Dalam analisis ini penulis menggunakan kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang berjudul "Akhir Damai Kasus Suami Pukul Istri Gegara Gaji" pada tanggal 18 Juni 2020 pukul 20.20 WIB dalam laman Detiknews.com. Kasus ini merupakan sebuah kasus penganiayaan yang dilakukan oleh seorang suami kepada sang istri lantaran suami tidak memberi gaji kepada istri.
Kejadian tersebut direkam oleh sang anak yang kemudian di unggah ke media sosial, lantaran sang anak kesal kepada sang ayah yang tidak memberikan gaji kepada ibunya. Kasus ini berakhir secara kekeluargaan dan tidak melalui jalur hukum, serta sang suami telah menandatangani surat perjanjian untuk tidak mengulanginya kembali.
Menurut Mangkunegara (dalam Puspita, 2018) mengatakan konflik merupakan sebuah pertentangan yang terjadi tentang apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap dirinya, terhadap orang lain, ataupun organisasi dengan kenyataan yang diharapkan.
Dalam kasus ini, konflik bermula pada saat istri dari DPH dan anaknya mengharapkan gaji dari sang suami, namun sang suami menolak untuk memberikan gaji kepada mereka. Karena suami kesal akhirnya ia memukul dan membanting istrinya, sang anak pun ikut kesal dengan sang ayah lalu merekan kejadian tersebut serta mengunggahnya ke media sosial.
Maka disimpulkan bahwa penyebab dari kasus ini adalah ketidaksetaraan atau adanya pertentangan yang terjadi tentang apa yang diharapkan sang istri dan anaknya terhadap sang suami, namun pada kenyataanya sang suami kesal dan melakukan penganiayaan kepada sang istri.
Konflik terjadi pada tahap-tahap tertentu, dan pada tahap-tahap berikut diawali dengan tahap felt conflict. Menurut Pondy (dalam Baldwin, dkk., 2014, h.281) mengatakan felt conflict merupakan proses terjadinya sebuah konflik yang diawali dengan kedua belah pihak atau lebih dimana masing-masing individu saling melibatkan ego mereka dalam menilai motif individu lainnya yang bersangkutan.
Dalam kasus ini, sang suami (DPH) menilai istri dan anaknya yang memaksanya untuk memberikan gaji, sedangkan istrinya dan anaknya menilai suaminya tidak bertanggung jawab dalam memberikan mereka gaji. Hal tersebut disebabkan karena ego dari setiap pihak yang mendominasi pihak lainnya, dan akhirnya muncullah penilaian subjektif yang berlebihan terhadap motif masing-masing pihak.
Lalu pada tahap berikutnya yaitu pada tahap manifest conflict. Menurut Pondy (dalam Baldwin, dkk., 2014, h.281) mengatakan bahwa manifest conflict terjadi karena pada konflik yang ditandai dengan tindakan fisik, ekspresi verbal, dan perilaku yang tidak manusiawi, seperti sabotase dan juga penganiayaan.
Dimana dalam kasus ini terjadi pada pemikiran si pelaku atau sang suami (DPH) yang membanting istrinya sendiri karena perkara meminta gajinya, karena DPH tidak dapat mengendalikan emosi dan amarahnya sehingga dia melakukan perbuatan keji tersebut.
Selanjutnya menurut Rahim & Toomey dalam Baldwin, dkk. (2014, h. 281) terdapat 5 cara dalam memanajemen sebuah konflik, salah satunya yaitu dengan cara kolaborasi yang berarti dalam situsi tersebut pihak-pihak yang terkait dalam konflik tersebut lebih mengutamakan solusi yang disebut win-win solution. Karena manajemen konflik ini mendorong pihak-pihak yang merasa tidak puas dan terkait dalam konflik tersebut di ajak untuk bekerja sama demi mendapatkan solusi yang saling menguntungkan.
Dalam kasus yang penulis analisis, konflik tersebut akhirnya diselesaikan dengan cara kekeluargaan dan juga adanya surat perjanjian untuk tidak mengulanginya kembali, walaupun sebelumnya terdapat laporan kepada pihak berwajib untuk menangani kasus tersebut namun sudah di cabut oleh pihak keluarga.
Hal tersebut dapat dikatakan sebagai win-win solution karena permasalahan tersebut tidak merugikan kedua belahpihak, yang dimana dari pihak pelaku dan korban mengambil jalan kekeluargaan dan tidak melanjutkan kasus tersebut melalui polisi atau jalur hukum.
Namun dalam sebuah konflik tentunya terdapat sebuah dampak yang diakibatkan, baik dampak yang positif ataupun dampak negatif yang dirasakan. Karena dari setiap kasus tentunya ada hikmah dan pembelajaran yang bisa diambil untuk semakin menjadi lebih baik di kemudian hari.
Dari kasus tersebut penulis menyimpulkan bahwa dampak positif yang dapat kita ambil berupa hal yang dijadikan pembelajaran dan pengalaman yang tidak boleh diulangi kembali oleh pelaku yang telah membanting istrinya dan juga harus menjadi sebagai seorang sosok suami yang bertanggung jawab, terlebih lagi pihak keluarga sudah mau menyelesaikan konflik tersebut secara kekeluargaan yang dimana menurut penulis itu sebuah keberuntungan bagi pelaku.
Sedangkan untuk dampak negatif yang didapat yaitu kasus ini dapat menjadi trauma ataupun pengalaman yang buruk bagi korban yaitu sang istri dan anaknya, sehingga bisa saja hal tersebut menyebabkan gangguan pada mental dan juga psikologinya.
Namun semua itu mungkin saja terjadi karena pelaku atau sang suami yang tidak dapat mengendalikan kesadarannya sehingga menganggu hal lain seperti emosi, pikiran, psikologisnya, sehingga menyebabkan konflik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tersebut terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Baldwin, J. R., Coleman, R. R. M., Gonzales, A., & Shenoy-Packer, S. (2014). Intercultural Communication for Everyday Life. West Sussex : John Wiley & Sons.
Dharmastuti, H. (2020, 18 Juni). Akhir Damai Kasus Suami Pukul Istri Gegara Gaji. Diakses dari news.detik.com pada tanggal 5 Desember 2020.
Puspita, W. (2018). Manajemen Konflik (Suatu Pendekatan Psikologi, Komunikasi, dan Pendidikan). Yogyakarta: CV BUDI UTAMA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H