Penghujung tahun 2020 keinginan untuk bercukur botak muncul. Rasanya sudah lama tidak pernah lagi botak. Terakhir kali saat masih kelas 2 SMA. Itu juga lantaran kena sanksi akibat ketahuan melanggar aturan pondok pesantren. Kira-kira 13 tahun lalu.
Saat ini anak sudah dua. Istri tetap satu, tidak ada keinginan untuk nambah. Sembilan tahun kenal dengan istri, dia tidak pernah melihat saya berkepala plontos. Jadi tahun ini 'anugerah' untuknya bisa melihat saya berpenampilan beda. Syukurnya dia merestui.
"Ya udah kalau mau cukur botak. Biar lebih adem kepalanya, juga hatinya" kata Kamelia Sari, ditengah rutinitasnya menjaga Rumah Makan Padang Koto Indah, di Kecamatan Ciwandan, Kota Cilegon.
Saya pun berangkat ke pangkas rambut terdekat. Tak perlu ke barbershop langganan. Cukur botak modelnya tetap itu-itu saja. Jadi buat apa bayar lebih mahal. Lumayan, bisa buat nambah pertamax 2 liter.
Anak pertama, Raline Ayunda Santoso ikut menemani.  Raline selalu semangat untuk diajak kemana-mana. Meski usianya belum cukup empat tahun, tapi dia cukup kritis. Nyaman dan nyambung  kalau diajak ngobrol.
Bak aktivis pejuang kaum tertindas yang sedang orasi saat menggelar unjuk rasa, anak perempuanku ini tiba-tiba menolak keras ayahnya dicukur botak. Tapi apa daya, seluruh rambut sudah berjatuhan dimakan gunting cukur Pangkas Rambut Sumatera. "Ngapain lah ayah ini dicukur botak. Nanti dimaluin sama Oma, sama abang Zaki (sepupunya)," ujarnya, sambil ngambek dan menangis.
Tapi penolakannya itu tidak berlangsung lama. Lambat laun dia mulai kembali seperti biasa. Bercanda lagi, main game bareng. Dan Botak memang cukup asik, lebih seger, dan lebih hemat sampo hehee. Dan yang lebih menarik bisa kembaran sama anak bungsu, si ganteng Kalandra Lars Santoso yang kini sedang aktif belajar jalan. (R&K)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H