Mohon tunggu...
Rima Ansor
Rima Ansor Mohon Tunggu... -

berbagi dalam bait-bait aksara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Ingin Stik Es Krim Itu yang Bersaksi

14 Agustus 2012   04:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:48 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1344915621960104950

Dahulu hidupku tak sehingar-bingar sekarang, dulu aku hanyalah anak seorang nelayan yang juga berjualan ikan. Seorang anak manis (engga bermaksud fitnah, ini bagian dari mensyukuri nikmat yang ada) yang sangat hemat terhadap pengeluaran. Bagiku 500 rupiah sama dengan 15.000 rupiah zaman sekarang. Meski kadang bersisa, tak pernah neko-neko sekedar membeli pencuci mulut. Seperti hari itu, dikala awan sedang menumpahkan resahnya lewat titik sendu yang dingin menusuk-nusuk rusuk.

Tak ada payung. Tak ada pelindung untuk berburu makanan yang semuanya berjejer disamping kiri-kanan gerbang sekolahku yang terlihat sangat berumur. Pohon pisang terdekat jaraknya sekitar 10 meter. Ah! Saat itu perutku yang agak over untuk usia murid kelas 1, betul-betul mendamba ada semangkuk kecil nasi kuning beserta teh panas.

Seorang teman mendekati tubuhku yang meringkuh di tangga depan pintu kelas, mengajakku menembus hujan yang makin lama makin risau di atas sana. Aku menggeleng lemah sambil merapatkan baju seragam tipisku yang sejatinya sudah terasuki dingin seutuhnya. Bukan apa. Kalau nanti tubuhku terserang panas, aku khawatir wajah mama-bapakku berubah suram memikirkan obatku. Aku tak ingin terlihat sakit di depan mereka.

Bukannya menembus tirai hujan, teman perempuanku itu (panggil saja Boncel. Eh jangan! Dikutuk jadi kulkas aku kalau dia tahu namanya disini. Sebut saja namanya Cacha) dia malah menemaniku duduk sambil menikmati segarnya air hujan di tangan kecilnya.

Tak sampai 2 detik seorang teman lain datang dengan baju dalam kelihatan akibat ditembus hujan (tenang! Dia cowok kok! Aman untuk dilihat dalamannya). Dia menghampiri kami yang agaknya kurang kerjaan di mata dia. Menawarkan setangkai es krim yang mungkin warnanya kuning (maklum ingatan saya kaya senter isi batre soak) dengan merk tak terkenal. Yang benar aja nih orang! Masa bekas jilatannya dikasih ke kita. Dikira kita engga waras apa. Tapi jujur aku pengen banget itu es krim (sensor dinginku emang agak sedikit tumpul. Masa dingin-dingin pengen es krim). Manik mataku tak berpindah dari es krim yang dijilat-jilat temanku dengan penuh energi itu.

Pengen kah?” kata teman cewekkuyang kayanya ngerti ama tampang mupengku.

“Harganya seribu. Aku cuma punya lima ratus.”

Dengan sigap ia melambai *layaknya memanggil supir angkot di kejauhan* pada teman cowokku yang menikmati es krim dengan bahagia itu untuk mendekati posisi kami.

“Gi! (panggil saja namaya Nagi). Beliin es krim nah! Nih uangnya,” dia memberikan uang 1.000 rupiah bergambarkan orang nias yang melompati batu segede bocah tujuh tahun (maklum belum jaman uang pattimura bawa parang).

“Mau rasa apa?”

“Yang kaya kamu makan tadi!”

Tiba-tiba tubuh kurus teman lelakiku itu sudah berlari menembus hujan. Dalam waktu tiga menit, ia sudah datang kembali sambil mengibaskan rambut basahnya ala tukang iklan shampoo.

“Lho kok dua?”

“Untuk kamu sama Rima kan?”

“Lho kan aku Cuma kasih kamu uang seribu.”

“Aku pake uangku. Nih uangmu! Mumpung aku lagi baik.”

Dengan agak tak enak hati kugigit dengan lemah lembut si es krim kuning. Cacha yang tahu gelagat tak enakku langsung berujar, “jangan malu-malu! Anggap aja es krim sendiri”. Haduh! Makin engga enak hati aku dengar itu.

Semenjak kejadian -memprihantinkan- itu, kami bertigapun dekat. Kami sering bersaing banyak-banyakan nilai seratus di buku kami. Di akhir caturwulan (seingatku dulu pake sistem caturwulan) kami bertiga mendapat peringkat sepuluh besar. Aku dapat peringkat 1, Cacha 2 dan Nagi dapat peringkat 4. Siapakah peringkat ke 3 panggil saja dia Firka (melesetinnya engga jauh-jauh amat deh nih). Entah bagaimana ceritanya Firka masuk ke dalam lingkaran persahabatan kami bertiga.

Karena masih kelas 1 SD, jadi tidak ada cerita layaknya sinetron dimana siswa yang tidak mendapat peringkat bagus iri dengan kami berempat yang biasanya selalu bersama. Tapi jujur otak kelas 1 ku berpikir kalau diriku keterlaluan. Membedakan teman berdasarkan rangking. Untuk itulah, aku kadang nyamperin teman-teman yang lain. Sekedar berbasa-basi sedikit untuk membangun chemistry baru. Yah! Dari kecil aku cukup terbilang pandai bergaul. Entah mengapa ada dorongan dalam diriku untuk berpikir dewasa seperti ‘kalau aku jadi mereka, aku juga pasti pengen deket sama yang pintar supaya bisa diajari’.

***

itu dulu Masbro! Mbasis! Sekarang? Kalau kami bertemu, seperti tak pernah kenal.

Entah dimana stik es krim itu? Aku ingin dia bercerita mengenai cerita kami dulu dan mendekatkan hati kami kembali. But the show must go on!

Rima Yustina Ansor

♥Rhym

Dimohon untuk para pembaca agar RCL (reading, commenting and like this yo!). penulis siap menerima hujatan-cacian-makian-cercaan pokoknya semua kata sadis yang membantu pelebaran sayap saya selaku author. Penulis tak akan bisa menulis dengan bagus tanpa kritik yang bagus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun