Agenda strategis nasional yang sampai saat ini tersendat-sendat dalam pelaksanannya adalah program reformasi birokrasi. Program bernafas kemuliaan ini nyaris hilang dari sorotan publik. Jika pun hadir sebatas retorika dan janji manis pejabat publik.
Itikad politik pemerintah mendorong program reformasi birokrasi, sesungguhnya sudah cukup besar. Semangat itu terlihat dari penggunaan sebutan reformasi birokrasi pada kementerian pendayagunaan aparatur negara pada awal pemerintahan periode 2009-2014, yang memberi semangat baru penataan birokrasi.
Sebagaimana diketahui program reformasi birokrasi diterjemahkan dalam tiga fase, yakni reformasi birokrasi 2010-2014 yang dikenal sebagai fase ke-1, reformasi birokrasi 2015-2019 fase ke-2 dan reformasi birokrasi tahun 2020-2025 sebagai fase ke-3. Sayangnya pada evaluasi fase 1 dan fase 2 masih belum optimal.
Kini reformasi birokrasi masuk fase ke-3, yaitu 2020-2025. Di mana pada fase ini menjadi penyimpul program reformasi birokrasi sejak dituangkan dalam Perpres. Harapannya tentu lebih baik dari fase-fase sebelumnya. Apalagi pada tahun ini momentum pemilihan kepala daerah serentak kembali bergulir. Menjadi cukup tepat menghembuskan agenda pilkada ini dengan penguatan fase 3 reformasi birokrasi.
Reformasi Birokrasi dan Lompatan Kemajuan
Peran birokrasi memperkuat kemajuan sebuah negara bukanlah barang baru. Banyak kisah dari negara yang sukses melakukan perubahan birokrasi berbuah kemajuan negaranya, antara lain; Singapura, Korea Selatan, Vietnam, Taiwan dan Jepang.
Dalam banyak catatan Singapura pada tahun 1953 juga merupakan negara miskin. Memiliki jumlah penduduk berpenghasilan rendah sangat banyak. Berbagai layanan publiknya pun buruk. Namun melalui perubahan semangat birokrasi, semua hal tersebut berubah total. Hanya sekitar 20 tahun lebih, Singapura berhasil keluar dari status negara terbelakang. Menjadi negara maju dan modern hingga kini.
Korea Selatan tidak jauh berbeda kisahnya. Negara yang terpuruk akibat perang ini pun melakukan lompatan melalui perubahan birokrasinya. Pada tahun 1960 an Korea Selatan juga masuk dalam negara terbelakang. Kemiskinan penduduknya memprihatinkan. Pelayanan publiknya mengecewakan. Namun berhasil keluar dengan penataan birokrasi yang efektif.
Jepang sebagai negara yang sempat hancur dalam perang dunia II, melakukan pembenahan pada layanan publiknya. Kaisar Jepang pada masa itu mendorong apartur sipilnya untuk memberikan pelayanan optimalnya.Â
Perampingan birorkasi diwujudkan melalui pemangkasan jabatan. Praktek reformasi birokrasi juga memanfaatkan karakter budaya masyarakatnya seperti bekerja keras dan komitmen pada perbaikan. Hasilnya Jepang berhasil melaju, meski porak poranda setelah bom atom.
Vietnam dan Taiwan pun melakukan hal serupa. Keberhasilan dalam penataan birokrasi mendongkrak kemajuan negara. Ditandai pada pertumbuhan ekonomi yang bergerak naik. Sehingga penduduknya pun perlahan mengalami kesejahteraan. Kesimpulannya keberhasilan reformasi birorkasi dimulai komitmen pemimpin dan konsep reformasi birokrasi yang operasional.
Pilkada Serentak Momentum Reformasi Birokrasi
Belajar dari kisah di negara tetangga di atas, rasanya menjadi cukup beralasan meyakini prosesi pemilihan kepada daerah sebagai momentum perbaikan pelayanan publik. Khususnya mendorong program reformasi birokrasi yang sudah digaungkan sejak 2010.