Sekelumit Cerita Pekerja Migas Natuna
Blok Migas D Alpha Natuna Terletak diantara Semenanjung Malaka dan Pulau Kalimantan Mencakup area seluas 4.165 km persegi dengan kedalaman 145m sebelah Utara Vietnam dan barat daya RRC .
Awal mulanya mega proyek Diberikan ke pada Esso & P Natuna Ltd, anak perusahaan ExxonMobil, Januari 1980. Sebelum kontrak diberikan kepada Esso, Agip telah menemukan Struktur AL pada tahun 1973, namun perusahaan kemudian melepaskan PSC.
Pada tahun 1981, Esso Natuna dibor L-2X (gas) dan dilanjutkan pada tahun 1983 dengan (gas) L-3X, L-4X (gas), L-5X (gas) sumur eksplorasi.
Esso Natuna juga tesproduksi yang menunjukkan variasisan gatsedikitdireservoir, yang terdiridari CO2 (sekitar71 persen), metanadanhidro karbon yang lebih berat (28 persen), dannitrogen danhidrogensulfida(H2S) (0,5 persen).
Maret 2005 MoU Eksplorasi dengan Petronas, PTT Pada tanggal 16 Januari 2009, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan bahwa kontrak Exxon Mobil untuk pengembangan blok gas Natuna D-Alpha telah berakhir.
Pada saat itu, Exxon Mobil kepemilikan atas 74 persen diblok tersebut, sedangkan Pertamina memegang 26 persen sisanya.Pertamina mengambil alih blok Natuna D Alpha dan memilih Exxon, Total, Petronas sebagai partner kerja.
Blok Natuna D-Alpha adalah blok Migas dengan kandungan gas terbesar di dunia. Selain diperkirakan menyimpan sekitar 500 juta barel minyak Total potensi gas diperkirakan mencapai 222 triliun kaki kubik .
PT Pertamina (Persero) telah memilih ExxonMobil, Total dan Petronas untuk bersama-sama mengembangkan cadangan gas di Blok Natuna Timur.
Ini menambah daftar perusahaan migas yang terlibat dalam pengelolaan blok migas di offshore Natuna tersebut.
Pengelolaan Blok Natuna Timur (yang dulunya bernama Natuna D Alpha) sebenarnya telah melalui proses panjang.
Kontrak kerja sama migas di blok tersebut selalu berubah-ubah selama beberapa tahun tanpa menghasilkan keuntungan bagi negara.
Pengelolaan blok migas itu bermula dengan kontrak bagi hasil antara Esso E&P Natuna Inc. dengan Pertamina yang ditandatangani tanggal 8 Januari 1980.
Kontrak ini tidak standar sebagaimana halnya kontrak bagi hasil lainnya yang berlaku di Indonesia.
Kontrak ini dibuat setelah ada penemuan cadangan gas dan ditambahkan Exhibit D "Operating Agreement" sehingga dinamakan PSC-JOA, di mana keikutsertaan modal dan hak memperoleh keuntungan (Participating Interest)
masing-masing 50%. Dalam PSC-JOA itu, berlaku ketentuan bahwa data dan biaya yang telah dikeluarkan sebelum PSC ditandatangani dianggap bagian Pertamina.
Sebelum bagian ini disamakan oleh kontraktor atau tiga tahun sejak kontrak dimulai, tergantung mana yang terlebih dahulu terjadi, Pertamina tidak berkewajiban untuk menyediakan dana operasi.
Selanjutnya apabila tidak ada penemuan migas yang komersial, maka Pertamina dibebaskan dari kewajiban membayar bagiannya yang 50%. Di wilayah kerja tersebut, yang sebelumnya digarap oleh AGIP,
juga disepakati biaya masa lalu sebesar US$ 13 juta. Baru dua tahun berjalan, pada tahun 1982, Esso mengklaim telah mengeluarkan biaya US$ 110 juta untuk kegiatan eksplorasi termasuk pemboran 14 sumur deliniasi di blok migas seluas 4165 km2 itu.
Kegiatan itu dilakukan untuk memastikan batas-batas struktur AL yang diduga berisi cadangan gas alam terbesar di Asia Tenggara meskipun mengandung 71,2% CO2.
Dari hasil perhitungan dan simulasi reservoir diperkirakan struktur AL mengandung cadangan gas bersih sebesar 46 TCF (sebagai perbandingan Arun "hanya" 14 TCF; Bontang 11 TCF).
Meskipun sumber gas tergolong "giant gas reserves" namun memisahkan gas CO2 dari kandungan reservoir menjadi gas alam murni mengalami kesulitan.
Pasalnya, dibutuhkan teknologi pemisahan CO2 yang canggih. Biaya pengembangan gas Natuna menjadi sangat mahal karena berada di tengah laut. Total biaya investasi diperkirakan mencapai US$ 40 milyar (kala itu).
Proyek sebesar ini memerlukan waktu perencanaan yang sangat lama termasuk riset untuk menentukan metode dan peralatan yang cocok karena pekerjaan seperti itu belum pernah ada di dunia.
Karena pertimbangan teknis dan ekonomis termasuk pemasaran gas alam, kontrak PSC untuk sementara dihentikan bulan Oktober 1983.
Ini disebut "Stop the Clock", padahal PSC baru berjalan 3 1/2 tahun sedangkan masa eksplorasi biasanya 6 tahun.
Keadaan ini menyebabkan durasi kontrak dan kapan akan berakhir menjadi tidak jelas. ExxonMobil mengaku telah mengeluarkan biaya investasi mencapai US$ 400 juta untuk riset pengembangan teknologi dan mencari pasar.
Menurut perhitungannya, gas Natuna akan ekonomis dikembangkan apabila harga gas US$ 7-8 per MMBTU. Kemudian, Basic Agreement (sebagai amandemen PSC 1980) ditandatangani pada 9 Januari 1995.
Agreement ini pada dasarnya adalah perubahan dan tambahan terhadap PSC existing, utamanya untuk rencana pengembangan proyek gas Natuna.
Alasannya, cadangan gas di struktur AL sangat besar dan kandungan CO2 tinggi, maka diperlukan investasi sangat besar.
Basic Agreement ini banyak mengandung kemudahan dan insentif bagi Esso, Insentif tersebut berupa keringanan pajak dan faktor bagi hasil.
Padahal, setelah masa eksplorasi termasuk perpanjangan karena lapangan gas belum berproduksi secara komersial, seharusnya PSC diterminasi tahun 1990.
Sebagaimana halnya dengan PSC, Basic Agreement ini juga mendapat persetujuan Presiden. Basic Agreement sebenarnya adalah "To Amendment and Supplement of the 1980 PSC", berarti ketentuan lain yang tidak diubah masih berlaku.
Berbeda dengan "PSC Renewed and Extended" yang selama ini berlaku di Indonesia adalah keadaan yang sama sekali baru, sedangkan PSC lama tidak berlaku lagi alias terminasi.
Dalam Basic Agreement banyak ketentuan-ketentuan pokok yang dirubah (misalnya bagi hasil dan pajak) ditambah hal-hal baru yang tidak lazim dalam PSC (seperti First Tranche Share, durasi kontrak, dll).
Tim Proyek Natuna Karena lingkup pekerjaan proyek gas Natuna demikian besar, baik dalam skala biaya maupun teknologi, maka Pemerintah merasa perlu membentuk Tim Pengembangan Proyek Natuna
melalui Keputusan Presiden RI No. 14 Tahun 1995. Dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berdasarkan PSC, belum pernah ada Tim Nasional turut campur dalam operasi migas di lapangan.
Ada 4 tim yang pada waktu itu dibentuk. Tim Penasehat terdiri dari 17 Menteri ditambah Panglima ABRI. Tim Pelaksana terdiri dari unsur-unsur BPPT, Pertamina, Gubernur Riau dan Gubernur Kalimantan Barat.
Tim Kerja dibentuk oleh Ketua Tim Pelaksana terdiri dari 3 sub tim, yaitu Tim Pemasaran Produk Gas, Tim Pembangunan di Ladang Gas dan Tim Pembangunan Prasaran Penunjang.
Yang terakhir adalah Tim Pembangunan Pulau Natuna. Tidak tanggung-tanggung, ketua dan anggota setiap tim diambil dari pejabat-pejabat tinggi negara maupun daerah.
Ketua Tim Pelaksana pada waktu itu adalah BJ Habibie, sedangkan Tim Kerja berjumlah 32 orang pejabat tinggi dari Pertamina dan BPPT.
Almarhum F. Abda'oe mantan Direktur Utama Pertamina pada waktu itu bertindak sebagai Ketua Bidang Pemasaran Produk Gas.
Ketua Bidang Pembangunan di Ladang Gas Natuna adalah mantan Direktur E&P Pertamina G.A.S Nayoan, dengan salah satu anggotanya adalah Kepala BPPKA Pertamina S. Zuhdi Pane.
Tim semula diperkirakan akan memperlancar pelaksanaan mega proyek gas Natuna, namun kenyataannya hanya jalan di tempat.
Sampai yang membentuk tim mantan Presiden RI Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari 2008, proyek ini tidak pernah terwujud.
Salah satu kendalanya adalah karena Esso tidak diikutsertakan dalam Tim, padahal operator di lapangan sesuai kontrak adalah Esso.
Pada 26 juli 1996, ditandatangani Memorandum of Agreement (MoA) untuk mengurangi PI Pertamina dari semula 50% menjadi 24%. Mobil Natuna D-Alpha Inc.
mengambil 26% PI Pertamina tersebut. Sehingga komposisi PI dari kegiatan operasi migas di Blok Natuna D-Alpha masing-masing menjadi Ess 50%, Pertamina 24% dan Mobil 26%.
Melepas sebagian PI Pertamina merupakan keputusan yang strategis walaupun terlambat.
Namun demikian, penyertaan modal sebesar 24% masih dirasakan terlalu berat karena belum ada kepastian kapan struktur AL akan dikembangkan, apalagi harga gas menjadi sangat mahal sehingga sulit memperoleh pembeli.
Dalam pengalihan ini, Pertamina mendapat dana sebesar US$ 17,3 juta dari Mobil sebagai penggantian biaya yang dikeluarkan Pertamina sebelumnya.
Selanjutnya, pada tahun yang sama terjadi merger antara Exxon Corporation Internasional dan Mobil Oil Corporation menjadi ExxonMobil.
Dengan demikian, PI masing-masing perusahaan sejak tahun 1996 adalah Pertamina 24% dan ExxonMobil (sebagai Operator) 76%.
Apabila ditinjau dari kurun waktu sejak PSC ditandatangani, setidaknya kontrak telah 2x diterminasi secara otomatis sesuai dengan ketentuan PSC.
Itulah sebabnya kontrak secara otomatis berakhir pada 9 Januari tahun 2005, karena hingga 20 tahun tak kunjung berproduksi ataupun kontrak diperpanjang dengan "terms and conditions" yang baru.
Namun ExxonMobil tetap bersikukuh berdasarkan Basic Agreement tahun 1995, kontrak belum terminasi.
Padahal ada klausul yang berbunyi "Studi pasar gas untuk LNG 10 tahun, apabila tidak ditemukan pasar maka Basic Agreement batal dan wilayah kerja dikembalikan kepada pemerintah".
Namun, ExxonMobil menolak pemutusan kontrak dengan alasan telah mengajukan surat komitmen untuk pengembangan struktur AL, yang diajukan pada 17 Desember 2004.
Dengan surat tersebut, ExxonMobil menganggap telah menyatakan kesanggupan untuk melanjutkan pengembangan.
Namun, BPMIGAS menilai surat permohonan dan surat komitmen saja tidak cukup untuk menghindari berakhirnya kontrak. ExxonMobil tetap dipersyaratkan untuk membuat dan mengajukan plan of development (POD).
Dengan surat No. 514/BP00000/2006-SO tanggal 8 Desember 2006, BPMIGAS mengusulkan pengakhiran kontrak dan disetujui Menteri ESDM.
Namun lagi-lagi ExxonMobil mendesak negosiasi ulang. Pemerintahpun memberi opsi bagi hasil 60:40.
Setelah berjalan satu tahun, tangal 4 February 2008, negosiasi antara pemerintah dengan ExxonMobil menemui jalan buntu (dead lock).
Selanjutnya, Pemerintah secara resmi menunjuk Pertamina dalam pengembangan Blok Natuna D Alpha (kini East Natuna).
Penugasan itu tertuang dalam Surat Menteri ESDM No 3588/11/MEM/2008 tertanggal 2 Juni 2008 tentang Status Gas Natuna D Alpha.
Terkait pengembangan itu, pemerintah membebaskan Pertamina memilih lebih dari satu perusahaan migas untuk menjadi mitra kerjanya. Namun ExxonMobil belum bisa menerima.
Perusahaan ini masih berupaya untuk mengelola blok migas tersebut. Namun tanggal 14 Januari 2009, BPMIGAS menegaskan kembali bahwa kontrak telah berakhir.
Keputusan itu dibuat setelah PoD yang diajukan oleh Esso Natuna Ltd ditolak oleh BPMIGAS. Semua permohonan persetujuan terkait pelaksanaan KKS yang lama, seperti work program & budget (WP&B) tidak diproses dan dikembalikan.
(Dari berbagai sumber)
Sekelumit Cerita Singkat Pekerja Migas natuna
Sekelumit Kisah terungkap, para pekerja migas di kawasan laut cina selatan tepatnya seperti yang sampaikan Ridwan CH. (54) Mantan karyawan pengeboran dikampungnya .
kini Usia senja Bapak 5 Orang Anak dan Dua Cucu tersebut berdomisili di kawasan Batu Hitam, Ranai, ibukota Kabupaten Natuna provinsi Kepri.
Ridwan adalah seorang putra daerah yang menjadi saksi hidup pengeboran Minyak Bumi dan Gas (Migas) di Blok D-Alpha, saat masih eksplorasi dan kini Blok Migas mejadi rebutan Dunia maklum kandungan gas dan minyak sanggat besar .
Diceritak oleh Ridwan, pengeboran Migas tersebut dimulai sekitar tahun Era 1970 an. Pengeboran diprakarsai perusahaan Agensa General Italiano Petrolium (Agip) Perusahan Asal Italia.
Di perusahaan tempatnya bekerja sedikitnya ada sekitar 200 orang tenaga lokal di berbagai bidang yang ikut berperan dalam masa-masa awal eksplorasi.
Bagi Ridwan pada masa dirinya terlibat dalam pengeboran Minyak dan gas pada tahun 1977 hingga tahun 1983 kata nya, menjadi karyawan swasta awalnya bukan pilihan utama.
Ia sebelumnya ingin menjadi Pegawai Negeri (PNS) atau tentara (TNI). Dalam pemikirannya, bekerja sebagai PNS atau TNI bisa hidup teratur dan akan tenang dihari tua karena ada jaminan pensiun.
Namun demikian, garis tangan berkehendak lain. Selesai menyelesaikan pendidikan di STM, ia kemudian mendaftar menjadi pekerja tambang Migas.
“Pekerjaan sangat membanggakan karena saya bisa ikut terlibat dalam sebuah proyek paling besar di Indonesia masa itu. Karena pekerjaan saya, orang umumnya memanggil dengan istilah ‘material Men’ atau terkadang ‘Store Man’,” ungkapnya kepada wartawan Di Ranai Natuna.
Sebagai ‘material Men Driling’ Ridwan mengaku ditempatkan di atas kapal Wedeco. Kapal ini disewa Essso, anak perusahaan Exxon Mobil, yang memegang kontrak awal pengelolaan blok D-Alpha.
Sebenarnya, selain Wedeco, masih banyak kapal lain yang terlibat dalam aksi pengeboran Migas lepas pantai tersebut. Sebut saja Wedeco IV, Wedeco VII dan Discover III.
Kapal-kapal ini mendapat pengawasan pada pengeboran minyak Dan gas tersebut langsung dikawal oleh kapal induk Amerika,
Midway, yang bertugas menjaga perairan laut Cina Selatan di perbatasan Vietnam dan Cina dari awal pengeboran di mulai hingga dipastikan mendapatkan kandungan minyak serta gas.tutur Ridwan.
Essso sebagai anak perusahaan Exoon Mobil beroperasi sejak tahun 1977 sampai 1979. Perusahaan ini telah mengebor hingga kedalaman 10 Ribu kaki di bawah permukaan laut dan berhasil mendapatkan cadangan Gas.
Hal yang sama juga dikatakan Wan dewa (56) kini menetap Di natuna seorang mantan pekerja Migas pada perusahaan Otis perusahaan yang bergerak dalam bidang penelitian Kandungan Minyak dan gas bumi.
Dirinya kala itu ikut terlibat langsung dengan pekerjaan sumur Minyak dan gas Bumi pada masa awal dimulainya Eksplorasi di laut Cina Selatan.
Sekelumit diceritaknya sembari bernolstalgia masa mengenak pekerjaanya, Di dunia perminyakan umumnya dikenal tiga macam jenis sumur Pertama, sumur eksplorasi (sering disebut juga wildcat) yaitu sumur yang dibor untuk menentukan apakah terdapat minyak atau gas di suatu tempat yang sama sekali baru.
Jika sumur eksplorasi menemukan minyak atau gas, maka beberapa sumur konfirmasi (confirmation well) akan dibor di beberapa tempat yang berbeda di sekitarnya untuk memastikan apakah kandungan hidrokarbonnya cukup untuk dikembangkan.
Ketiga, sumur pengembangan (development well) adalah sumur yang dibor di suatu lapangan minyak yang telah eksis.
Tujuannya untuk mengambil hidrokarbon semaksimal mungkin dari lapangan tersebut.Pungkasnya.
Menjadi pekerja Migas lepas pantai yang bekerja di atas kapal, dengan posisi sekitar 80 KM dari lepas pantai Natuna sebelah utara pulau laut yang sanggat berdekatan dengan Vietnam, tentu banyak suka duka. Demikian juga bagi Ridwan dan Wan Dewa. Selama bekerja ia harus menetap di sebuah platform berukuran 2 kali luas lapangan sepak bola.
Upah yang diterima tergolong tinggi dan dibayar dengan mata uang dollar Amerika. Di tempat kerja, ia bisa makan enak di kafetaria perusahaan, menikmati hiburan di bioskop mini, dan bermain biliar di tempat yang disediakan sebagai sarana pembuang jenuh bagi pekerja Migas.
Sebaliknya, sebagai pekerja lapangan mereka harus bergelut dengan tiang-tiang besi panas yang akan dipanjangkan ke dalam laut untuk aktifitas pengeboran.
Belum lagi menghadapi sengatan teriknya matahari dan uap air laut yang membakar kulit. Dan satu hal yang paling berat adalah jauh dari keluarga karena tinggal menetap di atas kapal yang terapung-apung di atas laut.
“Masa kerja kita 12 jam per hari. Setiap dua Minggu sekali baru bisa pulang ke darat dengan mengunakan Hely Super Puma yang dicarter perusahan dari Pelita Air Service,” ujarnya.
Satu hal yang menjadi kekaguman Ridwan serta Wan Dewa terhadap perusahaan asing tempatnya bekerja adalah mengenai keselamatan kerja yang begitu diutamakan.
Selain itu, juga soal perkembangan teknologi yang terus diikuti perkembangan oleh perusahaan sehingga kemungkinan kecil terjadi kecelakaan dengan resiko yang diterima dilapangan apabila tidak disiplin .Pungkasnya.
"Kecamatan Subi Kab Natuna sangat menarik sentral Home Bast Stategis terdepan Migas. "
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H