Mohon tunggu...
Rimas Kautsar
Rimas Kautsar Mohon Tunggu... pegawai negeri -

bismillah

Selanjutnya

Tutup

Politik

KPK vs BPK: Polemik Kasus RS Sumber Waras

17 Juni 2016   13:14 Diperbarui: 17 Juni 2016   13:22 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menarik semalam menyimak talkshow Metro TV (Selasa, 14 Juni 2016) yang menghadirkan Anggota Komisi III DPR RI Bapak Nasir Djamil, beliau menyatakan bahwa KPK memiliki kelemahan yaitu sulit menyelesaikan dugaan tindak pidana korupsi yang tidak tertangkap tangan, jika direnungkan ada benarnya, dulu pada saat KPK menetapkan Komjen BG tersangka, KPK kalah dalam pra peradilan, kemudian masih ingatkah kita KPK pernah menetapkan mantan Dirjen Pajak dan Ketua BPK Bapak HP, sampai sekarang penanganan kasusnya sampai di mana juga tidak jelas. Jadi dalam kasus RS Sumber Waras, apakah hal yang sama terjadi?

Penanganan dugaan tindak pidana korupsi memang tidak mudah, karena tipikor termasuk dalam kejahatan kerah putih, pelakunya pastilah bukan orang bodoh melainkan orang-orang pintar/berpendidikan dan punya kewenangan/kekuasaan, jadi kemungkinan dalam melakukan kejahatannya pasti sudah memikirkan efek dari kejahatan yang ditimbulkan, jadi pelaku seringkali berusaha untuk tidak meninggalkan jejak kejahatannya, sehingga dibutuhkan kejelian, keahlian dan kompetensi dari aparat penegak hukum untuk mengungkapkannya. 

Di sisi lain, sebagai penegak hukum, Polisi, Jaksa, dan KPK dalam menjalankan kewenangan penyidikan dan penuntutan dugaan tipikor harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip hukum (principle of in dubio pro reo, means that a defendant may not be convicted by the court when doubts about his or her guilt remain). Apabila penyidik atau penuntut umum tidak yakin dengan adanya tindak pidana korupsi maka sebaiknya ia tidak berusaha memaksakan suatu dugaan tindak pidana korupsi naik ke proses penyidikan ataupun penuntutan, meskipun salah atau tidaknya tersangka atau terdakwa itu ditentukan oleh Majelis Hakim namun bukan berarti penyidik atau penuntut umum bisa bertindak unprofessional.

Menarik untuk didiskusikan manakala ternyata yang meminta dilakukan audit investigasi terhadap kasus RS Sumber Waras adalah KPK sendiri, namun manakala hasil audit investigasi sudah dikeluarkan oleh BPK ternyata oleh KPK hasil audit tersebut di-"anulir", saya pribadi belum pernah membaca langsung LHP BPK tentang RS Sumber Waras, namun berdasarkan informasi di media menyebutkan bahwa terdapat perdebatan mengenai alamat lokasi objek yang diaudit yaitu lahan di Jl. Kyai Tapa dan konon katanya di LHP BPK tertulis di Jl. Tomang Utara sehingga menyebabkan perbedaan pengenaan NJOP dari Rp 7juta per-m2 menjadi Rp 20juta per-m2, dan harga NJOP Rp 20juta per-M2 inilah yang menjadi patokan pembelian lahan oleh Pemprov DKI. 

Bagi saya kesalahan LHP BPK ini cukup fatal jika ditinjau dari sudut pandang hukum, sebab jika nanti sudah masuk di dalam proses pengadilan maka pihak terdakwa akan dengan mudah mengajukan eksepsi error in objecto (salah objek) sebab yang dilakukan transaksi jual beli antara Pemprov DKI dengan Pengelola RS Sumber Waras itu adalah lahan yang beralamat di Jl. Kyai Tapa bukan beralamat di Jl. Tomang Utara, ditambah lagi konon semua dokumen pendukung transaksi jual beli ini menggunakan alamat Jl. Kyai Tapa. Menurut saya antara BPK dan KPK perlu duduk satu meja mengenai hal ini, karena jika memang BPK sudah sedemikian yakin bahwa telah terjadi kerugian negara bernilai ratusan milyar dan terdapat dugaan kuat bahwa telah terjadi perbuatan yang berindikasi tindak pidana korupsi, jelas hal ini tidak bisa serta merta diabaikan begitu saja oleh KPK. Terlebih LHP Audit Investasi BPK Kasus RS Sumber Waras ini merupakan dokumen rahasia, jadi sejauh ini kita hanya bisa berasumsi berdasarkan atas sumber-sumber media saja.

Keputusan KPK yang menyatakan tidak menemukan adanya unsur Perbuatan Melawan Hukum sehingga menyatakan bahwa tidak ada perbuatan tindak pidana korupsi dalam kasus RS Sumber Waras adalah hak dan kewenangan dari KPK, meskipun demikian layak untuk kita nantikan bersama hasil pertemuan antara KPK dan BPK yang akan membahas masalah ini. Apabila tidak temukan titik temu di antara keduanya maka, untuk menghindari polemik di masyarakat, saya usulkan agar KPK melakukan audit investigasi kedua terhadap kasus RS Sumber Waras, sehingga KPK mendapatkan data pembanding mengenai hasil audit investigasi RS Sumber Waras. 

Lalu siapa yang layak diserahi tugas untuk melakukan audit investigasi kedua terhadap kasus RS Sumber Waras? Saya pikir sebaiknya KPK menunjuk BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) karena BPKP sudah sering diberi tugas oleh lembaga penegak hukum untuk melakukan audit investigasi, meskipun demikian solusi ini bukan tanpa risiko sebab apabila hasil audit investigasi BPKP ternyata berkebalikan dengan hasil audit investigasi BPK, maka bukan tidak mungkin BPK akan merasa dipermalukan di muka publik, namun sebaliknya hasil audit BPKP ini akan semakin menguatkan KPK bahwa keputusannya untuk tidak meningkatkan status kasus RS Sumber Waras adalah tepat. Di sisi lain apabila hasil audit investigasi BPKP ini menyatakan telah terjadi kerugian negara dan terdapat pihak-pihak yang yang patut dimintai pertanggungjawaban secara hukum maka sudah selayaknya KPK bisa meyakini telah terjadi peristiwa yang merugikan keuangan negara. 

Meskipun sudah ditemukan adanya kerugian negara berdasarkan hasil audit investigasi, maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah tindakan suatu pejabat negara dimaksud yang telah merugikan keuangan negara termasuk dalam ranah hukum administrasi negara (maladministrasi) atau ranah hukum pidana khususnya tindak pidana korupsi sehingga harus dinaikan statusnya ke proses penyidikan? Untuk menentukan maka hal ini maka perlu dipahami bahwa kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi itu ada di tangan tiga lembaga penegak hukum, yaitu Polri, Kejaksaan RI, dan KPK bukan berada di tangan BPK atau BPKP. 

Jadi adalah kewenangan penuh dari KPK untuk menyatakan bahwa bisa dilakukan proses penyidikan atau tidak dan menetapkan siapa tersangka dalam kasus tersebut. Selanjutnya perlu dipahami bahwa untuk menentukan status tersangka seseorang Penyidik KPK dituntut harus mengumpulkan bukti permulaan yang cukup bahwa seseorang layak dijadikan tersangka karena perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor, apabila ternyata setelah dilakukan penyelidikan yang mendalam bahwa Penyidik KPK tidak bisa menemukan bukti permulaan yang cukup bahwa perbuatan seseorang tersebut telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam UU Tipikor maka sudah tepat bahwa kemudian KPK menyatakan tidak terjadi tindak pidana dalam kasus ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun