Seniman Betawi, Mandra Naih, masih meringkuk di ruang pengadilan. Perkara dugaan korupsi kontrak program siap siar TVRI itu menyita sebagian hidupnya. Mungkin ekspresi keriangannya agak berkurang, atau malah tidak ada pengaruh sama sekali. Barangkali.
Namun, bukan Mandra benar yang jadi soal. Ini tentang kekukuhan Kejagung bahwa dirinya terlibat dugaan korupsi itu. Temuan Bareskrim tentang terjadinya pemalsuan tanda tangan Mandra oleh tersangka AD alias G dianggap sepi oleh Kejagung.
Bagi Kejagung, temuan Bareskrim itu boleh saja sekadar diletakkan "sebagai sesuatu yang meringkan" ( Harian Kompas, 4:2015). Permintaan penghentian persidangan Mandra yang dimohonkan oleh Juniver Girsang, pengacaranya, tidak digubris. Meski argumentasinya masuk akal: Mandra diduga melakukan korupsi, tapi alat buktinya lemah karena tanda tangan kliennya dipalsukan.
Jika ternyata tersangka pemalsuan itu mengatakan bahwa Mandra lah yang mengarahkannya, baik secara langsung maupun tidak, untuk memintanya memalsukan tanda tangannya di kontrak tersebut, Habis lah Mandra. Dan mungkin Kejagung sempat terlintas pikiran ini. Jika skenario ini terjadi, pemalsu tanda tangan ini yang barangkali justru sejak jauh-jauh hari telah disiapkan hendak dikorbankan atau dijadikan kambing hitam atas konspirasi korupsi tersebut. Sehingga, jika konspirasi korupsi ini terendus, Mandra bisa bebas melenggang, sedangkan pemalsu tanda tangan yang tidak tahu apa-apa mesti merasakan penderitaan sebagai pesakitan. Mengingat "kejahatan" selalu dibingkai dalam kemasan yang sofistikatis. Untuk itu, Kejagung tidak bisa dianggap arogan.
Ah, rasanya tidak mungkin Mandra seperti itu. Dia orang yang polos dan cenderung tidak mau ambil pusing dengan urusan yang rumit. Dia orang yang lurus-lurus saja. Mestinya Kejagung menghentikan dulu proses persidangan sampai ada kepastian dari Bareskrim tentang kasus pemalsuan tanda tangan Mandra. Pasti Kejagung yang arogan!
Untuk kita yang tidak pernah merasa dikelabui orang yang sikapnya polos, cengengesan, seolah-olah penuh keterbukaan, seolah-olah dirinya tidak punya daya untuk melakukan sesuatu meski kapasitasnya dapat melakukan hal tersebut, tentu saja sikap Kejagung bisa dianggap arogan karena tidak mau melihat profil Mandra yang seperti takberdosa itu.
Untuk itu, biar saja Kejagung bekerja keras membuktikan apakah ada keterlibatan Mandra di situ atau tidak. Ini demi kepastian hukum bagi Mandra sendiri agar statusnya tidak menggantung seperti orang-orang yang diduga telah melakukan pelanggaran HAM. Sementara itu, kasus pemalsuan tanda tangan Mandra yang ditangani Bareskrim juga harus terus berjalan demi kepastian hukum bagi tersangka AD alias G.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H