Mohon tunggu...
Rimas Kautsar
Rimas Kautsar Mohon Tunggu... pegawai negeri -

bismillah

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kemandirian Alutsista Indonesia dan Peristiwa Kebakaran KRI Klewang

12 September 2014   20:43 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:52 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Pada tahun 2012 Indonesia dikagetkan oleh peristiwa terbakarnya KRI Klewang sebuah kapal perang cepat rudal (KCR) jenis trimaran (memiliki tiga lunas) buatan bangsa Indonesia dengan kemampuan khusus menghindari radar (teknologi stealth/siluman) karena terbuat dari bahan serat komposit dan dapat menyandang persenjataan peluru kendali dengan jarak tembak 120 Km, memiliki panjang keseluruhan 62,53 meter, panjang “water line”, 50,77 meter panjang “water draft” 1,17 meter, bobot mati 53,1 GT, kecepatan maksimum 30 knot, kecepatan jelajah 16 knot, dengan mesin utama 4X marine engines MAN nominal 1.800 PK, satu unit KCR Trimaran dihargai Rp 144 miliar Konon di dunia selain Indonesia hanya beberapa negara maju saja yang memiliki program kapal perang siluman seperti ini. Sampai saat ini belum ada keterangan resmi dari TNI Angkatan Laut mengenai penyebab peristiwa kebakaran tersebut, karena sejauh ini belum ada laporan resmi dari tim investigasi mengenai penyebab kebakaran, sehingga masyarakat tidak perlu berspekulasi lebih jauh dengan menduga ada unsur sabotase pihak “musuh” atau adanya dugaan korupsi dalam pengadaannya namun tetap bersabar menunggu hasil penyelidikan tim investigasi.

Peristiwa kebakaran KRI Klewang menimbulkan banyak komentar dari masyarakat, tidak sedikit komentar tersebut bernada negatif, yaitu berupa keraguan dari sebagian kalangan mengenai kemampuan bangsa Indonesia secara mandiri memproduksi alat utama sistem persenjataan (alutsista) bahkan peristiwa kebakaran KRI Klewang dianalogikan dengan cerita satir mengenai kemampuan bangsa Indonesia melalui IPTN memproduksi pesawat CN 250 Gatotkaca. Konon dalam medan perang Serbia-Bosnia radar pertahanan udara Serbia mendeteksi keberadaan pesawat asing di atas langit Serbia, pada saat prajurit melaporkan peristiwa tersebut kepada komandannya apakah diperkenankan untuk menembak jatuh pesawat tersebut sang komandan menolak dengan penjelasan pesawat tersebut adalah pesawat Rusia dengan identitas jelas untuk melintas di atas langit Serbia, sebagai sekutu Serbia jelas pesawat Rusia tidak akan diganggu. Beberapa saat kemudian sistem radar pertahanan Serbia mendeteksi sebuah pesawat asing melintas di atas langit Serbia, prajurit Serbia kembali melapor kepada sang komandan apakah diperkenankan untuk menembak jatuh pesawat tersebut karena diidentifikasi bukan merupakan pesawat milik Rusia, namun di luar dugaan sang komandan kembali menolak memberikan perintah untuk menembak jatuh pesawat tersebut karena pesawat tersebut diidentifikasi sebagai CN 250 Gatotkaca buatan Indonesia dan sang komandan malah mengeluarkan celetukan, “biarkan saja pesawat itu lewat nanti juga jatuh sendiri tidak perlu ditembak.” Jelas cerita satir mengenai pesawat ini merupakan sebuah cerita karangan saja, namun patut disayangkan bahwa cerita ini muncul di kalangan bangsa Indonesia sendiri yang meragukan kemampuan saudara sebangsanya membuat pesawat terbang, fenomena ini jelas mengarah pada gejala inferiority complex sebuah penyakit rendah diri manakala kita dihadapkan pada karya bangsa lain dalam konteks pergaulan internasional.

Pasca krisis moneter tahun 1998 banyak proyek-proyek nasional bangsa Indonesia terhenti, terutama proyek perintis yang berteknologi tinggi karena dianggap membuang-buang uang dan belum ada kepastian apakah akan berhasil atau tidak, salah satunya adalah proyek pesawat CN 250 Gatotkaca. Di era reformasi proyek-proyek nasional yang memiliki muatan teknologi tinggi mulai digalakkan kembali, hal ini bukan sekedar untuk terlihat gagah di mata asing, namun memang karena adanya kebutuhan bangsa Indonesia sendiri, terutama di sektor industri strategis pertahanan, alasan pertama adalah negara Indonesia menderita akibat dikenakan embargo persenjataan oleh Amerika Serikat dan sekutunya akibat peristiwa Santa Cruz, Dili, Timor Timur dan tuduhan pelanggaran HAM lainnya terhadap aparat bersenjata Indonesia, sehingga sistem pertahanan Indonesia terganggu tidak semua alutsista yang dimiliki bisa digunakan secara optimal karena kekurangan suku cadang. Kedua, proyek-proyek tersebut biasanya memiliki nilai yang besar sehingga apabila dikerjakan di dalam negeri akan menggerakkan perekonomian nasional dan menyerap tenaga kerja yang cukup banyak serta adanya kesempatan untuk melakukan transfer teknologi apabila proyek tersebut bekerjasama dengan pihak asing yang bersahabat.

Tercatat bangsa Indonesia sudah mampu memproduksi secara mandiri beberapa alutsista seperti produksi PT Pindad berupa Armored Personnel Carrier (APC) Anoa dan senapan SS 2 yang digunakan oleh TNI Angkatan Darat. Selain itu, Indonesia juga memiliki program kapal perang korvet nasional yang dicanangkan tahun 2007 namun terhenti karena adanya krisis keuangan global dan ketidaksiapan BUMN strategis dalam negeri, namun di tahun 2011 program ini program tersebut dihidupkan kembali dengan persiapan dan perencanaan jangka yang lebih matang sehingga diharapkan akan menuai kesuksesan. Di bidang peluru kendali saat ini LAPAN, LIPI dan BPPT terus menerus mengembangkan teknologi roket yang nantinya dapat digunakan untuk kepentingan sipil seperti pengorbitan satelit maupun kepentingan militer seperti pembuatan peluru kendali, sejauh ini LAPAN sudah melakukan ujicoba peluncuran roket RX 420 dan berhasil. Di bidang pesawat tempur saat ini Indonesia sudah bekerjasama dengan Korea Selatan untuk mengembangkan sebuah pesawat jet tempur masa depan dengan kemampuan di atas jet tempur F 16 (jet tempur generasi ke 4) dan di bawah jet tempur siluman F 35 (jet tempur generasi ke 5), sehingga diharapkan menjadi pesawat jet tempur generasi 4,5 serta di tahun 2013 sebuah prototipe pesawat ini sudah ada untuk terus dikembangkan sehingga pada tahun 2020-an sudah bisa memasuki fase produksi massal, proyek ini secara umum dikenal sebagai proyek KFX/IFX. Selain itu, dalam waktu dekat Indonesia akan membeli peluru kendali C 705 yang berjarak tembak 135 Km buatan Republik Rakyat China, dan yang menggembirakan adalah RRC setuju untuk melakukan alih teknologi terkait peluru kendali C 705 berupa perakitan, pengujian, pemeliharaan, modifikasi, upgrade, pelatihan sehingga kerjasama produksi bersama dan pemasaran peluru kendali C 705 dapat terwujud.

Dapat diambil kesimpulan bahwa keinginan bangsa Indonesia untuk meraih kemandirian produksi alutsista seiring dengan perkembangan kemampuan ekonomi adalah sebuah keinginan yang sangat serius, langkah-langkah awal sudah dilaksanakan, dan memang perjuangan sebuah bangsa untuk meraih kemandirian bukanlah hal yang mudah karena adalah sebuah keniscayaan akan selalu muncul tantangan dan hambatan. Peristiwa kebakaran prototipe KCR Trimaran KRI Klewang hendaknya tidak menyurutkan langkah bangsa Indonesia untuk mewujudkan hal itu, jika kita mau berkaca kepada Rusia sebagai salah satu kampiun pembuat alutsista yang handal, mereka pun juga merasakan pahitnya kegagalan pengembangan teknologi baru, beberapa saat yang lalu tentu kita masih ingat peristiwa jatuhnya pesawat Superjet 100 buatan Sukhoi di Gunung Salak, Superjet 100 merupakan pesawat jet varian sipil buatan Sukhoi, Rusia. Sukhoi sendiri terkenal dengan produksi pesawat tempurnya, bahkan untuk negara sekelas Rusia yang sudah tidak diragukan lagi penguasaan teknologinya masih dimungkinkan terjadinya “error”, yang perlu diperbaiki saat ini adalah bagaimana kita belajar dari kesalahan penyebab peristiwa kebakaran KRI Klewang sehingga menjadi bahan evaluasi untuk menyempurnakan tahap produksi selanjutnya, mengingat KRI Klewang sebenarnya masih dalam tahap prototipe dan belum ada serah terima secara resmi kepada pemerintah Indonesia, dalam hal ini TNI Angkatan Laut. Pengalaman akan kegagalan memang merupakan hal sangat berharga karena harganya sangat mahal, namun pengalaman tetap adalah guru yang terbaik. Bangsa Indonesia tidak perlu mencibir peristiwa kebakaran KRI Klewang ini sebagai suatu kegagalan yang memalukan sehingga semakin memperkuat gejala inferiority complex bangsa ini, namun kita harus tetap teguh dan bekerja lebih keras lagi demi impian kemandirian alutsista bangsa Indonesia sehingga kita mampu sejajar dengan negara-negara maju. Jalan ke arah sana masih panjang dan tidak mudah namun bukan berarti tidak bisa dicapai, tentunya dengan harga dan pengorbanan yang pantas, keberhasilan adalah untuk mereka yang berani bukan untuk mereka yang penakut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun