Mohon tunggu...
Rikson Pandapotan Tampubolon XVI
Rikson Pandapotan Tampubolon XVI Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

sedang belajar ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hadiah Kemerdekaan Menuju Keadaban Demokrasi

18 Agustus 2014   19:36 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:14 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Enam puluh Sembilan tahun sudah bangsa ini telah memproklamasikan dirinya menjadi Negara bangsa yang bersatu dan berdaulat. Tepatnya, 17 Agustus 1945 saat sang proklamator Sukarno Hatta membacakan teks proklamasi yang menandai babak baru perjalanan bangsa. Rakyat bergembira lepas dari penjajahan kolonialisme dan imprealisme. Waktu itu, boleh jadi rakyat Indonesia telah menerima “hadiah” kemerdekaan atas perjuangan dan pengorbanan demi cita-cita kemerdekaan.

Kemerdekaan yang diterima oleh bangsa ini bukanlah sebuah pemberian. Skenario kemerdekaan boleh jadi berbeda, apabila tidak ada desakan dari golongan muda yang mendesak Bapak Pendiri Republik Sukarno dan Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan. Sebelumnya, bangsa ini telah menerima janji dari kolonialisme Jepang melalui Sukarno-Hatta bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan bagi bangsa ini. Namun, tidak ada jaminan Jepang akan mengingkari janji. Watak dari kolonialisme selalu memungkinkan untuk itu, demi mencapai tujuan walaupun dengan menghalalkan berbagai cara (machiavelisme).

Bangsa ini boleh berdiri tegak penuh percaya diri dihadapan bangsa lain, karena kita beroleh kemerdekaan dengan perjuangan bangsa ini dan bukan oleh pemberian. Sebab, tidak semua bangsa di dunia memperoleh kemerdekaannya dengan perjuangan keringat dan darah melawan penjajah. Mental inferior (inlander), merasa kecil dihadapan bangsa-bangsa lain di dunia tidak boleh menghinggapi anak-anak bangsa.

Sejarah telah mencatatkan bahwa Indonesia yang dulu dikenal dengan Nusantara telah membuktikan bahwa nenek moyang kita adalah bangsa yang unggul. Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit adalah bukti kejayaan masa lalu bangsa ini. Sumber daya alam yang melimpah di tengah garis khatulistiwa yang tak satupun bangsa yang memungkirinya. Bahkan, oleh karena alasan inilah setiap bangsa lain di dunia ingin menjajah bangsa kita. Ditambah lagi, jumlah populasi terbesar ke-4 dunia telah membuat sumber daya manusia kita menjadi modal menjadi bangsa yang maju dan besar. Berkaca dari pengalaman Negara-negara berpopulasi terbesar di dunia (Amerika Serikat, China dan India).

Bermodal sejarah, sumber daya alam yang melimpah dan juga sumber daya manusia, mimpi Indonesia menjadi Negara maju bukanlah khayalan belaka. Kita hanya butuh tekad, keyakinan dan usaha serta doa sebagai makhluk Pancasila yang mengaku ber-Tuhan untuk menjemput impian itu. Setiap perubahan butuh proses, yang mengajarkan kita tentang penghargaan perjuangan mengisi kemerdekaan.

Bahkan tak jarang, kita harus tega “menyingkirkan” manusia sebangsa kita yang berusaha untuk menghancurkan mimpi kolektif bangsa ini. Mereka itu adalah musuh Pancasila, koruptor, mafia hukum, mafia migas dan lain sejenisnya. Mereka yang suka memaksakan kehendak, tidak menghargai perbedaan (Bhineka Tunggal Ika) dan hanya berorientasi kepada kepentingan pribadi dan kelompoknya, walaupun bangsa dan Negara ini menjadi taruhannya. Tak salah, ketika Bung Karno telah mengingatkan kita akan ucapannya, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.

Presiden Baru

Perjalanan bangsa ini telah membawa kita kepada perjumpaan anak-anak terbaik bangsa ini yang didaulat menjadi pemimpin republik ini. 9 Juli 2014, rakyat Indonesia telah melakukan pesta demokrasi yang relatif aman dan lancar. Tidak ada keributan yang berarti, yang sampai mengganggu stabilitas keamanan negeri. Hajatan besar bangsa ini telah mempertemukan kita dengan sosok pemimpin baru kita yaitu Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk periode masa bakti 2014-2019 (versi keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia).

Walaupun kita ketahui bersama, pasangan calon yang ditetapkan kalah oleh KPU RI masih belum bisa menerima dan mengajukan banding ditingkat Mahkamah Konstitusi. Konstitusi membuka ruang untuk usaha yang demikian. Namun, sepertinya rakyat telah mengamini Jokowi alias Joko Widodo sebagai presiden Republik Indonesia yang ketujuh. Melanjutkan usaha yang telah dilakukan presiden sebelumnnya yaitu, Sukarno, Suharto, Habibie, Gusdur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Berdasarkan survei yang diselenggarakan SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting) bekerjasama dengan Lingkaran Survei Indonesia. Setelah sebelumnya hasil hitung cepat (quick count) mereka mengatakan bahwa pasangan calon nomor urut dua memenangi pilpres 2014, sejalan dengan hitung sah (real count) KPU RI. Survei itu juga menyatakan sebagian besar masyarakat, termasuk pemilih Prabowo-Hatta dalam Pemilu Presiden 9 Juli lalu, menganggap pelaksanaan pilpres telah berlangsung dengan bebas dan jujur.

Hasil survei menunjukkan, 48,2 persen responden menilai pilpres berlangsung sangat bebas dan jujur. Sebanyak 29,7 persen responden menilai pilpres berlangsung bebas dan jujur dengan sedikit permasalahan. Sementara itu, sebanyak 10,9 persen responden menilai pilpres berjalan bebas dan jujur dengan banyak permasalahan. Hanya 2,3 persen yang menganggap pilpres tidak bebas dan tidak jujur. Sisanya, 8,9 persen menjawab tidak tahu atau tidak menjawab.

Masih dari survei yang sama. Survei terhadap pendukung Prabowo-Hatta, sebanyak 47 persen juga menganggap bahwa pilpres berlangsung sangat bebas dan jujur. Sebanyak 27 persen responden menilai pilpres berlangsung bebas dan jujur dengan sedikit permasalahan. Sementara itu, sebanyak 14 persen responden menilai pilpres berjalan bebas dan jujur dengan banyak permasalahan. Hanya 4 persen yang menganggap pilpres tidak bebas dan tidak jujur. Adapun 7 persen lainnya menjawab tidak tahu atau tidak menjawab.

Masyarakat Indonesia hari ini lebih realistis. Masa kampanye yang telah membuat rakyat lelah dan terpolarisasi akibat dua kubu yang berkompetisi. Rakyat harus kembali ke kehidupan semula. Menjalani aktivitas keseharian yang berarti mengisi kemerdekaan dan menganggap “pesta” telah usai. Persidangan di MK, mungkin saja dianggap sebagai pemuas hasrat kekalahan. Rakyat butuh pemimpin yang bertindak sebagai seorang negarawan. Menang tidak jumawa, kalah lapang dada. Bagaimanapun setiap kompetisi akan ada yang menang dan yang kalah. Menempatkan kepentingan yang lebih besar adalah ciri seorang negarawan.

Di hari ulang tahun Republik Indonesia yang ke-69 ini, rakyat Indonesia boleh berbangga karena telah dikaruniai oleh Ibu Pertiwi yaitu Presiden Baru. Presiden yang akan memimpin kita mengejar cita-cita bangsa ini yang mungkin saja telah tertinggal. Bagaimanapun keadaban demokrasi telah berhasil kita jalani dari kerikil-kerikil tajam yang hampir saja merusak keutuhan kita sebagai bangsa. Pemilu yang baru saja kita gelar—yang sepanjang pengamatan begitu panas, kejam bahkan cenderung brutal—telah membawa kematangan dalam demokrasi kita.

Hasil yang berharga didapat dari perjuangan yang keras dan doa. Usaha mencapai kematangan demokrasi—transisi demokrasi prosedural kearah yang lebih substansial—telah dilalui segenap bangsa ini. Terbukti, sekejam apapun sebuah pertandingan, kita masih dalam semangat persatuan sebagai Negara bangsa, Pancasila. Dirgahayu kemerdekaan Republik Indonesia ke-69. Jayalah Indonesia Raya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun