“Katanya pinter, gitu doang?”
“IQ mana IQ?”
“ Nih orang kagak malu, ya.”
Berkeliaran lah sebentar di dunia maya, timeline, newsfeed, kita penuh dengan sampah. Jika huruf punya bau, dijamin Anda muntah-muntah, Kata-kata dimana-mana berbau. Busuk sekali, sindiran, sumpah serapah, kritik, itu. Gampang, cuma menggerakkan jari. Seorang yang paling introvert sekalipun, bisa membully tokoh politik, artis pengacara siapapun yang tidak dikenalnya secara langsung. Media memang alat yang memudahkan semuanya. Memudahkan ‘kenal’ si A, memudahkan sharing foto atau video si B, memudahkan menghujat tulisan si C. Sepemalu, si pendiam apapun seseorang di dunia nyata, tapi eksistensi di dunia maya, membuatnya mudah menghujat dan menghina siapa saja.
Jika dulu ada saran, jangan nonton tv, isinya cuma kekerasan dan perayaan mudahnya korupsi dan perceraian. Jangan baca koran, isinya berita buruk semua. Maka, social media tampaknya mulai jadi tempat yang sama, perlu dihindari. Hujat sana sini, cela ini itu. Dan, lebih parahnya lagi, orang-orang yang melakukannya adalah bukan jurnalis yang profesional dan tidak saya kenal. Pelakunya mungkin teman SMA, sepupu saya, om saya, teman kuliah, klien, teman gaul semua yang saya follow dan approve pertemanannnya.
Saya tidak yakin, bila bertemu langsung dengan sang capres kah,caleg kah, artis atau siapapun, yang dihina-hina teman-teman dunia tadi berkenan disampaikannya secara langsung. Hanya karena berpikir “I ini kan twitter doang, semua orang juga melakukannya. There’s life outside these socmed.” Well, yes. Benar juga.
Tidakkah Anda ingin tahu mengapa kita melakukannya? Mari periksa sejenak alasan Anda benci banget sama arti A, caleg B, capres X dan seterusnya. Kadang-kadang, kemarahan yang kita punya bukan lah sebab langsung yang dilakukan A, B atau C pada Anda. Ada kah kesalahan dia langsung pada Anda? Pengalaman di masa lalu yang membuat Anda sakit hati. Biasanya bukan. Namun kemarahan lain. Tidak ada hubungannya secara langsung dengan si A, B dan C, Anger pada pasangan, kesal pada mertua, frustrasi pada kemacetan, kredit rumah yang belum lunas, kekecewaan pada pasangan, menggunung dalam diri Anda, dan menemukan celah pelepasannya pada aktivitas si A, B dan C di dunia maya. Ya, kita melakukan katarsis.
Tentu lebih merepotkan mengatasi kebawelan mertua, atau berkutat dengan cara tercepat melunasi kredit rumah dibandingkan, berdamai dengan kecentulan asisten rumah tangga baru karena Anda membutuhkannya, dibandingkan: menuangkannya pada ujung jari Anda. Kemarahan yang menyulut tentang apa yang Anda lihat di media online, memang ada dan benar. Tapi ia cuma pemicu. Waspadai pada apa yang bercokol lama dalam emosi dan hati Anda. Pikiran negatif yang berulang.
Kenyataannya, ketika Anda sedang jatuh cinta, atau sedang promosi jabatan atau gaji naik signifikan, apa yang dilakukan si artis, si caleg dan sebagainya, ngga terlalu mengganggu. Kalau hidup Anda bahagia dan sangat menarik, Anda tidak akan punya waktu dan energi menyebarkan kebencian di sana sini. Anda terlalu sibuk bersyukur dan merayakan hal-hal baik yang terjadi pada hidup Anda, dibandingkan membully, dan terus menerus berkomen negatif terhadap hampir semua hal pada postingan berita yang kita baca.
Jadi, hati-hati, kalau huruf punya bau, pastikan hidung Anda sendiri, tidak akan sengsara karenanya.
7 April 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H