[caption id="attachment_332806" align="aligncenter" width="578" caption="Hadi Poernomo mantan Dirjen Pajak, tersangka kasus korupsi permohonan keberatan pajak PT Bank Central Asia Tbk tahun 2003 |Ilustrasi/Kompasiana (KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)"][/caption]
Entah mimpi apa semalam Hadi Poernomo? Sial, nahas dan tentunya takkan terlupakan. Berketepatan di hari ulang tahunnya yang ke-67, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus “pengaturan” pajak Bank Central Asia (BCA).
Senada dengan ungkapan “Sepandai-pandainya Tupai melompat, akhirnya jatuh juga”. Sepertinya dialami oleh Hadi Poernomo. Kasus yang menjeratnya berasal dari sekitar 10 tahun yang lalu, akhirnya terkuak juga. Hadi Poernomo pun harus berhadapan dengan KPK. Faktanya, tak ada satupun yang pernah lepas dari jeratan KPK setelah ditetapkan seseorang menjadi tersangka.
Hadi Poernomo baru saja, Senin (21/04)—dalam tempo sehari--meletakkan jabatannya sebagai ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia—salah satu pilar pemerintahan/lembaga tinggi negara--, harus berhadapan dengan penegak hukum. Hadi Poernomo diduga terlibat kasus pajak Bank BCA sewaktu menjabat sebagai Kepala Direktorat Jenderal (Dirjen Pajak) Kementerian Keuangan.
Sebelumnya, BPK yang sehari-harinya dianggap sebagai mitra KPK melalui hasil audit-auditnya. Akibat kejadian ini, telah memunculkan sebuah pertanyaan besar bagi masyarakat. Bagaimana hasil audit KPK selama ini yang dipimpin oleh seorang tersangka korupsi? Penulis jadi teringat akan isu adanya praktek jual-beli status audit oleh BPK RI untuk mempengaruhi persepsi publik. Tidak ada yang tahu kebenarannya. Tapi patut diduga. Sungguh tak terbayangkan, bagaimana jadinya kalau hal itu terjadi. Kebenaran telah diperjual-belikan.
Kasus yang menimpa Hadi Poernomo adalah dugaan penyalahgunaan wewenang (Abuse of Power) karena memberikan nota untuk menerima keberatan Pajak Penghasilan (PPh) Bank BCA 1999-2003 sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp375 miliar.
Kecurigaan pihak KPK didasari atas perlakuan khusus kepada pihak BCA atas pernyataan keberatan pajak, yang juga dialami bank lain, yang tetap ditolak oleh Direktorat PPh. Proses perubahan kebijakan terhadap pernyataan keberatan BCA itu ketika Hadi Poernomo mengirimkan nota dinas kepada Direktorat Pph. Hal ini seperti yang diungkapkan Abraham dalam jumpa pers di kantornya, Senin (21/4/2014) malam. (Okezone.com, 21/4/2014)
Atas perbuatan tersebut, KPK menyangkakan berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999. Sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 55 ayat (1) ke-1.
Pasal tersebut mengatur tetang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Ancaman pelaku yang terbukti melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar. Bahkan, kemungkinan Hadi Poernomo juga akan dijerat dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Sebagaimana lazimnya, kasus-kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara Negara.
Setelah MK, BPK, lalu Siapa?
Kejadian penetepan tersangka Hadi Poernomo selaku Ketua BPK RI oleh KPK, mengingatkan kita—dalam waktu yang relatif singkat—akan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu Akil Mochtar.
Negara dilanda kecemasan yang luar biasa. Bagaimana mungkin ketua MK yang harusnya bertindak sebagai penjaga benteng terakhir kedaulatan hukum tersangkut masalah korupsi? Negara dalam posisi labil melihat tingkat para pemimpin-pemimpinnya, khususnya kepala lembaga tinggi negara. Lembaga yang terlanjur diidentikkan oleh kumpulan para negarawan juga terserang (bahkan rentan) virus korupsi. Hampir runtuh semua cita-cita (harapan) bangsa dan Negara ini lebih baik kedepannya. Untunglah masih ada lembaga Negara yang memiliki kredibilitas yang baik. Siapa lagi kalau bukan KPK.
Apa yang dialami oleh institusi BPK RI melalui ulah kepalanya Hadi Poernomo, telah mencoreng potret wajah kebangsaan kita. Kepercayaan terhadap Negara semakin tergerus. Belum selesai “luka” yang diberikan oleh Akil Mochtar (MK), kini ditambah lagi oleh Hadi Poernomo (BPK). Tidak terbayang, butuh berapa lama memulihkan luka kebangsaan (kepercayaan) ini.
Dan bahkan, kalau mau kita telisik lebih dalam. Banyak para elit-elit pemimpin bangsa ini yang menduduki posisi strategis dipemerintahan tersangkut masalah korupsi. Mulai dari menteri, jenderal polisi, anggota dewan sampai kepala daerah. Jumlahnya bukan sedikit. Susah berharap sebuah institusi bisa bekerja secara baik, kalau pimpinannya bermental buruk. Umpama, kepala ikan yang busuk, susah diharapkan kebawahnya bisa baik.
Negeri ini patut menaikkan status kewaspadaannya menjadi “awas”. Ibarat seorang yang menderita sakit level akut (stadium lanjut/terakhir). Hampir segenap lembaga tinggi di Negara ini telah terjangkiti korupsi. Mulai dari level bawahan sampai ke pimpinan. Wajar rakyat dirundung pesimisme akut.
Mengapresiasi Langkah KPK
Pemberantasan korupsi yang terjadi akhir-akhirnya ini, memiliki sisi positif dan negatif. Di satu sisi mengisyarakatkan kecemasan akan kondisi bangsa dan Negara ini (negatif). Di sisi lain, ada optimisme akan upaya membongkar habis praktek korupsi di negeri ini.
Sialnya, ada-ada saja cibiran yang dialamatkan kepada KPK ketika mereka bekerja. Penetapan status tersangka Hadi Poernomo dikait-kaitkan dengan upaya mendongkrak popularitas Abraham Samad dalam momentum Pemilihan Presiden (Pilpres). Maklum saja, tahun politik (2014) sarat akan manuver-manuver politik. Apa saja bisa dijadikan “senjata” membangun opini. Baik untuk membangun citra positif perorangan, maupun menjatuhkan (destruktif).
Tetapi apapun itu, langkah berani KPK menetapkan status tersangka oleh pemimpin tinggi lembaga Negara patut untuk diapresiasi. Penulis tidak mau terjebak oleh teori-teori persekongkolan (konspirasi) yang hanya melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Apalagi tanpa didasari fakta dan data yang jelas. Penegakan hukum tidak boleh diintervensi oleh politik. Supremasi hukum harus berdiri tegak dan menjadi pedoman bersama.
KPK tidak boleh berjuang sendiri. KPK bukanlah superman. Untuk itu, perlu peran serta lembaga Negara yang lain dan masyarakat dalam mewujudkan Indonesia yang bebas (kalau memungkinkan) dari korupsi. Hanya dengan rumus kerjasama (kolaborasi), kita segenap komponen masyarakat bisa mewujudkan mimpi itu.
Lembaga tinggi Negara harus mampu membersihkan dirinya dari korupsi. Jangan sampai ketidakpercayaan (distrust) masyarakat, tergerus, tumbuh dan berkembang hingga menjadi penyakit laten. Akibatnya Negara bisa dalam keadaan darurat. Sebab, masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap Negara. Sesuatu yang harus diantisipasi. Bayang-bayang korupsi itu harus disibak agar lembaga tinggi Negara memperoleh kembali kepercayaan publik.
Semoga penetapan tersangka Hadi Poernomo ini, membuka mata hati kita semua. Terutama pemimpin-pemimpin kita “diatas sana”. Pertobatan nasional dari penjajahan korupsi harus tetap digelorakan. Selamatkan Negara dari korupsi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H