Masih cukup ingat dalam memori otak kita sebuah tragedy penerbangan yang menimpa pesawat JT 610 milik Lion Air. Pesawat jenis Boeing 737 Max 8 yang digadang-gadang memiliki teknologi penerbangan modern itu jatuh di Tanjung Pakis, Kerawang, Jawa Barat. Akibat peristiwa itu 189 penumpang dalam pesawat itu meninggal dunia.
Sontak kecaman publik pun mengarah pada maskapai Lion Air. Perusahaan jasa penerbangan yang memiliki logo menyerupai Kuda Laut itu menjadi bulan-bulanan amarah publik. Sederet tudingan menghujam. Bahkan muncul desakan menutup perusahaan dirgantara yang dikenal low cost carrier ini.
Pihak manajemen Lion Air yang berpayung pada perusahaan PT. Lion Mentari Airlines  tidak bisa berkutik. Hujatan dan kecaman yang menuding kesalahan Lion Air harus ditelan mentah-mentah. Sederet keputusan manajemen pun keluar dengan cepat. Termasuk pemecatan Direktur Teknik Lion Air, Muhammad Asif.
Menariknya lagi, usulan pemecatan Direktur Teknik Lion Air merupakan desakan Kementerian Perhubungan. Sebagai upaya meredam tekanan publik yang begitu hebat. Sudah pasti usulan kementerian itu dengan pertimbangan yang tidak akurat. Hanya sebatas menjawab tekanan publik atas kegagalan Kementerian Perhubungan dalam mengontrol kualitas keselamatan pesawat terbang.
Lebih menyakitkan lagi, proses pengungkapan penyebab kasus jatuhnya pesawat belum tuntas. Pihak penyelidik kecelakaan dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) masih berupaya mencari titik pemicu kecelakaan pesawat.
Setelah enam bulan kejadian, pihak Boeing Commersial Airplanes memberikan kabar mengejutkan. Perusahaan yang bermarkas di Chicago, Amerika Serikat itu mengaku terjadi kesalahan teknis pada perangkat lunak anti-stall Boeing yang dikenal sebagai MCAS (Maneuvering Characteristics Augmentation System) pada Boeing 737 Max. Kesalahan itu berakibat malfungsi hingga terjadi kesalahan lanjutan.
Lantas pantaskah Lion Air dimaafkan? Kenyataan itu yang membuat kita perlu berpikir ulang. Sikap emosional yang memuncak atas respon jatuhnya pesawat memang sangat manusiawi. Tidak satu pun yang dapat menerima kejadian tragis itu begitu saja.
Apalagi keberanian Lion Air memberikan tarif penerbangan yang murah membuat posisinya terkesan lemah. Tarif penerbangan yang 'hemat' itu dianggap sebagai pengabaian terhadap sejumlah instrument keselamatan. Akibatnya muncul logika sederhana, ketika terjadi peristiwa kecelakaan.
Amarah yang memuncak dan tidak terkendali itu merembet pada Kementerian Perhubungan. Institusi yang diberikan kewengan melakukan kontrol dan pengawasan atas implementasi aturan penerbangan menjadi sasaran baru. Publik dan keluarga korban mendesak sanksi tegas diarahkan pada manajemen Lion Air. Desakan itu pun disikapi cepat, melalui pemecatan Direktur Teknik.
Kini sama-sama kita mendengar sebab musababnya. Maka rasanya perlu pula kita mengajukan permohonan maaf kepada Lion Air dan seluruh karyawannya. Tudingan yang tidak beralasan atas peristiwa JT 610 itu ternyata tidak tepat. Bahkan bisa jadi tudingan tersebut membuat luka dalam hati.
Kementerian Perhubungan pun perlu menyampaikan ucapan sama. Keputusan yang mendesak manajemen Lion Air untuk memberi sanksi kepada Direktur Teknik Lion Air adalah sikap yang diwarnai tekanan. Kira pada masa mendatang semua pihak bisa tetap jernih melihat persoalan.Â