I. Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) sebagai salah satu instrumen internasional yang memerangi korupsi menjelaskan bahwa pada intinya penyitaan aset tanpa adanya putusan pidana dibolehkan sebagai alternatif. Dengan kata lain, tanpa adanya penghukuman pidana terhadap terdakwa, maka menurut UNCAC aset tersangka dan/atau terpidana bisa dilakukan penyitaan.Â
Namun demikian, terdapat batasan-batasan yang harus dipatuhi dalam pelaksanaan perampasan aset tanpa pemidanaan atau yang biasa dikenal dengan Non-Conviction Based Asset Recovery (NCB-AF). Financial Action Task Force (FATF) (2012: 6) memberikan batasan-batasan dalam pelaksanaan NCB-AF, yaitu dalam hal: terdapat kendala teknis atau prosedural, ada bukti yang cukup, jika tidak mungkin dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum, jika terdakwa dibebaskan akibat tidak adanya bukti yang cukup pada tindak pidana asal, dan jika terdakwa dan/atau terpidana memiliki kekebalan hukum.Â
Tujuan dari NCB-AF ini adalah untuk mempermudah memerangi korupsi dan mempermudah dilaksanakannya bantuan timbal balik dalam hal perampasan aset (mutual legal assistance/MLA). Hal ini karena konsep NCB-AF dapat mengefisienkan upaya para penegak hukum, dan menjadi solusi terhadap terdakwa dan/atau terpidana yang sudah meninggal, berada di luar yurisdiksi nasional, atau kebal hukum yang berakibat pada sulitnya / tidak bisa dilakukan proses litigasi di peradilan pidana.
Pada draft RUU Perampasan Aset yang dapat diakses publik pada situs resmi PPATK, NCB-AF diatur pada pasal 2 dan pasal 3, yang pada intinya menyatakan bahwa meskipun pelaku tindak pidana tidak dikenakan hukuman, namun NCB-AF dapat diterapkan, dan dengan telah diterapkannya NCB-AF tidak lantas serta merta menghapus tindak pidana yang sudah dilakukan oleh pelaku sehingga masih bisa diterapkan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana.Â
NCB-AF dalam RUU Perampasan Aset pun menerapkan batasan-batasan yang mirip dengan UNCAC dan FATF. Tujuan NCB-AF berdasarkan RUU Perampasan Aset adalah untuk mendukung upaya penegakan hukum yang berkeadilan sebagai jawaban dari persoalan perkembangan tindak pidana untuk mendapatkan keuntungan ekonomis dan berpotensi merusak tatanan perekonomian nasional serta mengurangi kemampuan Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan umum.Â
Meski memiliki tujuan yang baik, terdapat kelemahan dari konsep NCB-AF ini, yaitu adanya perdebatan terkait hak kebendaan (liberty of properties) dan hak asasi manusia (human rights).
NCB-AF ini penting untuk didiskusikan karena merupakan salah satu alasan penghambat RUU Perampasan Aset karena adanya perdebatan antara yang pro dan kontra baik dari masyarakat, akademisi, legislator maupun pemangku kepentingan lainnya. Pihak yang paling terdampak jika NCB-AF ini diterapkan salah satunya adalah penuntut umum sebagai eksekutor, yang dalam hal ini berada di institusi Kejaksaan Agung RI.Â
Konsekuensi yang akan diterima bisa berupa upaya perlawanan hukum, hingga adanya isu abuse of power yang harus mampu diimbangi dengan transparansi dan akuntabilitas. Sebab transparansi dan akuntabilitas sebuah institusi pemerintah menjadi pegangan masyarakat untuk meletakkan kepercayaannya pada suatu sistem pemerintahan.
II. Immanuel Kant: Categorical Moral Reasoning
Dalam konteks RUU Perampasan Aset, penerapan NCB-AF yang dipandang dari perspektif paradigma Kant menuntut agar prosedur dilaksanakan dengan cermat dan memperhatikan hak-hak individu secara menyeluruh, demi mencapai keadilan bagi negara dalam menangani kerugian yang timbul akibat tindak korupsi terhadap tatanan perekonomian nasional.Â
MeskipunNCB-AF dalam RUU tersebut bertujuan untuk kebaikan umum, hal ini tidak berarti bahwa metode yang digunakan dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan martabat manusia, sesuai dengan ajaran Kant. Terlepas dari perbuatan atau dugaan pelanggaran korupsi yang dilakukan oleh individu tersebut, hak dan martabatnya sebagai manusia harus tetap dihormati dan tidak boleh disingkirkan oleh siapapun untuk alasan apapun.Â