Dr. Riki Tsan, SpM*
Mungkin sedikit sekali orang yang menyadari bahwa setiap hari Kamis di minggu kedua di bulan Oktober diperingati sebagai World Sight Day (WSD) atau Hari Penglihatan Dunia. World Sight Day, yang tahun ini jatuh pada tanggal 8 Oktober, merupakan hari kepedulian internasional terhadap berbagai isu global yang berkaitan dengan masalah kebutaan dan gangguan penglihatan yang diderita oleh penduduk planet bumi ini. Tema WSD tahun ini adalah ‘Universal Eye Health, Eye Care For All’ yang merupakan tahun ketiga dari rencana aksi global yang dicanangkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).
WHO melaporkan, ada lebih dari 285 juta penduduk dunia yang mengalami masalah dalam penglihatan. Lebih kurang 39 juta orang diantaranya menderita kebutaan, sedangkan 246 juta orang lainnya mengalami gangguan penglihatan. Sementara itu, 90 % para penyandang gangguan penglihatan dan kebutaan ini hidup di negara negara dengan pendapatan rendah. Menurut WHO, jika keadaan seperti ini dibiarkan begitu saja tanpa ada tindakan apapun, maka jumlah penderita gangguan penglihatan dan kebutaan ini akan membengkak menjadi dua kali lipat pada tahun 2020.
Bertolak dari data data tersebut di atas, WHO telah menyusun strategi upaya penanggulangan masalah kesehatan mata, yang beberapa tahun yang silam menjadi landasan munculnya program Vision 2020: The Right to Sight, yakni sebuah gerakan inisiatif global yang bertujuan untuk mengeliminasi berbagai penyakit kebutaan yang seharusnya dapat dihilangkan atau dicegah, yang lazim disebut dengan avoidable blindnes.
Vision 2020: The Right to Sight, merupakan joint programme yang diprakarsai oleh WHO dengan International Agency for the Prevention of Blindness ( IAPB), sebuah organisasi yang memayungi berbagai kelompok profesi dan organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan mata masyarakat. Sejak tahun 2000, IAPB telah menetapkan WSD sebagai kegiatan resmi di dalam agenda acaranya yang seyogyanya wajib dilaksanakan oleh 140 anggota IAPB, termasuk Indonesia.
Di tingkat nasional, berbagai penelitian terkait dengan angka gangguan penglihatan dan kebutaan telah banyak dilakukan, seperti Survei Kesehatan Mata Nasional 1982 dan 1993-1996, Survei Kesehatan Nasional/Survei Kesehatan Rumah Tangga 2001 , Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) 2007 dan 2013 serta Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) di berbagai daerah pada kurun waktu 2005-2014 menghasilkan angka prevalensi kebutaan rata rata lebih dari 1 % - yang, jika mengacu kepada kriteria WHO- masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan juga masalah sosial.
Dibandingkan dengan angka kebutaan nasional di negara–negara Asia lainnya, angka kebutaan Indonesia menduduki ranking tertinggi. Hasil Survei Nasional pada tahun 1993-1996 misalnya, memperlihatkan angka kebutaan nasional kita (1.5 %) masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka kebutaan nasional di negara negara kawasan Asia ,termasuk Asia Tenggara, seperti India, Banglades, Malaysia, Singapura ataupun Thailand.
Untuk mengatasi keadaan tersebut di atas, pada tanggal 15 Februari 2000, Pemerintah Indonesia melalui Wakil Presiden RI saat itu, Ibu Megawati Soekarnoputri , mencanangkan program Vision 2020 : The Right to Sight di Indonesia. Dengan pencanangan Vision 2020 : The Right to Sight tersebut berarti pemerintah bertanggung jawab memberikan hak bagi setiap warganegara Indonesia untuk mendapatkan penglihatan yang optimal pada tahun 2020 dengan salah satu indikatornya menurunnya angka kebutaan nasional.
Untuk memenuhi amanah Vision 2020 : The Right to Sight yang mengharuskan setiap negara menyusun national plan masing – masing , maka pada tahun 2003, Kementerian Kesehatan RI bersama – sama dengan organisasi profesi Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia ( Perdami ) dan stake holder lainnya mulai menyusun Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan ( Stranas PGPK ), yang kemudian disahkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1473/MENKES/SK/X/2005 . Dokumen Stranas PGPK ini merupakan pedoman bagi Program Kesehatan Indera Penglihatan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun swasta di Indonesia.
Dalam dokumen Staranas PGPK tersebut, disebutkan bahwa penyebab utama kebutaan di Indonesia adalah penyakit katarak, glaukoma, kelainan retina dan kelainan refraksi serta penyakit – penyakit lain yang berhubungan dengan usia lanjut. Angka kebutaan yang disebabkan oleh penyakit katarak meliputi lebih dari separuh angka kebutaan nasional. Selain faktor degeneratif, kejadian katarak juga dipicu oleh kondisi lingkungan Indonesia sebagai negara tropis, tingginya paparan sinar ultraviolet serta komplikasi berbagai penyakit sistemik diantaranya, penyakit Diabetes Melitus yang angka kesakitannya cukup tinggi di Indonesia.
Disamping itu, besarnya jumlah penderita katarak di Indonesia saat ini berbanding lurus dengan jumlah penduduk usia lanjut yang pada tahun 2000 berjumlah 15,3 juta orang. Jumlah tersebut cenderung bertambah besar karena berdasarkan laporan Biro Pusat Statistik , pada tahun 2025 penduduk berusia lanjut di Indonesia akan mengalami peningkatan sebesar 414 % dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1990. Selain itu masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan penderita di daerah subtropis. Sekitar 16 % sampai 22 % penderita katarak yang menjalani operasi katarak berusia di bawah 56 tahun.