Lewat tengah malam yang berembun, aku melangkah ke luar rumah, menutup pintu pelan-pelan dan meninggalkan pelataran. Menyusuri jalanan kampung yang sepi dengan krukupan kain sarung untuk menghalau hawa dingin, sambil merokok, berjalan menuju pos ronda tempat biasa aku singgah sebelum menuju ke pasar. Melintas depan langgar, ku tengok jam dinding di serambi menunjukkan pukul satu dini hari, masih tiga jam lagi sebelum tugas-tugas serabutan harus ku kerjakan sebagai kuli panggul sayuran di pasar induk kecamatan yang terletak di batas desa.
Dari kejauhan, tampak beberapa tampang penghuni tetap pos ronda masih terjaga. Pos itu tak hanya tempat berjaga kamtibmas, tetapi lebih sebagai tongkrongan tetap bagi para bujang pengangguran, kuli pasar sepertiku, dan para nelayan. Saat aku mendekat, tampak jelas suasana tak secair biasanya. Di sudut pos, aku melihat Andi Ciu duduk sambil mengusap pipinya yang memar. Bibirnya sebelah kanan atas sobek dengan bekas darah masih terlihat di sudut mulutnya.
Kawan yang lain, Mat Kipli, duduk tak jauh darinya, sibuk membersihkan tangan dengan kain lap yang basah. Tanpa bertanya, aku melirik mereka berempat satu per satu, suasana tampak begitu tegang. Sesuatu baru saja terjadi. Pecahan batu bata merah tercecer jalan, terlihat juga kilauan beling hijau bekas botol anggur kolesom yang pecah ambyar berserakan dan tampak baru saja disingkirkan ala kadarnya. Ada bercak darah di aspal jalan, ada bendo karatan tergeletak di tempat yang tak seharusnya. Aku yang belum tahu apa-apa mencoba melempar senyum sapa pada mereka dan membuka pembicaraan untuk mencairkan suasana. Barangkali kawan-kawan ini sedang mabuk dan terjadi sedikit kericuhan. Ini hal yang biasa di kampung kami, terutama di pos ronda ini.
"Hemmm, ada apa gerangan? Apakah baru saja ada maling yang tertangkap? Atau ada garangan hidung belang pencuri celana dalam yang baru dihajar di sini?" candaku sambil menepuk bahu Yoyok yang sedang duduk paling dekat denganku.
Yoyok hanya menghela napas, ia cuma nyengir mengartikan memang baru saja terjadi sesuatu. Tak terendus aroma bekas minuman keras olehku, tak ada bau anggur, arak, maupun ciu, tak ada yang sedang mabuk. Cak Kus juga hanya berbaring diam menatap langit-langit pos ronda sambil menghisap batang rokoknya dalam-dalam. Kartu-kartu remi tercecer tak dimainkan, papan dan bidak catur berantakan, kulit kacang berhamburan di mana-mana, ada sisa beberapa gorengan di piring seng, dan beberapa cangkir kopi yang semuanya nyaris tersisa ampasnya saja. Mat Kipli tak menjawab, ia hanya melirik ke arah Andi Ciu dengan tatapan penuh kesal.Â
Andi yang wajahnya sedikit bonyok tiba-tiba tersenyum tipis, membuatku mengerutkan dahi penuh tanya. Jari telunjuk kirinya tampak dibolot dengan sobekan kain lap, penuh merah darah. Dan sejurus kemudian ia mulai angkat bicara dengan nada polosnya.
"Kau tau, Bud? Baru-baru ini aku selesai belajar ilmu kebal," katanya sambil mengarahkan pandangan ke kami satu per satu dengan mata berbinar pamer.
"Guruku bilang, ilmu ini bisa membuatku tahan pukul dan sayatan benda tajam. Bahkan, nantinya aku juga bisa terbang."
Aku terdiam, Mat Kipli yang memang paling temperamental di antara kami terlihat mendengus sebal.
"Ilmu kebal, Di?" tanyaku perlahan, mencoba merunut apa yang dituturkan.