Mohon tunggu...
Rikson Pandapotan Tampubolon XVI
Rikson Pandapotan Tampubolon XVI Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

sedang belajar ...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ancaman Laten Krisis Listrik Sumut

14 Agustus 2014   06:17 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:36 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenyataan pahit harus dihadapi masyarakat Sumatera Utara. Bagaimana tidak, krisis listrik beberapa tahun belakangan ini hampir menjadi “sahabat” yang berkepanjangan dan tak jelas ujungnya. Kondisi ini diperparah, pasokan bahan bakar minyak (solar) pembangkit listrik di Sumut yang terkendala pemenuhannya akibat kebijakan pemerintah pusat mengurangi pasokan solar bersubsidi.

Krisis listrik di Sumatera Utara (Sumut) yang mengakibatkan pemadaman bergilir ke pelanggan dipastikan akan berlangsung hingga November mendatang. Kondisi ini selain disebabkan krisis peremajaan mesin pembangkit, juga diperparah dikuranginya pasokan solar oleh PT Pertamina ke PT PLN akibat kesepakatan harga BBM antara kedua belah pihak belum mencapai titik temu. (Analisa, 8/8/2014). Demikian salah satu kesimpulan rapat yang diinisasi oleh Gubernur Sumut dengan pihak PLN dan Pertamina.

Kondisi kelistrikan Sumut yang mencapai 1.785 megawatt (MW) dengan beban puncak sebesar 1.700 MW. Sedangkan, kemampuan pembangkitan listrik PT PLN Sumut hanya sebesar 1.400 MW, sehingga terjadi defisit sebesar 385 MW. Defisit inilah yang menjadi beban PLN dan membuat kebijakan pemadaman bergilir. Sementara, rencana pembangunan pembangkit yang baru belum banyak membuahkan hasil.

Usaha kepala daerah yang mempertemukan dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu PT PLN dan PT Pertamina, sudah selayaknya diapresiasi. Menyusul adanya rencana Pertamina mengurangi pasokan solar untuk PLN sebesar 50 persen tentunya akan menambah beban masalah kelistrikan di Sumut. Seperti kita ketahui, ketersediaan pasokan solar menyumbang salah satu masalah dari krisis listrik yang ada. Namun, kenyataannya belum ada kebijakan jangka panjang yang “menggembirakan” akan penyelesaian masalah tersebut.

Kepala daerah pun dianggap tak mampu menyelesaikan persoalan krisis listrik di Sumut. Kebijakan yang ada diambil ibarat reaksi pemadaman kebakaran. Janji mengakhiri krisis listrik di Sumut, tinggal janji. Ancaman krisis energi di Sumut hampir laten. Bila tidak ada upaya yang serius untuk memaksimalkan potensi sumber daya yang ada—hanya mengandalkan sumber energi yang konvensional, maka dipastikan Sumut akan semakin susah melepaskan dirinya dari krisis listrik yang berkonsekuensi ekonomi berbiaya tinggi (high cost economy). Ancaman laten dari krisis listrik di Sumut.

Usaha menyelesaikan krisis listrik sepertinya menjadi beban tersendiri bagi pembangunan. Akibatnya, pembangunan memerlukan biaya berlipat-lipat akibat ketersediaanya energi yang sukar diprediksi. Pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)--yang menjadi prioritas pembangunan dunia usaha--mendapat pukulan telak akibat krisis listrik. Kemampuan berkompetisi dalam iklim dunia usaha menjadi semakin sulit--yang mengisyaratkan, selain harus efektif juga efisien alias berbiaya murah. Akhirnya, usaha mendorong berkembangnya UMKM menjadi terhalang dan banyak yang berguguran, akibat tidak mampu menyiasati biaya produksi yang sedemikian tinggi, yang mana penyumbang terbesarnya akibat krisis energi.

Uniknya aksi pemadaman listrik yang terkadang minim sosialisasi dan sukar diprediksi telah menjadi bagian dari kegelisahan masyarakat. Pengaduan, umpatan, nada kesal, emosi bahkan petisi atas performa kinerja buruk perusahaan listrik Negara (PLN) seperti tak berarti apa-apa. Pihak PLN seakan tak mampu berbuat apa-apa. Alibi yang selalu mengatakan PLN kekurangan daya atau pasokan listrik, telah membuktikan PLN gagal dalam memproyeksikan kebutuhan listrik masyarakat dan wujud ketidak-profesionalan.

Jalan Keluar

Sudah saatnya pemerintah daerah mengambil kebijakan yang berorientasi jangka panjang, komprehensif, holistik dan tepat guna (sembari menyelesaikan krisis listrik hari ini). Berpikiran soal ketersediaan energi merupakan tanggung jawab pemerintah pusat melalui BUMN-nya, hanya akan menambah panjang beban persoalan. Pemerintah daerah tidak boleh hanya berpangku tangan dan harus proaktif dalam menyelesaikan persoalan menahun ini.

Sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah harus terus dibina. Permasalahan yang ada selama ini adalah bukti kebijakan pusat dan daerah yang jalan sendiri-sendiri. Contohnya, usaha membangun pembangkit listrik yang baru, terkendala lambatnya respon pemerintah daerah, misalnya saja pembebasan lahan. Belum lagi, masalah inter-koneksi pasokan pembangkit listrik antar daerah juga belum bisa dirampungkan oleh pihak PLN.

Minimnya komunikasi dengan pihak swasta--yang bisa membantu penyelesaian krisis listrik di Sumut, juga telah membuat berkurangnya perhatian untuk supply listrik, membantu kekurangan pasokan listrik. Contohnya, PT Inalum yang baru saja diambil alih menjadi BUMN sepenuhnya telah mengurangi pasokan listriknya. Tidak ada alasan yang pasti yang bisa dipertanggung-jawabkan, kemungkinan akibatnya lemahnya kordinasi dan peran serta kepala daerah dalam memfasilitasi BUMN tersebut. Perombakan yang terjadi dalam lini manajemen organisasi dalam BUMN tersebut telah membuat mis-komunikasi dengan pemerintah setempat.

Kebutuhan akan listrik bisa dipastikan akan meningkat setiap bulan bahkan tahunnya. Konsekuensi daerah yang dalam tahap pengembangannya, mengisyarakatkan kebutuhan listrik yang setiap saat meningkat. Perlu ada kajian yang serius memandang masalah ketersediaan listrik di Sumut. Semua pihak terkait (stakeholder) yang ada harus diajak duduk bersama dan “turun tangan” untuk menyelesaikan masalah yang berkepanjangan ini. Misalnya saja, para praktisi, akademisi, bahkan pihak swasta yang bisa membantu penyelesaianmasalah tersebut.

Pengembangan pembangkit listrik tenaga alternatif harus tetap digiatkan. Kepastian minimnya dan mahalnya pembangkit listrik tenaga fosil telah menjadi keniscayaan. Pembangkit listrik tenaga air, tenaga panas bumi, tenaga surya, bio-energy dan lain-lain, harus menjadi perhatian serius pemerintah. Selain tetap menghimbau kepada masyarakat untuk berhemat menggunakan pemakaian listrik.

Daerah-daerah, bahkan desa-desa harus di edukasi untuk memberdayakan potensi di daerah memenuhi kebutuhan energinya. Seperti, proyek pembangkit listrik swadaya di Desa Cinta Mekar, Sagalaherang, Subang, Jawa Barat. Energi listrik itu diperoleh dengan cara membendung kedua sungai Ciasem dan Sungai Tangkil di saluran pembawa dan langsung masuk ke bak pengendap atau bak penyaring. Air kemudian dialirkan melalui pipa dan masuk ke dalam turbin untuk menggerakkan generator. Setelah generator berputar, secara otomatis panel kontrol akan mengubahnya menjadi energi listrik. Dari pembangkit listrik ini, desa tersebut memperoleh energi listrik 120 kilowatt yang memenuhi kebutuhan listrik sekitar 400 kepala keluarga. (Liputan 6, 17/11/2009)

Semua potensi daerah harus dimaksimalkan agar Sumut dapat keluar dari dari krisis listrik yang berkepanjangan. Tidak memungkinkan lagi, menyelesaikan permasalahan ini dengan pendekatan biasa (business as usual). Kepala daerah harus proaktif (political will) dan bila perlu menjemput bola. Mengajak pihak-pihak terkait duduk bersama membahas solusi bersama agar ancaman laten listrik di Sumut bisa segera diatasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun