JAKARTA – Kecelakaan Kapal Motor Zahro Express di perairan Kepulauan Seribu, Minggu (1/1), lalu mengejutkan banyak pihak. Betapa tidak, suasana tahun baru yang seharusnya penuh kemeriahan berganti menjadi duka yang mendalam. Alih-alih mengingatkan tentang keselamatan pelayaran di wilayah timur Indonesia, Kementerian Perhubungan malah “kecolongan” dengan terbakarnya kapal motor yang menewaskan 23 orang wisatawan di dekat ibukota.
Kecelakaan dalam pelayaran sesungguhnya bukan hal yang jarang terjadi. Sepanjang 2016 saja, sudah terjadi lebih dari sepuluh kecelakaan kapal di perairan Indonesia. Ada yang berupa kapal terbalik, terbakar, tenggelam karena bocor atau kelebihan muatan, hingga tubrukan baik kapal barang, penumpang, maupun nelayan. Walaupun International Maritime Organization (IMO) – Organisasi Maritim Internasional-telah melakukan segala upaya dan menerbitkan peraturan untuk meminimalisir dampaknya, angka kecelakaan di laut tidak menunjukkan penurunan yang berarti.
Ditinjau dari penyebabnya, kecelakaan kapal dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu lingkungan perairan, faktor kapal, dan faktor manusia itu sendiri. Kecelakaan akibat faktor lingkungan dianalisa dengan mempertimbangkan kepadatan lalu lintas, kedalaman alur, cuaca, waktu pelayaran, arus, angin, jarak pandang, pasang surut, dan kondisi lingkungan perairan lainnya. Sementara kecelakaan akibat faktor kapal dipengaruhi oleh unsur desain seperti usia, jenis, ukuran, kecepatan, kemampuan manouver, serta unsur kelengkapan kapal seperti radar, lampu, alarm, GPS, jangkar, dan sebagainya.
Menurut penelitian, dari tiga hal yang lazim menyebabkan kecelakaan kapal, faktor manusia (human error) menyumbangkan angka tertinggi. Human error dapat meliputi kesalahan berkomunikasi, minimnya keahlian, serta kondisi fisik dan psikis kru kapal. Kemampuan komunikasi biasanya bersinggungan dengan kendala bahasa atau perbedaan persepsi terhadap suatu kasus, sedangkan unsur keahlian lebih merujuk pada pengalaman, tingkat pendidikan, atau pelatihan yang pernah diikuti kru kapal. Untuk aspek fisik dan psikis kru kapal, dipengaruhi oleh jumlah jam kerja, kelelahan, stres, penyakit, atau masalah lainnya.
Peristiwa terbakarnya Kapal Motor Zahro Express di perairan Kepulauan Seribu yang terjadi Minggu (1/1) lalu sedikit banyak mengingatkan kita akan banyaknya kejadian serupa yang justru terjadi akibat kurangnya kontrol terhadap hal-hal sederhana namun penting di sekitar kita. Data manifestasi yang tidak sesuai, ketersediaan pelampung yang terbatas, hingga izin berlayar yang dipertanyakan dari pengelola pelabuhan sejatinya merupakan hal-hal primer yang menjadi syarat mutlak dalam standar pelayaran. Ini Jakarta, Bung! Bukan daerah perbatasan sana yang jauh dari monitor dan kendali pusat.
Sedikit flash back ke belakang, satu dekade yang lalu boleh dikatakan tahun terburuk dalam pengelolaan keselamatan transportasi pelayaran di salah satu pelabuhan tersibuk di Indonesia, yakni Pelabuhan Tanjungperak, Surabaya, Jawa Timur. Dalam rentang 2000-2010, tercatat 260 kali kejadian kecelakaan kapal terjadi di lingkungan perairan Pelabuhan Tanjungperak. Dari total tersebut, 37 persen di antaranya adalah peristiwa tubrukan yang melibatkan kapal-kapal wajib pandu (berukuran lebih dari 500 GT, Red.).
Sebagai pengetahuan, Pelabuhan Tanjungperak merupakan alur wajib pandu yang menurut Keputusan Menteri Perhubungan No.24 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Pemanduan wajib menyertakan pandu di atas kapal saat melewati alur pelayaran. Untuk diketahui, pemanduan di Tanjungperak dilaksanakan selama 24 jam dengan jumlah pandu sebanyak 41 orang Data KNKT, 2009). Kapal yang masuk ke alur pelayaran adalah ± 120 kapal/hari dengan jumlah kapal yang wajib pandu ( ≥ GT 500) berjumlah ± 60 kapal/hari. Alur pelayaran dengan panjang 25 mil laut harus di tempuh paling sedikit 2 – 3 jam pelayaran. Melihat pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa jumlah pandu yang tersedia belum mencukupi untuk memandu semua kapal wajib pandu yang keluar masuk pelabuhan dan kejadian kecelakaan kapal amat berpeluang terjadi.
Kecelakaan kapal tidak jarang juga menimbulkan fakta lain tentang adanya human error.Beberapa kecelakaan yang dibawa kasusnya ke Mahkamah Pelayaran mengulik fakta minimnya jumlah awak kapal yang memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang disyaratkan. Data tubrukan kapal di Tanjungperak menggambarkan bahwa lebih dari 50 persen kapal yang mengalami tubrukan merupakan kapal dengan bobot lebih dari 500 GT yang merupakan kapal wajib pandu dengan sertifikat keahlian Nakhoda minimal Ahli Nautika Tingkat II (ANT II) dan Mualim minimal ANT III. Kenyataanya, masih banyak perusahaan pelayaran yang tidak dapat menyediakan awak kapal yang memenuhi kualifikasi dan kompetensi sebagaimana tercantum dalam ISM (International Safety Management) Code. Hal ini tentu sangat ironis mengingat sudah sekian lama peraturan tidak juga ditegakkan baik oleh operator pelabuhan maupun pihak perusahaan pelayaran.
Kegagalan manusia (human failure)merupakan sesuatu yang normal terjadi atas keberadaan manusia dalam sebuah sistem kerja, misalnya pada kasus kecelakaan kapal. Kegagalan tersebut bisa bersumber pada diri manusia itu sendiri maupun dari unsur lain di luar dirinya, seperti lingkungan atau kondisi fisik kapal yang ditumpangi. Suatu tindakan wajar dari awak kapal dapat menjadi suatu kesalahan jika dilakukan pada lingkungan yang tidak mendukung. Dalam kasus Zahro Express, faktor teknis perawatan kapal, standar keselamatan yang minim, serta manajemen kepelabuhanan yang menyepelekan risiko menjadi pelajaran penting bagi kita semua. Jangan tunggu ada bencana untuk memperbaiki sistem keselamatan transportasi laut di negeri maritim yang katanya terbesar di dunia ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H