Panasnya keadaan sosial, politik dan ekonomi negeri tidak bisa dipungkiri salah satunya sumbunya berasal dari media sosial. Realitas dunia di media sosial lebih panas dari kondisi ‘real’ dipermukaan. Bahkan, presiden kita Bapak Joko Widodo sampai perlu menyatakan keprihatinannya dalam mengamati perilaku warga negara kita dalam bermedia sosial.
Banyak orang saling mengumpat, menuduh sesat, memprovokasi, menyebarkan isu sentimen SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) dan persekongkonglan kejahatan (konspirasi) di media sosial. Mengabaikan etika dalam berinternet (netiket). Mulai dari dugaan penistaan agama, makar, isu penarikan uang dalam jumlah besar secara masif (rush money), teror di rumah ibadah, isu mengulang tragedi 1998 membuat media sosial kita menjadi ramai dan berisik.
Konsekuensi hukum sebenarnya juga telah disiapkan atas persoalan ini. Sesuai dengan surat edaran Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) agar polisi lebih peka terhadap potensi konflik sosial. Dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang juga baru saja direvisi untuk mengoptimalkan aturan tersebut.
Kekuatiran ini sebenarnya bermula, saat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama—yang akrab disapa Ahok--dituduh telah melakukan penistaan agama. Persoalan ini menemukan momentumnya. Meskipun sang  gubernur—yang juga salah satu calon yang akan berlaga dalam Pilkada Jakarta—telah menyampaikan permintaan maaf, tetapi rasanya nasi telah menjadi bubur. Momentum politik dari pemilihan kepala daerah ibukota negara yang menimpa sang gubernur, membuat masalah ini menjadi silang sengkarut.
Tidak bisa dipungkiri, isu penistaan agama ini telah menguras energi bangsa ini. Demokrasi kita kembali diuji. Persatuan nasional dianggap terancam. Pro dan kontra menanggapi aksi umat muslim di ibukota menunjukkan ekskalasi yang cukup berarti. Bahkan, pemerintah kita menganggap ada yang dengan sengaja memanfaatkan dan menunggangi aksi yang berbuntut dari kasus dugaan penistaan agama, yang diwaspadai berujung makar terhadap pemimpin kita terpilih secara konstitusional.
Keseluruhan rentetan peristiwa ini, tidak terlepas dari pengaruh dan perilaku masyarakat kita dalam bermedia sosial. Saling berkomentar dan berbagi informasi (status) rupanya membuat permasalahan diatas malah semakin runyam. Ada yang tidak sengaja berangkat dari ketidakpahaman dalam menyaring informasi sehingga memperkeruh masalah, dan ditengarai ada juga pihak yang sengaja ingin memanas-manasi situasi yang terjadi. Ibarat memancing di air yang keruh. Prahara persatuan di media sosial kita.
Realitas Dunia Baru
Berdasarkan data Global Web Index Survei turut menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang warganya tergila-gila dengan media sosial. Persentase aktivitas jejaring sosial Indonesia mencapai 79,72 persen, tertinggi di Asia, mengalahkan Filipina (78 persen), Malaysia (72 persen), China (67 persen). Bahkan negara Asia dengan teknologi Internet maju pemanfaatan media sosialnya rendah, contohnya Korea Selatan (49 persen) atau Jepang (30 persen).
Terlebih lagi, lembaga survei Brand24 bahkan menahbiskan Jakarta sebagai ibu kota media sosial di dunia. Di pelbagai jejaring sosial, jumlah aktivitas dari Jakarta per hari, rata-rata lebih besar dibandingkan negara lain.
Kesuksesan membangun demokrasi melalui Teknologi Informasi (TI, Technology Information) hari ini semakin menjadi-jadi. Perkembangan ICT (Information, Communication and Technology) adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dibendung. Sudah menjadi kehendak jaman, bahwa perubahan adalah kekal.
Buktinya beberapa kasus yang pernah menggegerkan kita selama ini tidak terlepas dari sentuhan internet yaitu Kasus Koin Prita, Cicak dan Buaya, beberapa revolusi dibelahan dunia baru-baru ini yang menggunakan medsos sebagai ‘senjata’. Menariknya, demokrasi bertransformasi kedalam dunia IT. Siapa yang tidak peka terhadap perkembangan jaman ini, akan semakin tertinggalkan partisipasinya dalam dunia demokrasi.