Mohon tunggu...
Rima D. dan Anita M.
Rima D. dan Anita M. Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Biologi Universitas Andalas

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Shopping Dahulu Bencana Kemudian

8 Januari 2022   20:15 Diperbarui: 8 Januari 2022   20:29 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Pandemi COVID-19 memiliki pengaruh yang cukup besar pada kebiasaan masyarakat, misalnya online shopping. Dengan adanya pembatasan aktivitas yang diberlakukan kegiatan belanja online makin berkembang pesat. Seiring dengan kemajuan teknologi, aplikasi belanja online memiliki fitur canggih dalam suatu aplikasi. Fitur tersebut yang memudahkan orang untuk berbelanja. Tak hanya di Indonesia, di berbagai negara juga terjadi peningkatan kegiatan online shopping. Banyak startup dan perusahaan e-commerce telah bermunculan untuk memenuhi permintaan konsumen yang terus meningkat.. Namun, dengan adanya peningkatan tersebut, muncul dampak negatif yang dapat membahayakan lingkungan.

Keseimbangan ekosistem merupakan suatu kondisi dimana berlangsungnya interaksi yang seimbang antara semua komponen yang ada di alam. Hal tersebut harus diperhatikan oleh semua pihak, termasuk masyarakat. Penyedia produk yang sangat bergantung pada plastik menyebabkan meningkatnya kebutuhan plastik yang kini menjadi trend. Harga plastik yang terjangkau dan tahan lama, juga sangat mudah ditemukan ataupun dapat dibentuk sedemikian rupa. Tak hanya itu plastik relatif ringan dan memiliki durabilitas (daya tahan) yang tinggi. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak pemilik online shopping menggunakan bubble wrap dan bahan plastik lainnya yang digunakan sebagai kemasan paket.

Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terhadap warga Jabodetabek pada April-Mei 2020, transaksi belanja online meningkat akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Work from Home (WFH). Sebelum PSBB dan WFH, kebanyakan masyarakat hanya berbelanja online sebanya 1-5 kali dalam sebulan. Setelah disetujuinya kebijakan PSBB dan WFH, LIPI melaporkan  transaksi tersebut meningkat menjadi 1 sampai 10 kali transaksi setiap bulan. Hal ini berdampak besar pada peningkatan jumlah sampah plastik, dengan 96% paket dikirim yang dikemas dalam bahan plastik. Kegiatan belanja online membutuhkan banyak bubble wrap untuk pengemasan paket. Lakban dan bungkus plastik juga menjadi jenis kemasan  plastik yang paling umum digunakan. Survei ini juga menemukan bahwa hanya setengah dari konsumen e-commerce yang mengklasifikasikan sampah plastik di rumah mereka. Salah satu hal yang paling menarik perhatian dari kejadian ini adalah efek rebound. Efek rebound adalah kondisi ketika sebuah produk dapat dijual dengan harga yang lebih terjangkau, maka orang-orang akan lebih banyak membeli produk tersebut.

Distribusi harian dari kegiatan online shopping dalam jumlah yang besar juga dapat menyebabkan polusi udara. Jejak karbon merupakan total emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia sehari-hari, seperti karbon dioksida, metana, dinitrogen oksida dan gas fluorokarbon yang dapat menyebabkan pemanasan global. Jejak karbon dikenal juga sebagai carbon footprint yang mana dihasilkan dari pengiriman paket belanja online menggunakan pesawat terbang, mobil, dan sepeda motor. Berdasarkan artikel yang terdapat pada situs Nature.org, jejak karbon rata-rata global per orang adalah sekitar 4 ton per tahun. Di sisi lain, rata-rata per kapita di Indonesia diperkirakan mencapai 2,5 ton per tahun.

Perilaku ini memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan. Sampah plastik terlihat sederhana dan sepele jika dilihat sebagai satu kesatuan, namun faktanya jumlah sampah plastik kian mengkhawatirkan mengingat jumlahnya yang sangat cepat meningkat dari tahun ke tahun. Selain manusia, dampak sampah plastik juga bisa sangat berdampak terhadap flora dan fauna. Jika sampah plastik tidak dikelola dengan benar akan memberikan dampak yang berbahaya bagi lingkungan dalam jangka waktu menengah hingga kedepannya.

Sampah plastik merupakan sampah yang membutuhkan waktu lama untuk dapat terurai sempurna sehingga banyak terdapat tumpukan-tumpukan sampah. Bahkan, ketika sampah plastik sudah terurai tetap memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, yaitu ketika menjadi bagian dari mikroplastik. Hal ini berarti bahwa sampah plastik yang hilang tidak terurai sempurna di dalam tanah, melainkan meninggalkan bentuk baru yang dapat mengendap pada berbagai sumber makanan seperti ikan dan sayuran. Selain itu, saat kantong plastik rusak karena sinar matahari, ada zat beracun yang dilepaskan ke tanah, serta pembakaran kantong plastik dapat melepaskan zat beracun yang menyebabkan polusi udara ke atmosfer.

Selain merusak tanah dan udara, laut juga menjadi target selanjutnya. Penyebaran sampah plastik dapat merusak kadar air dan tentu saja memiliki konsekuensi serius bagi kehidupan biota laut. Pada hewan laut, menjamurnya sampah plastik telah menimbulkan banyak kasus, seperti kasus paus di Wakatobi yang membawa sebanyak 5,9 kg sampah plastik ke dalam perutnya.

Selain itu, ada banyak sampah lainnya seperti kain, plastik, dan botol olahan yang dapat membahayakan kehidupan hewan di laut . Simons (2005) mengemukakan bahwa penggunaan kantong plastik dapat menyebabkan invasi penyait kanker karena akumulasi senyawa karsinogenik (penyebab kanker) yang tidak teratur. Kantong plastik dibuang sembarangan tanpa pandang bulu ke tempat pembuangan sampah di seluruh dunia. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) menempati beberapa ton tanah dan melepaskan gas berbahaya, seperti metana, karbon dioksida, dan lindi yang sangat beracun dari TPA selama tahapan dekomposisi (pembusukan).

Mengingat besarnya dampak penggunaan plastik (bubble wrap) yang berdampak signifikan terhadap lingkungan dan kelangsungan hidup flora dan fauna, penjual dapat berinisiatif memilih jasa pengiriman paket yang tidak memerlukan paket untuk dikemas dengan plastik. Selain itu, ada beberapa alternatif bahan kemasan yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan plastik, seperti kardus bekas dan polymailer yang berbahan dasar singkong sehingga lebih mudah terurai di lingkungan.

Alih-alih bubble wrap, dengan menggunakan shredded paper atau potongan kertas daur ulang lebih ramah lingkungan juga dapat menjaga barang agar tetap aman hingga tiba di tempat tujuan. Pembeli juga dapat ikut berkontribusi dalam mengurangi penggunaan plastik dengan hanya membeli barang yang dibutuhkan, memilah sampah plastik dan kardus dan memberikannya kepada pengepul. Sampah yang telah dipisahkan akan lebih mudah untuk didaur ulang nantinya di tempat pemrosesan sampah.

Penulis : Alifah Saskia Anjany (1910422034) dan Nur Fadhilah (1910421016)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun