Mohon tunggu...
Rima Diresti
Rima Diresti Mohon Tunggu... -

An ordinary girl who loves extra-ordinary things. Learning to be a wise woman. Berpolitik, tapi tidak berpartai politik. Bukan ilmuwan, melainkan seorang pencari ilmu. Sedang berusaha menjadi kaya (kaya jiwa dan kaya pengalaman). Hidup nomaden. Pernah tinggal di Solok, Bukittinggi, Padang, Palembang, Yogyakarta, Hatyai, Penang, dan saat ini mendekam di Kota Hujan yang sudah jarang turun hujannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pro-kontra Pemindahan Ibu Kota

24 Januari 2014   18:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:30 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langkah Gadis terhenti begitu mendengar "Ota lamak" bapak - bapak yang sedang menonton berita banjir melanda ibukota.

"lha, jelas saja Jakarta jadi banjir. Banjir Jakarta itu sebagai peringatan pada pemerintah Ibukota yang sudah berlaku tak adil."

"loh loh … kamu ini… ! Orang kena musibah malah menyalah-nyalahkan. Bagaimana kok kamu bisa berpendapat begitu?"

"Yaa kan Negara ini ibarat rumah tangga, Presiden sebagai pemimpin alias sang Bapak haruslah adil. Sejak zaman Orde lama; si bapak terlalu memikirkan 'ibu'kota.Masa dalam pembagian rezeki pilih - pilih kasih? Investor / perusahaan coba arahkan keluar daerah … ini mah, segalanya ditampung di Jakarta. Bagi - bagi dong, ke daerah. Contohnya: pabrik elektronik. Coba kasih Riau, Kalimantan, atau Sulawesi. Pastinya orang tak akan berlomba - lomba lagi ke Jakarta. Supaya pikiran pemuda - pemuda kita tamat sekolah tidak lagi merantau ke Jakarta."

"iya, iya. Pemerintah tidak adil membangun negara, 4 trilyun hanya untuk bangun sumur"

"Dalam hal pemerataan ini, perlu juga kita lihat negara tetangga kita, Malaysia itu. Di Malaysia tidak ada bedanya ibukota dgn kota - kota yang lain. Semuanya sama dipercantik. Kuala Lumpur cantik, Penang juga cantik, Negri Sembilan juga cantik."

"Hey, tunggu dulu. Kau pikir mudah melaksanakan idemu itu? Apa yang terfikir dituntut pelaksanaannya segera. Kita tilik juga SDM di daerah yang masih minim sekali. Berapa dana lagi yang harus dikeruk dari kantong rakyat untuk mewujudkan visimu itu, coba?"

"Loh. Pemerintah hanya mengatur, yg ngeluarin duit kan investor.

Saya tidak bilang "memindahkan", namun membangun tidak sesungguhnya 'membangun'. Harusnya kalau ada investor yang mau bikin pabrik atau buat mall lagi ya jangan diberi izin, supaya mereka mengarahkan pembangunan ke daerah - daerah lain ..Kamu pikir kenapa pemerintah tetap membangun di Jakarta? Pajaknya dapat "gadang", akhirnya "dihampai" oleh banjir.

"Benar. Kalau begitu memang sebaiknya Ibukota negara ini dipindahkan saja ya?"

"Memindahkan ibukota?"

"ya.. Ke Kalimantan kabarnya"

"ha ha ha. Hanya isu! Isu itu bahkan sudah ada sebelum kamulahir! Memindahkan ibukota malah akan menghabiskan banyak duit … Kenapa malah merepotkan diri sendiri? Sebenarnya ini masalah manajemen saja.Pemerataan pembangunan fisik yang jauh berbeda … "

"Ckckck. Uda ini hebat juga ya, coba Uda yang jadi presiden."

"Iya nih. Tapi sayang, orang - orang kayak kita ya bisanya Cuma Omdo. Omong doang. Kalau disuruh jadi pemerintah pun, entahlah."

"Loh, justru karena kita jadi kita maka ya hanya bisa omdo Kang. Kalau kita yang jadi Pemimpin, kan malu Cuma omong doang tapi ga ada tindak lanjutnya. He he he"

*Para satpam kembali bertugas. Gadis senyum - senyum sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun