Besarnya persentase golongan pemilih muda hampir 40 persen pada pemilihan umum tahun 2014 ini membuat potensi pemuda menjadi incaran bagi para pendulang suara. Jumlah yang cukup potensial menentukan keputusan di pesta demokrasi tahun 2014. Hal ini juga ditandai dengan hasil sensus penduduk Indonesia yang mengatakan bangkitnya generasi usia produktif termasuk pemuda didalamnya. Dekade kedepan adalah era gelombang generasi emas (golden age) yang menjadi modal mimpi Indonesia menjadi Negara maju di tahun 2030.
Rasanya kurang lengkap ketika bicara tentang perubahan tanpa membicarakan peran serta pemuda. Sejarah perjuangan bangsa dan Negara Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pemuda. Mulai dari kebangkitan nasional berdirinya organisasi modern pertama di bumi pertiwi yaitu Budi Utomo (1908), sumpah pemuda (1928), revolusi kemerdekaan (1945), runtuhnya rejim orde lama (1966) dan sampai berakhirnya rejim otoriterianisme yang dikenal sebagai gerakan reformasi yang ditandai jatuhnya Presiden Soeharto (1998).
Pemuda sesuai dengan defenisi Undang-Undang No. 40 tahun 2009 tentang pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Jadi, tolak ukurnya jelas. Dalam tulisan ini kita tidak membicarakan “mereka-mereka” yang sudah berumur tua, tetapi masih sering mengklaim sebagai pemuda.
Dalam waktu dekat kita akan menjumpai momentum perubahan yang dihelat setiap lima tahunnya yaitu pemilihan umum (pemilu), baik itu pemilu legislatif (DPR, DPRD dan DPD) maupun pemilihan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia di tahun 2014 ini. Arus gagasan yang berkenaan dengan regenerasi politik harus tetap dikawal untuk menjamin keberlangsungan demokrasi serta cita-cita proklamasi.
Pemilu 2014 membuat tahun ini menjadi tahun politik yang diprediksi para pengamat menjadi tahun politik yang terpanas. Tak bisa dipungkiri, manuver partai-partai politik dan pemangku kepentingan (stakeholder) pemilu saling beradu untuk mewujudkan pesta demokrasi yang unggul dan bermartabat serta mampu mengedukasi segenap elemen dalam bangsa ini. Baik dan buruk strategi pemenangan berbaur menjadi satu. Hal ini merupakan suatu keniscayaan dalam alam demokrasi. Dan ujungnya keyakinan akan kebaikan dan kebenaranlah yang akan menang.
Sebuah survey dari Indobarometer menyajikan data tentang partisipasi politik pemuda. Jumlah yang cukup signifikan untuk mempengaruhi keputusan-hasil pemilu yaitu berkisar 64 juta orang. Setara dengan 34 persen suara dari jumlah pemilih. Hasil yang cukup mengejutkan. Ternyata tingkat partisipasi politik dan pemahaman demokrasi anak muda cukup tinggi. Ada sebanyak 86,9 responden muda yang siap mengikuti pemilu. Hanya ada 3,0 persen pemuda yang menyatakan ragu mengikuti pemilu dan 0,5 persen yang memastikan akan menjadi golput.
Unsur pemuda ini merupakan corak penting dalam menilai perkembangan demokrasi kita. Apakah masih hanya berjalan kerangka prosedural atau sedang memasuki fase substansi demokrasi itu sendiri? Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Akhirnya politik menjadi alat untuk kemaslahatan umat-bangsa dan Negara. Bagaimanapun Pemuda Indonesia harus menyadari Negara yang menjadi patronase Negara demokrasi terbesar di dunia patut untuk senantiasa mengoreksi perkembangan demokrasi dan implikasinya terhadap kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Buta Politik
Begitupun, patut untuk diantisipasi. Keberadaan pemuda dalam ranah politik praktis juga sangat rentan terhadap pemanfaatan kaum muda sebagai daya jual elit partai kepada konstituen, yang tidak dapat dipungkiri memungkinkan pemuda dalam hal ini hanya dijadikan sebuah mesin politik dalam meraih suara tanpa mengedepankan sosok yang mampu memberikan angin perubahan. Pemuda harus independen, bebas menentukan pilihan tanpa diimingi oleh politik uang dan kampanye hitam berupa SARA. Sebab, pemikiran, visi dan pandangan, nilai-nilai pemuda-lah yang akan dijadikan pegangan untuk menentukan masa depan republik ini.
Sentuhan idealisme dan daya kritis pemuda sangatlah diperlukan utamanya dalam mengawal proses transisi demokrasi yang akan kita laksanakan dalam waktu dekat ini. Sebab ketika pemuda absen dalam peralihan rejim, hampir bisa dipastikan kondisi suatu bangsa dan Negara tidak akan mengalami perbaikan dan cenderung akan tertinggal. Sebab dengan apakah sebuah bangsa akan optimis memandang masa depannya, bila pemuda-pemudinya telah hilang semangat (apatisme) dan kehilangan semangat kepeloporan serta kreativitasnya?
Pemuda tidak boleh bersikap apolitis. Menganggap politik sebagai barang yang tabu bahkan menganggap dosa. Pemuda harus “melek” politik. Untuk itu, pemuda harus senantiasa memperkaya dirinya dengan pengetahuan dan pemahamannya serta pengalamannya dalam konteks partisipasi politik. Walaupun, praktis politik kita hari ini menunjukkan sesuatu yang menggerus kepercayaan kita terhadap politik itu sendiri. Hal yang melatarbelakangi kurangnya partisipasi politik pemuda. Tetapi pemuda Indonesia tidak boleh kalah atau menyerah terhadap kondisi itu. Lebih dalam lagi, harusnya ini menjadi sebuah panggilan untuk berbuat lebih bagi nusa dan bangsa ini.
Seorang penyair Jerman, Bertolt Bracht pernah berkata “Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir semua pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional”.
Sebuah ungkapan yang menggugat kesadaran politik kita sebagai warga Negara. Bagaimanapun kita tidak bisa melepaskan diri dari politik, khususnya pemuda. Kita tidak mau, “penyakit-penyakit” kebangsaan kita terus berkembang dan menjangkiti rakyatnya hingga tak tertolong lagi (Negara gagal). Penyakit itu adalah korupsi yang marajalela, hukum yang bisa dibeli, pendidikan yang semakin mahal, akses kesehatan yang melarang orang miskin untuk sakit, lunturnya semangat nasionalisme dan patriotisme dan lain sebagainya.
Akhirnya, sudah saatnya pemuda mengambil peran sentral dalam fungsi dan perannya sebagai social control. Walaupun pada kenyataan yang paling pahit, kita harus menentukan yang terbaik diantara yang terburuk (the best of theworst). Pemuda harus bangkit dan mewarnai suksesi kepemimpinan nasional kedepan. Lawan golput dan politik uang. Saatnya pemuda yang menentukan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H