[caption id="attachment_327541" align="aligncenter" width="562" caption="Headline kotaksuara.kompasiana.com | Ilustrasi/ Admin (Kompas.com)"][/caption]
Nampaknya, musuh klasik dalam sebuah pemilihan umum (pemilu) yaitu politik uang (money politic) sedang melakukan transformasi. Perubahan bentuk guna mengelabui para pengawas terkait dan peserta pemilu itu sendiri. Akibat perubahannya, ada yang paham dan memilih diam ketika menerimanya. Dan, adapula yang berpikir bahwa itu bukanlah politik uang.
Kasus voucher Calon Legislatif (Caleg) DPR RI di Bogor, misalnya. Sebuah kenyataan menarik untuk diamati. Modus terbaru itu, terkait politik uang di pemilu 2014 adalah pemberian voucher pulsa, pemberian paket sembako sampai voucher asuransi (Merdeka.com, 2/3/2014).
Canggihnya perubahan bentuk politik uang itu sendiri, mengisyarakatnya agar kita harus lebih berhati-hati dalam menerima berbagai bentuk pemberian dari kandidat calon peserta pemilu. Semula money politic itu hanya disaat ketika menerima uang secara langsung/tidak langsung dari si pemberi yang memiliki kepentingan politik atas kita. Kini telah digantikan dengan sesuatu yang sifatnya lebih praktis dan terkesan bukan politik uang. Sebuah ancaman terhadap masa depan demokrasi kita.
Kejahatan Politik Uang
Dalam Undang-Undang No 12/2002 tentang pemilu khususnya Pasal 110 telah menyebutkan, 'bahwa suatu tindakan yang dalam hal ini politik uang mencakup dua aspek'. Pertama, dari sisi pelaku; pelakunya adalah calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Kedua, dari sisi bentuknya; berupa menjanjikan dan atau memberikan uang dan atau materi lainnya kepada pemilih.
Berdasarkan penjabaran UU tersebut, politik uang bisa dikategorikan kepada kejahatan korupsi. Karena ia memberikan suap berupa uang kepada pihak lain untuk mencapai tujuan politik. Dalam kaitan ini pemberi dan penerima dapat dikategorikan sama-sama melakukan pelanggaran, sehingga kedua belah pihak dapat dikenakan sanksi tindak pidana korupsi sesuai dengan UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi (Indonesia Corruption Watch, diakses 3/3/2014).
Politik uang dipandang sebagai bentuk tindak kejahatan. Dalam konteks pemilu, politik uang ibarat virus yang akan merusak sendi-sendi pesta demokrasi hingga memproduksi produk –hasil pemilu—yang cacat/tidak ideal. Hampir menjadi keniscayaan, dalam setiap pesta demokrasi (pemilu) selalu saja dibayangi oleh politik uang. Meskipun banyak anjuran untuk tolak politik uang, rasanya seperti “angin lalu” bagi para peserta pemilu. Politik uang tetap tumbuh subur di negeri ini. Tumbuh menjamur khususnya pada musim pemilu.
Banyaknya para petualang politik yang ingin merebut kursi kekuasaan membuat orang terkadang “gelap mata”. Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan. Bahkan dengan cara membelinya dengan sejumlah rupiah, dari mereka-mereka yang pesimis dengan masa depannya. Parahnya, politik uang tumbuh subur di negeri yang penduduk rakyatnya yang miskin dan berpendidikan rendah. Kenyataan pahit bagi negeri yang masih bergumul dengan dua permasalahan pokok ini.
Di tambah lagi, sistem hukum yang lembek membuat praktik politik uang semakin tumbuh menggurita dan mencengkram para korbannya. Indonesia yang sering meneriakkan anti politik uang, kenyataannya belum pernah melakukan penindakan yang serius terhadap peserta pemilu. Kalaupun ada yang kedapatan melakukan, hanya berhenti pada tenaga suruhan yang bertugas dilapangan yang membagikan uang. Sangat jarang ditindaklanjuti sampai pada siapa yang menyuruhnya (the man behind the gun), khususnya peserta pemilu atau partai politik terkait. Kebanyakan hanya sanksi administratif saja tanpa ada efek jera. Dan jarang berujung pada pemecatan kepesertaan pemilu.
Negara telah mengamanatkan kepada beberapa lembaga untuk menjamin berlangsungnya pemilu yang bersih dan berintegritas. Contohnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan pengawan pemilu (Bawaslu), Kepolisian dan beberapa pihak terkait. Namun memang untuk masalah politik uang ini, sepertinya masih jauh dari yang diharapkan. Sepertinya tidak ada kesepahaman bersama dan keseriusan untuk mencari strategi yang terbukti ampuh untuk meminimalisir politik uang. Akibatnya, politik uang hanya menjadi seruan yang kurang berarti di masyarakat tanpa kerjasama lembaga terkait.
Disamping partai politik yang menjalankan fungsinya sebagai pendidik politik di masyarakat. Bawaslu beserta para perwakilannya yang ada di daerah sampai yang di kecamatan dan kelurahan harus bertanggungjawab terhadap budaya politik yang ada di masyarakat. Mereka-mereka yang diberi kewenangan penuh oleh undang-undang dan digaji negera untuk mengawasi setiap gerak-gerik para kontestan pemilu harus bekerja secara serius dan ekstra hati-hati. Setiap pelanggaran yang terjadi, sarat kepentingan si calon dan partai politik pengusung. Jika pengawas pemilu bisa membuktikan dan menjerat para pelaku politik uang dengan bukti-bukti yang ada, sungguh akan memberikan efek jera pada peserta pemilu lainnya yang ingin melakukan kesalahan yang sama.
Lawan Politik Uang
Semangat kolektif masyarakat untuk memerangi politik uang harus diimbangi oleh lembaga Negara. Negara tidak boleh melakukan pembiaran terhadap kejahatan yang satu ini. Ketidaktegasan pemerintah dalam hal ini penyelenggara pesta demokrasi kita hanya akan mempersubur praktik politik uang di masyarakat.
Masyarakat telah jenuh oleh praktik-praktik kejahatan dalam pemilu. Rakyat tidak mau menggadaikan suara perubahan ditangannya untuk kepentingan sesaat. Bayangkan, fasilitas (uang) yang didapat dari politik uang mungkin hanya kita nikmati lima hari saja, dibanding lima tahun yang akan kita tanggung sebagai korban kebijakan politik yang menyengsarakan. Yang terbayang adalah kemelaratan dan ketidakberdayaan kita akibat ulah kita yang ikut berpartisipasi dalam menyuburkan praktik korupsi di negeri ini. Rumusnya sederhana, para pelaku (pemberi) politik uang, pasti akan berpikir untuk mengembalikan uangnya dengan cara-cara yang tidak halal (korupsi).
Mengantisipasi politik uang beserta turunannya—modus terbaru—menjadi hal penting, apabila kita ingin perubahan dalam pesta demokrasi kita. Demokrasi tidak boleh dibajak oleh politik uang, yang sudah pasti akan menyengsarakan rakyat. Apa yang kita tabur dalam sistem demokrasi kita, itu yang akan kita tuai. Untuk itu, peran serta tiap komponen masyarakat, baik itu pemerintah khususnya melalui lembaganya KPU, Bawaslu dan kepolisian beserta masyarakat harus saling mengisi dalam membangun demokrasi yang bersih, berintegritas dan berwibawa. Kita jangan bosan berkata, lawan politik uang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H