagian besar rakyat Turki masih mengingat dan memiliki banyak warisan peninggalan kejayaan Islam di Turki, di mana Turki menjadi pemimpin dunia Islam, 

jadi menurut pengamatan saya konsep nasionalisme ala Mustafa Kemal pada dasarnya akan terbentur oleh sejarah Turki sendiri, karena meskipun Mustafa Kemal konon meniru model revolusi Prancis dalam menjalankan revolusi kemerdekaan negara Turki modern di tahun 1923, akan tetapi terdapat perbedaan antara Raja Perancis dengan Khalifah Turki Usmani yang dihapuskan sistem dan tahtanya oleh revolusi. Sebagai contoh, sejauh ini saya belum pernah menemukan tulisan atau bukti yang menunjukkan bahwa Kekhalifahan Turki digambarkan sebagai tiran sebagaimana penggambaran sosok tirani Raja-raja Perancis, 

sehingga mereka harus digulingkan melalui revolusi rakyat, melainkan Khalifah Turki jatuh karena ia kehilangan kontrol atas elite politik di negerinya (Sultan Turki terakhir Mehmed VI diturunkan paksa olehGrand National Assembly of Turkey (GNAT) pada tanggal 1 November 1922), atau jika dibandingkan dengan bagaimana perjalanan revolusi nasionalis di Cina daratan, tujuan dr. Sun Yat Sen dkk dalam Tongmenghui (United League) jelas mewujudkan negara Cina modern yang majemuk dan plural berlandasakan demokrasi, dan lawannya adalah kekaisaran tiran dinasti Qing yang didominasi oleh bangsa Manchu yang notabene adalah minoritas, sehingga ada semangat revolusi bangsa Han (sebagai mayoritas rakyat) untuk menggulingkan rezim minoritas Manchu.

Turki tanpa kekhalifahan Islam, bisa dibayangkan Turki hanya akan dikenal sebagai bangsa nomadik dari Asia Tengah, kejayaan Turki di mata dunia dan kepemimpinan Turki dalam dunia adalah karena kekhalifahannya, jadi agak aneh kalau Mustafa Kemal mencoba menggali akar nasionalisme bangsa Turki hanya mengandalkan sejarah Turki dari bangsa nomadik pra Islam, jadi menurut pendapat saya secara gagasan konsep sekularisme Turki ala Mustafa Kemal pada satu titik memang akan mentok karena secara konsep berbenturan dengan sejarah bangsa Turki sendiri. 

Apabila sekarang dinamika politik Turki menuju kekuatan politik Islam vs. politik Islam, menurut saya itu sesuatu hal yang wajar dan bisa dipahami, apalagi jika hanya mengandalkan konsep demokrasi ala barat yang sampai sekarang belum bisa berlaku inklusif dan masih menyisakan ide-ide nasionalis sempit, malah mulai berbalik dengan adanya peristiwa keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa (atau lebih populer disebut dengan Brexit) karena menganggap bahwa keanggotaan Britania Raya di Uni Eropa tidak menguntungkan dan menggerogoti nasionalisme Britania Raya yang bercorak budaya Anglo-Saxon.

Elit Turki bisa melihat bahwa realitas dunia bergeser, bahwa dinamika dunia pasca runtuhnya tembok Berlin pada tanggal 13 Januari 1990 dan runtuhnya Uni Soviet di tanggal 25 Desember 1991 yang mengakhiri era perang dingin dan memunculkan Amerika Serikat sebagai negara adidaya tunggal, yang ternyata hanya bisa bertahan kurang dari 20 tahun. 

Republik Rakyat China, Rusia (sebagai pewaris Uni Soviet) dan Uni Eropa bisa tampil dalam pentas peradaban dunia, bahkan negara Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan juga bisa muncul sebagai kekuatan ekonomi strategis dengan kemampuan militer yang tidak bisa diremehkan, lalu Turki yang selama ini dianggap sebagai “paria” karena harus mengemis keanggotaan Uni Eropa kenapa tidak bisa maju? (Turki mengajukan permohonan menjadi anggota European Economic Community sebagai cikal bakal Uni Eropa sejak 31 Juli 1957 dan sampai sekarang Turki belum dapat menjadi anggota penuh Uni Eropa) selain Turki tampaknya para pemimpin dunia mulai sadar bahwa abad Amerika Serikat pelan tapi pasti mulai memudar, contohnya keberanian Presiden Duterte di Filipina yang secara terang-terangan mengancam beralih ke RRC dan Rusia karena menganggap kemitraan dengan Amerika Serikat tidak membawa manfaat apa-apa bagi Filipina.

Lalu bagaimana dengan Turki? Apabila kita sudah menonton film Snowden (film semi dokumenter yang menceritakan Edward Joseph Snowden seorang mantan kontraktor teknik Amerika Serikat dan karyawan Central Intelligence Agency yang menjadi kontraktor untuk National Security Agency sebelum membocorkan informasi program mata-mata rahasia NSA kepada pers, arahan sutradara Oliver Stone)   maka kita bisa tahu bahwa pemerintahan Amerika Serikat sendiri ternyata punya agenda tersendiri yaitu mempertahankan supremasi dan dominasi pemerintahannya jadi pasca Uni Soviet tumbang. 

Demi menjaga soliditas nasionalisme, pemerintah Amerika Serikat bahkan mulai memata-matai sekutunya sendiri seperti Belgia, Jepang, Jerman dsb alih-alih memata-matai RRC, Rusia dan Iran, jelas ini menimbulkan kegelisahan tersendiri bagi negara-negara sekutu Amerika Serikat (termasuk Turki), apalagi jika Amerika Serikat ngotot untuk terus melindungi Gulen (sampai saat ini Amerika Serikat masih menolak mengekstradisi Fethullah Gullen ke Turki untuk diadili atas tuduhan terlibat kudeta gagal 15 Juli 2016 dengan alasan Pemerintah Turki belum menyampaikan bukti-bukti yang cukup kuat), saya yakin pemerintahan Erdogan akan memandang hubungan Turki-Amerika secara pragmatis dan mulai mengambil kebijakan lebih mandiri dengan cara menyeimbangkan kekuatan di kawasan (contohnya kebijakan normalisasi hubungan dengan Rusia pada 28 Juni 2016 dan Israel pada 27 Juni 2016), ditambah dukungan penuh Amerika Serikat terhadap People's Protection Units (Yekîneyên Parastina Gel‎ /YPG) sebuah kelompok militer yang didominasi etnis Kurdi yang terlibat dalam konflik Suriah yang dipandang mengancam kedaulatan Turki, hal ini disebabkan hubungan erat antara YPG dengan Kurdistan Workers' Party(PKK) yang dianggap sebagai kelompok teroris oleh Turki.

Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana nasib negara Turki pasca Erdogan, karena Erdogan tidak akan selamanya jadi Presiden? apakah Turki yang mewarisi cita-cita Erdogan akan survive dan sukses atau akankah berakhir seperti Venezuela pasca Hugo Chavez? di era Nicolas Maduro demi mempertahankan kedaulatan atas minyak (kekayaan alam) Venezuela, Venezuela harus mengorbankan sistem ekonominya karena "rezim lama" yang menguasai perekonomian negeri itu mulai melawan, sehingga memacetkan perekonomian, hasilnya rakyat harus antri untuk beli roti atau tisu toilet. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun