Mohon tunggu...
Rikson Pandapotan Tampubolon XVI
Rikson Pandapotan Tampubolon XVI Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

sedang belajar ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Polemik Calon Kapolri Versus Oligarki Politik

23 Januari 2015   19:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:31 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemberian gelar ‘tersangka’ kepada Komjen Pol. Budi Gunawan, sehari sebelum uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), sungguh sangat mengejutkan. Bagaimana tidak, calon pemimpin tertinggi di kepolisian yang akan memimpin penegakan hukum di negeri ini, tersandera atas sangkaan kasus korupsi. Sejarah baru bagi perjalanan usaha pemberantasan korupsi di negeri ini.

Benar memang, kita harus mengedepankan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) atas kasus sangkaan terhadap calon kapolri. Asas di mana seseorang dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan bersalah. Asas ini sangat penting bagi demokrasi modern di banyak negara dengan memasukannya kedalam konstitusinya.

Cuma menjadi kekuatiran yang serius, apabila yang memberi sangkaan itu adalah komisi yang telah teruji kapasitasnya secara kelembagaan dalam memberikan gelar tersangka kepada seseorang atau oknum yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apakah KPK benar-benar berhati-hati dalam menetapkan kasus tersangka Komjen Budi Gunawan, sehingga hasilnya bisa dipertanggungjawabkan? Sekali lagi, waktu yang akan menguji kredibilitas komisi ini.

Sejarah telah membuktikan bahwa KPK selalu menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menerapkan status hukum seseorang dalam perkara korupsi. Hampir tidak ada satupun yang pernah lepas dari jerat hukum KPK. Terbukti, semua yang diberikan gelar tersangka berhasil digelandang ke meja pengadilan. Sedikit berbeda dengan yang dialami oleh lembaga Negara, yang juga bertindak sebagai penegak hukum di republik ini yaitu kepolisian dan kejaksaan yang terkadang salah dalam memberikan status hukum seseorang atau lembaga.

Keberanian KPK dalam menetapkan oknum jenderal aktif penegak hukum menjadi tersangka, yang akan menjadi orang nomor satu di kepolisian perlu di apresiasi. Meskipun resiko bangkitnya memoar masa lalu antara kisruh dua institusi penegak hukum ini bisa saja terjadi lagi, yang dikenal ‘Cicak lawan Buaya’. Sebab yang disasar oleh KPK adalah calon wajah baru kepolisian yang akan menjadi Kapolri.

Sang calon kapolri disangka terlibat dalam kasus rekening yang mencurigakan atau yang dulu dikenal dengan istilah ‘rekening gendut’ para jenderal polisi. Walaupun kepolisian telah mengklarifikasi dan membantah isu rekening gendut para jenderal. Nampaknya KPK tetap saja bersikukuh tetap akan melanjutkan kasus hukum ini.

Ujian terhadap KPK dalam usaha pemberantasan korupsi sepertinya akan berjalan sendiri. Sekali lagi, KPK akan menguji kesaktian sepak terjangnya dalam hukum. Kewibawaan lembaga menjadi taruhannya. Tidak bisa dipungkiri, H-1 penetapan tersangka calon kapolri pra uji kepatutan dan kelayakan di legislatif sarat nuansa yang politis. Padahal, seperti kita ketahui bersama, lembaga hukum adalah lembaga Negara yang profesional dalam kerja-kerjanya dan dilarang untuk berpolitik dalam tugas pokok dan fungsinya (tupoksi).

Ketiadaan dukungan dari Trias politika Negara (eksekutif, legislative dan yudikatif) secara tidak langsung membantah penemuan kasus rekening gendut tersebut. Pemerintah (eksekutif) melalui pengajuan calon kapolri tunggal kepada DPR merupakan bentuk lain proses pembantahan tersebut. Legislatif, meskipun telah mendengar dan menyaksikan konperensi pers KPK dalam penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan, tetap memprosesnya dalam fit and proper test. Terlebih lagi, pihak yudikatif dalam hal ini kepolisian telah membantah kasus rekening gendut tersebut sebagai transaksi yang wajar dan bisa dipertanggungjawabkan.

Manuver Politik Jokowi

Polemik pencalonan Komjen Budi Gunawan menjadi Kapolri sebenarnya bisa diantisipasi. Apabila, Jokowi ‘tetap’ konsisten melibatkan KPK dan Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam penetapan pimpinan lembaga Negara. Inisiatif Jokowi dalam melibatkan KPK dan PPATK dalam perumusan kabinet kerjanya merupakan langkah maju dan usaha preventif guna meminimalisir para menteri tersandera kasus korupsi.

Namun, terlalu prematur apabila kita mendakwa Jokowi tidak konsisten atau tidak pro (lupa) terhadap janji-janjinya mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government). Bukankah ini tindakan yang sangat berisiko dan keliatannya sangat mencolok dihadapan publik, apabila Jokowi tidak konsisten dan konsekuen terhadap janji-janjinya?

Hegemoni partai politik pendukung sepertinya masih ikut mengendalikan kepemimpinan Jokowi. Falsafah ‘balas budi’ tidak terelakkan dalam budaya ketimuran, juga tidak terlepas dari konteks politik. Hipotesanya, pendirian Jokowi memerlukan waktu dan strategi untuk bisa berdaulat secara penuh dalam menjalankan pemerintahan.

Oligarki politik di republik ini nyata-nyata telah mengesampingkan demokrasi. Kekuasaan yang terakumulasi penuh dalam satu kendali posisi tertentu, sangat riskan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Demokrasi masih menjadi topeng kekuasaan untuk mendapatkan simpati rakyat guna melegitimasi kekuasaan di jaman yang katanya demokratis ini.

Jokowi lahir dalam proses politik penjajakan pendewasaan demokrasi. Cirinya, partai politik hanya dimiliki oleh segelintir kelompok elit yang menamai dirinya sendiri sebagai pengemban mandat/amanah rakyat. Kepribadian Jokowi yang supel, sederhana dan merakyat, disandera oleh golongan elitis yang menghambakan dirinya untuk kekuasaan. Oligarki politik sejatinya akan tetap membelenggu, apabila hasrat kekuasaan tidak tercapai atau diusik.

Jokowi bukan makhluk ‘polos’ yang baru belajar politik. Pengalamannya dalam memimpin kota dan provinsi adalah bekal memimpin negeri. Kemenangan tanpa me-luka-kan lawan atau tanpa berbuat curang adalah kesan seorang Jokowi. Terlebih lagi, euforia rakyat dalam pesta kemenangan Jokowi juga merupakan bentuk tanggung jawab besar yang harus dituntaskan.

Berbekal analisis diatas, penulis mengajak agar kita tidak terlalu cepat menarik kesimpulan atas kepemimpinan Jokowi. Mungkin ini yang dinamakan sebagai manuver politik Jokowi untuk melepaskan diri dari belenggu oligarki politik kekuasaan.

Jokowi harus cermat berhitung dalam mengkalkulasikan keefektifan kepemimpinannya dari tuntutan dari luar yang ingin mengarahkan dirinya. Tentunya dengan menerapkan strategi atau usaha-usaha tanpa merusak relasi kekuasaan. Kekuasaan harus diutamakan sebagai alat untuk melayani rakyat, bukan melayani para penguasa.

Menguji Keberanian

Kembali dalam polemik kasus tersangka calon kapolri. Polri harus banyak-banyak berbenah. Kasus rekening gendut di kepolisian merupakan aib yang harus dibereskan. Sepintar-pintarnya kita menyembunyikan bangkai, pasti baunya akan tercium juga. Polri harus terbuka kepada masyarakat dalam menjunjung profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas. Dengan begitu, kita bisa mengembalikan lagi wibawa lembaga penegak hukum kita di republik ini.

Ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di tubuh kepolisian. Selain menyangkut tupoksi polri, nyatanya kita masih banyak mendengar masalah di tubuh polri sendiri. Seleksi anggota yang tidak transparan dan penuh dengan nepotisme pejabat, jual beli jabatan, oknum yang terjerat kasus kejahatan, misalnya backing kejahatan atau pengedar narkoba, dan lain sebagainya.

Hanya dengan sapu bersih, kita dapat membersihkan ruangan dengan bersih.  Polri harus kembali mereformasi dirinya untuk kembali mendapatkan kepercayaan rakyat. Hanya dengan kepercayaan masyarakatlah, kerja-kerja polri bisa diharapkan maksimal.

Polemik pencalonan kapolri semoga berbuah pembelajaran, khususnya bagi polri dan umumnya bagi tirani oligarki politik. Perlu keberanian dalam melawan kesewenang-wenangan tirani kekuasaan. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer (yang juga dikutip akun facebook Jokowi), “Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun